tirto.id - Pemerintah menargetkan pendapatan negara mencapai Rp2.142,5 triliun, yang meliputi total dari perpajakan Rp1.781 triliun dalam Rancangan APBN 2019. Namun, target ini dianggap agak ambisius oleh pemerintah sendiri.
Pada pidato penjelasan pemerintah soal RUU APBN 2019 beserta Nota Keuangannya DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis siang (16/8/2018), Presiden Jokowi mengatakan pemerintah menyusun RAPBN 2019 ini dengan mengedepankan prinsip kemandirian. Jokowi ini menegaskan agar biaya pembangunan diprioritaskan dari pajak, di samping pemasukan lain seperti utang.
Sumbangan pajak dari tahun ke tahun terhadap APBN memang terus naik. Misalnya pada 2014, penerimaan perpajakan (total pajak dan bea cukai) dalam APBN mencapai 74 persen atau senilai Rp1.146 triliun. Sementara pada 2018 diperkirakan mencapai 81 persen atau senilai Rp1.548 triliun.
“Semakin tingginya peranan pajak dalam mendanai APBN tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk terus memperbaiki kinerja perpajakan, melalui kebijakan, strategi perpajakan, dan implementasi reformasi pajak yang berkelanjutan, serta didukung oleh peningkatan kepatuhan wajib pajak,” kata Jokowi.
Namun, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira Adhinegara menilai target pajak yang diproyeksikan pemerintah di RAPBN 2019 tidak realistis. Alasannya, proyeksi penerimaan pajak dengan pertumbuhan ekonomi gapnya terlalu jauh.
Menurut Bhima, pertumbuhan penerimaan perpajakan khususnya dari sektor pajak dalam RAPBN 2019 mencapai 10 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi hanya ditargetkan 5,3 persen. Target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2019 ini lebih rendah dibandingkan dengan APBN 2018 sebesar 5,4 persen. Ia menegaskan bila pertumbuhan ekonomi hanya 5,3 persen pada 2019, penerimaan pajak paling enggak tumbuh 6 persen sehingga masih cukup rasional.
“Kalau pertumbuhan ekonomi targetnya diturunkan dari 2018 ke 2019, maka harusnya penerimaan pajaknya bisa lebih rendah target pertumbuhannya. Harus tetap bertumbuh, tapi pertumbuhannya harusnya enggak terlalu jauh dari pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima kepada Tirto, Jumat (17/8/2018).
Bhima menyebut, ada istilah pro cycle antara penerapan pajak dengan pertumbuhan ekonomi. Jika siklus ekonomi mengalami penurunan, maka harusnya pajak direlaksasi (dilonggarkan). Sebaliknya, apabila pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi, maka pajaknya dapat digenjot optimal.
“Harusnya seperti itu kalau pemerintah berempati ke dunia usaha,” kata Bhima.
Target Pajak yang Ambisius
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui proyeksi penerimaan total perpajakan pada RAPBN 2019 sebesar Rp1.781 triliun atau tumbuh 15 persen dari "outlook" 2018 sebesar Rp1.548,5 triliun, merupakan target yang agak ambisius.
Namun, Sri Mulyani menegaskan semestinya target tersebut masih bisa dicapai. “Total tax (perpajakan) tumbuh 15 persen. Ini cukup baik, tidak terlalu `unrealistic`, agak ambisius, tapi semestinya masih bisa dicapai,” kata Sri Mulyani dalam jumpa pers soal Nota Keuangan dan RAPBN 2019 di Jakarta, Kamis sore, seperti dikutip Antara.
Sri Mulyani mengatakan, salah satu upaya untuk mencapai target tersebut adalah dengan mendorong pengawasan kepatuhan perpajakan melalui implementasi pertukaran akses informasi keuangan secara otomatis (AEOI).
Selain itu, melakukan ekstensifikasi dan peningkatan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca-pelaksanaan amnesti pajak serta penanganan UMKM melalui pendekatan business development services.
“Kami melihat selama ini `tax ratio` masih rendah dan kepatuhan bisa ditingkatkan, melalui AEOI, BEPS, kerja sama internasional, pertukaran akses informasi plus `post tax amnesty',” kata Sri Mulyani optimistis.
Pengawasan kepatuhan ini juga didukung oleh sinergi pelayanan otoritas pajak maupun kepabeanan dan cukai, serta pembenahan basis data perpajakan dan penerapan pengawasan Wajib Pajak berbasis risiko.
Sri Mulyani menambahkan penegakan hukum kepada Wajib Pajak melalui pelaksanaan penegakan hukum secara berkeadilan dan peningkatan mutu pemeriksaan melalui perbaikan tata kelola, sebagai cara lain untuk mengoptimalkan pemasukan perpajakan.
Penguatan pelayanan perpajakan juga dilakukan dengan simplifikasi registrasi, perluasan tempat pemberian pelayanan, perluasan cakupan e-filing dan kemudahan restitusi. “Kami sudah mempertimbangkan situasi perpajakan secara total, dengan melihat kombinasi yang pas antara keinginan peningkatan tax ratio tapi tetap realistis dengan kondisi perekonomian,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama menyebutkan dari target penerimaan perpajakan Rp1,781 triliun, sebesar Rp1.572 triliun ditargetkan dari pajak. Sisanya sekitar Rp209 triliun dari bea cukai.
“Kalau DJP Rp1.572 triliun untuk RAPBN 2019, dari PPh migas, non migas dan pajak lainnya yang kewenangannya di DJP. Itu sebenarnya naiknya 10 persen dari 2018 yang sebesar Rp1.424 triliun,” kata Hestu kepada Tirto, pada Jumat (17/8/2018).
Menurut Hestu, pemerintah cukup punya modal bagus untuk menaikkan penerimaan pajak, yaitu dari realisasi pertumbuhan penerimaan pajak selama dua tahun ini. “Tahun 2017 dibanding 2016 kami keluarkan unsur tax amnesty, maka [realisasi penerimaan pajak] tumbuh 15,9 persen. Pada 2018 sampai Juli sudah realisasinya tumbuh 14,36 persen, kalau dikeluarkan tax amnesty tumbuhnya 16 persen. Jadi, kalau bicara Rp1.572 triliun dibanding realisasi 2018 itu tumbuhnya 16,4 persen,” kata Hestu.
Hestu menambahkan, pemerintah ingin menjaga konsistensi pertumbuhan penerimaan pajak dari 2017, 2018 yang sekitar 15-16 persen. Pada 2019 dengan pertumbuhan realisasi 16,4 persen, kata dia, maka cukup realistis target pajak itu bisa dicapai.
Namun, Bhima Yudistira Adhinegara tetap ragu target pemerintah tersebut dapat terealisasi. Ia bahkan mengistilahkan proyeksi di RAPBN 2019 itu sebagai "berburu di kebun binatang" atau intensifikasi pajak. Ia bertanya, siapa lagi yang akan dipajaki oleh pemerintah untuk mengejar target tersebut.
“Tax rasio sekarang ada di sekitar 10 persenan. Ini menjadi indikator jangan-jangan pemerintah akan melakukan intensifikasi perpajakan kepada mereka yang sudah ikut tax amnesty, patuh perpajakannya akan jadi sasaran utama objek pajak,” kata Bhima.
Sebab, untuk memperluas wajib pajak, kata dia, instrumen AEoI belum terlalu efektif untuk mendorong penerimaan pada 2019. Menurut Bhima, butuh waktu panjang untuk mengefektifkan kegunaan AEoI.
“Saya melihat AEoI yang akan berlaku di tahun ini belum akan berkontribusi terhadap kenaikan perpajakan tahun depan, karena AEoI itu, kan, baru transparansi dari rekening, tapi dari transparansi bisa masuk ke kas pemerintah butuh waktu dan proses yang panjang,” kata Bhima.
Alasan kedua,karena porsi pajak paling besar 31 persen dari industri manufaktur. Sementara industri manufaktur dalam negeri saat ini sedang loyo. “Melihat kuartal II-2018 tumbuh 3,9 persen. Artinya ada perlambatan, belum sampai 5 persen, lalu mengalami penurunan. Program industrialisasi juga prematur, karena share dari industri manufaktur sekarang tinggal 20 persen terhadap PDB,” katanya.
“Kalau [kondisi industri manufaktur ini] lanjut ke 2019, maka kurang rasional pemerintah menaikkan penerimaan pajaknya 10 persen,” kata Bhima.
Menurut Bhima, jika pajak naik cukup signifikan di tengah kondisi industri sektor riilnya sedang mengalami perlambatan, maka itu menjadi tanda tanya. Ia mengkhawatirkan penerimaan pajak itu sifatnya kontra terhadap kondisi perekonomian.
“Kalau pajak ditingkatkan terlalu tinggi, agresif, nanti masyarakat kelas menengah atas, malah makin menahan belanjanya. Itu akan menjadi perlambatan konsumsi rumah tangga. Artinya blunder terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima.
Pendapat Bhima cukup masuk akal melihat target penerimaan pajak sejak 2014 selalu meleset dari target APBN. Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto menunjukkan, pada 2014 ada short fall sebesar 8,14 persen dari pajak pada APBN atau realisasinya hanya 91,86 persen dari target APBN sebesar Rp1.072 triliun.
Pada 2015, melesetnya mencapai 18,03 persen atau realisasinya hanya sekitar 81,97 persen dari target APBN Rp1.294 triliun. Pada 2016, realisasinya sebesar 81,54 persen dari target APBN Rp1.283 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada 2017 yang realisasinya hanya sebesar 89,40 persen dari target APBN Rp1.283 triliun.
Pada 2018, Bhima memprediksi realisasinya hanya di kisaran 90 persen. “Pada 2018 short fall pasti. Saat ini terbantu sekali oleh harga migas [minyak dan gas] naik. Tentu akan ada short fall, tapi memang enggak terlalu besar,” kata Bhima.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama mengakui soal peluang tak tercapainya penerimaan pajak. “Ada kemungkinan short fall di 2018 dan pronogsisnya 2018 hanya 95 persenan yang akan tercapai [dari target APBN 2018 Rp1.424 triliun]” kata Hestu.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz