tirto.id - Benarkah orang kaya cenderung baik hati, dermawan atau singkatnya punya standar moral lebih tinggi daripada orang miskin?
Dalam satu-dua dekade terakhir, citra budiman kerap disematkan pada Bill dan Melinda Gates atas donasi miliaran dolar untuk meningkatkan kualitas kesehatan warga dunia yang rentan dan miskin. Inisiatif Gates didukung oleh investor Warren Buffett, yang berikrar mengamalkan 99 persen harta kekayaannya sampai akhir hayat. Baru-baru ini, bos raksasa e-commerce Amazon Jeff Bezos ikut meramaikan jagat filantropi dengan sumbangan besar-besaran untuk usaha menanggulangi perubahan iklim.
Di balik gemerlap praktik bagi-bagi duit kaum jetset untuk misi kemanusiaan dan lingkungan, tak sedikit kalangan kaya raya di luar sana yang perilakunya justru rakus dan berengsek. Sebut salah satunya perempuan terkaya di Australia Gina Rinehart (66), pemilik usaha saham dan royalti tambang bijih besi Hancock Prospecting. Harta Rinehart mencapai USD 17,4 miliar atau nyaris Rp245 triliun.
Pada 2012 Rinehart pernah menulis, “Kalau kalian iri dengan orang-orang yang punya uang lebih banyak, jangan cuma duduk dan mengeluh; lakukan sesuatu agar bisa menghasilkan uang, kurangi waktu buat minum-minum, merokok dan nongkrong; lebih sering bekerja.”
Betapa absurdnya pernyataan Rinehart, yang bisa kaya raya hari ini semata-mata berkat bisnis warisan dari bapaknya, Lang Hancock. Pemerintah Australia bahkan menganggap pernyataan itu sebagai “penghinaan” terhadap jutaan kaum pekerja Australia.
Belum puas merisak rakyat biasa, Rinehart juga bikin pusing pemerintah terkait urusan pajak. Pada 2010, pemerintahan Australia di bawah PM Paul Rudd dari Partai Buruh mengajukan pajak super tinggi untuk sektor tambang. Rinehart pun heboh berkampanye menentangnya, “Axe the tax!—potong pajaknya!”
Dalam pidato pada akhir 2020 silam, Rinehart mengkritik “media-media kiri” karena selalu memberitakan pertambangan dengan buruk, terlepas nilai pentingnya bagi pembangunan dan ekonomi nasional. Ia juga menumpahkan kekesalannya pada pemerintah yang menarik pajak terlalu tinggi dan membuat negeri kangguru tak lagi ramah sebagai tempat berinvestasi. Hal mengenaskan lainnya nampak dari konflik internal keluarga. Saking pelitnya, Rinehart sampai rebutan dividen dengan anak-anaknya sendiri.
Sekonyol-konyolnya perilaku Rinehart, ternyata belum ada apa-apanya dibandingkan kebusukan Bernie Madoff (82). Pengusaha investasi asal New York City itu sempat menghebohkan Wall Street dengan skandal skema Ponzi pada 2009. Kekayaan yang dipupuk oleh Madoff melalui bisnis keluarga selama puluhan tahun itu rupanya berasal dari praktik penipuan. Alih-alih diberi hasil investasi, investor Madoff justru dapat “untung” dari kantong mereka sendiri atau investor lain dengan cara gali lubang tutup lubang.
Madoff dijatuhi hukuman 150 tahun penjara karena ketahuan menggondol dana USD 65 miliar dari kliennya, yang terdiri atas pengelola investasi global, perbankan, yayasan amal, dan orang-orang kaya. Madoff pun ikhlas ketika diperintahkan untuk mengganti rugi sampai USD 170 miliar—di antaranya terwujud dalam bentuk aset rumah, kondominium, kapal, mobil dan perhiasan mewah. “Saya sangat menyadari, saya benar-benar sudah menyakiti banyak, banyak orang,” ungkap Madoff di pengadilan satu dekade silam.
Jika Madoff menunjukkan sesal, tidak halnya Allen Stanford. Pada 2012, pebisnis asal Texas itu dijatuhi hukuman 110 tahun penjara karena melakukan penipuan melalui skema Ponzi senilai USD 7 miliar. "Apakah aku bakal meminta maaf? Tidak. Camkan kata-kataku… Aku akan meninggalkan tempat ini sebagai manusia bebas,” demikian racauan Stanford saat diwawancarai di dalam penjara oleh BBC pada 2016. Banyak korban penipuan Stanford adalah investor dana pensiun atau lansia—170 di antaranya meninggal tak lama setelah kejahatan Stanford terungkap.
Aset kekayaan Stanford diperkirakan pernah mencapai USD 2,2 miliar atau sekarang nilainya Rp31 triliun. Gaya hidup Stanford sungguh mewah: punya pesawat terbang, kapal pesiar, dan pulau pribadi di kawasan laut Karibia. Ia juga dikenal suka mensponsori turnamen olahraga cricket.
Masih ada pula orang kaya berkelakuan bejat dan korup. Mantan PM Italia Silvio Berlusconi (84) misalnya. Hari ini, harta kekayaan Berlusconi sekeluarga mencapai USD 7 miliar atau nyaris Rp99 triliun. Berangkat dari latar belakang pebisnis media, Berlusconi menjabat sebagai PM Italia sebanyak empat kali sepanjang 1994-2011, sampai akhirnya ia ketahuan suka main gila dengan perempuan-perempuan muda dan kelak diadili atas keterlibatannya dalam prostitusi remaja. Selain itu, ia pernah dihukum karena ketahuan menyuap anggota senat dan menggelapkan pajak.
Perilaku curang juga nampak pada segelintir orangtua kaya raya, yang berani menyuap pihak sekolah demi pendidikan terbaik anak. Kasus ini sempat ramai di AS beberapa tahun silam, ketika mereka diketahui menyuap pihak kampus agar anak-anaknya diterima di universitas-universitas elite Ivy League.
Orang Kaya Cenderung Tak Etis?
Bercermin pada kebobrokan moral sejumlah figur tajir melintir di atas, tampak bagaimana kekayaan bisa memberikan pengaruh rumit terhadap perilaku dan psikologi manusia. Merujuk pada penelitian berjudul “Higher social class predicts increased unethical behavior” (2012), tim peneliti dari University of California melakukan serangkaian eksperimen pada orang dewasa untuk mencari korelasi antara kelas sosial dengan perilaku etis. Disimpulkan bahwa individu-individu dari latar belakang kelas atas bersikap lebih tak etis, baik di lingkungan alami maupun dalam eksperimen lab.
Salah satu eksperimen dilakukan untuk melihat sejauh mana orang kaya berani melanggar hukum. Melibatkan subyek penelitian sebagai pengendara mobil, terungkap bahwa semakin mewah mobil yang dikendarai, semakin besar peluangnya untuk tidak memberi kesempatan orang menyeberang. Padahal, aturan lalu lintas di California mengharuskan kendaraan bermotor mendahulukan pejalan kaki. Sementara itu, orang yang mobilnya murah, konsisten memberikan kesempatan orang menyeberang.
Eksperimen berikut-berikutnya dilakukan dalam situasi terkontrol di dalam lab. Salah satunya menunjukkan lebih banyak orang dari kelas atas mengambil sesuatu yang tidak ditujukan buat mereka. Dalam sesi menunggu antrean masuk ruangan, peneliti menyediakan toples permen khusus anak-anak. Partisipan diberitahu bahwa mereka boleh ambil beberapa permen. Hasilnya, orang kelas atas mengambil lebih banyak permen.
Contoh eksperimen dengan mobil dan permen di atas secara sederhana menunjukkan kecenderungan orang-orang kaya untuk merasa berkuasa sampai-sampai berani menyerobot aturan dan kurang berempati dengan mengambil permen jatah anak-anak.
Riset di atas juga berusaha memaparkan bagaimana pandangan orang kaya terhadap sifat rakus bisa menjelaskan kenapa mereka cenderung bersikap tidak etis. Dalam suatu eksperimen, partisipan diminta untuk mengkategorikan kelas sosialnya, kemudian mengisi kuesioner untuk mengukur sejauh mana dirinya menjustifikasi tindakan rakus. Akhirnya, partisipan dihadapkan pada skenario negosiasi kerja yang menuntut mereka untuk menyampaikan atau menyembunyikan suatu kebenaran. Hasilnya, individu-individu kelas atas condong untuk tidak menyampaikan kebenaran. Salah satu alasannya bisa digiring pada pandangan mereka yang cenderung menilai sifat rakus dalam arti lebih positif.
Meskipun semua orang pada dasarnya punya sifat rakus, hasil riset tim ilmuwan California ini menunjukkan bahwa motif perilaku serakah tidaklah merata di seluruh lapisan sosial. Di sisi lain, riset ini tidak bermaksud mengeneralisasi sikap tidak etis pada semua orang kaya, mengingat Gates atau Buffet merepresentasikan elitis yang sangat aktif berdonasi dalam sejarah kemanusiaan modern. Secara sederhana, temuan tim kampus California ini berusaha menunjukkan adanya kecenderungan pada elite masyarakat untuk melihat “pencapaian kepentingan pribadi” sebagai “motif yang lebih mendasar”.
Dalam tulisannya di The Conversation, profesor ilmu manajemen di University of Michigan David M. Mayer mengurai sejumlah alasan orangtua kaya raya yang rela melakukan suap agar anaknya diterima di kampus top. Alasan pertama, tentu saja, orangtua merasionalisasi tindakan tak etis demi memenuhi kepentingan pribadinya, yakni meningkatkan citra sebagai orangtua dari anak yang pintar. Selain itu, kecurangan juga dapat didorong oleh privilese yang dimiliki orang-orang kaya, bahwa mereka punya “sense of entitlement” atau merasa dirinya “lebih pantas” daripada orang lain. Alasan lainnya, orang berduit dan terkenal sering merasa dirinya berkuasa, sehingga cenderung percaya bahwa mereka kebal dari konsekuensi tindakan-tindakan yang tidak etis.
Dalam riset lain berjudul “Social class, solipsism, and contextualism: How the rich are different from the poor” (2012), tim periset University of California menjelaskan bagaimana sumber daya yang dimiliki seseorang dari kelas sosial tertentu dapat mempengaruhi perilaku orang yang bersangkutan. Orang yang berangkat dari latar belakang mapan cenderung lebih fokus pada dirinya saja. Sejak awal, orang-orang kaya sudah disokong dengan sumber daya yang besar. Artinya, mereka bisa tumbuh jadi lebih mandiri atau merdeka untuk fokus meraih cita-cita.
Berbeda halnya dengan masyarakat ekonomi bawah yang sumber dayanya terbatas. Mereka tidak punya tingkat kebebasan setinggi orang kaya. Akibatnya, fokus mereka mengarah ke luar, yakni bersikap lebih awas atau sensitif terhadap orang lain dan kondisi sosial di sekitarnya. Seperti disampaikan oleh anggota tim riset, Dacher Keltner, kepada Time, kehidupan orang-orang kelas bawah sudah dipusingkan oleh berbagai ancaman. “Mereka terancam oleh lingkungan, institusi, dan orang lain. Salah satu strategi paling adaptif untuk merespons ancaman adalah dengan bersikap sangat waspada dan memperhatikan orang lain baik-baik,” ujar Keltner, “serta berusaha mendorong kerjasama untuk membangun aliansi-aliansi yang kuat.”
Editor: Windu Jusuf