Menuju konten utama
Polemik Pasal Penistaan Agama

Dugaan Penodaan Agama Panji Gumilang: Jangan Lupakan Kasus TPPU

Mahfud MD meminta Bareskrim Polri mempercepat proses pidana lain di luar soal dugaan penodaan agama Panji Gumilang.

Dugaan Penodaan Agama Panji Gumilang: Jangan Lupakan Kasus TPPU
Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang (tengah) berjalan saat akan menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (1/8/2023). Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri memeriksa Panji Gumilang sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana penistaan agama. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

tirto.id - Pimpinan Ponpes Al Zaytun, Panji Gumilang resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama pada Selasa (1/8/2023) malam. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro sebut, Panji Gumilang langsung ditahan karena dinilai tidak koperatif.

Dalam kasus ini penyidik telah memeriksa 40 saksi dan 17 ahli. Pada perkara dugaan penistaan agama ini, polisi menerima tiga laporan polisi dan dua pengaduan masyarakat. Bareskrim pun menyatukan seluruh pelaporan itu untuk ditindaklanjuti.

Panji Gumilang dijerat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, serta Pasal 156a KUHP. Kini ia ditahan di Rutan Bareskrim selama 20 hari sejak 2 Agustus hingga 21 Agustus.

Alasan penahanan lantaran ancaman hukumannya lebih dari lima tahun, tidak kooperatif dalam pemeriksaan, dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, dan dikhawatirkan mengulangi perbuatan.

Panji Gumilang dianggap tak kooperatif karena tidak hadir dalam pemeriksaan sebagai saksi beberapa waktu lalu. Ia tidak hadir dengan alasan demam.

“Namun fakta surat dokter kami ragukan keabsahannya, hanya kirim via WhatsApp, (surat) aslinya tidak diberikan. Alasan sakit memunculkan diri di publik dan keterangan penasihat hukum (bahwa Panji) sakit tangan patah,” kata Djuhandhani.

Polemik Panji Gumilang Dijerat Pasal Penodaan Agama

Namun pasal penodaan agama yang dipakai polisi untuk menjerat Panji Gumilang menuai polemik. Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama misalnya, menilai penetapan tersangka dan penahanan dengan pasal penodaan agama adalah pelanggaran kebebasan sipil.

“Agama adalah ranah subjektif yang masing-masing warga memiliki hak yang setara untuk memiliki tafsir atas keyakinan keagamaan,” kata Muhamad Isnur, salah satu perwakilan koalisi, dalam keterangan tertulis, Rabu, 2 Agustus 2023.

Kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak mendasar setiap warga negara dan dijamin dalam instrumen hukum dan HAM seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara demokratis dengan catatan serius pada aspek kebebasan sipil. Penetapan tersangka penodaan agama terhadap Panji akan menambah daftar panjang pelanggaran HAM di Indonesia dan menjadikan negara ini kembali tercoreng di mata internasional. Keputusan ini, kata Isnur, akan membuat Indonesia sulit bangkit dari posisi sebagai negara dengan kemerosotan kualitas demokrasi yang serius.

Setara Institute mencatat sepanjang pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan hebat kasus-kasus penodaan agama. Catatan Setara Institute menunjukkan sejak 1965 hingga akhir 2022 telah terjadi 187 kasus penodaan agama. Kasus ini menambah rentetan sejarah kelam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Karena itu, koalisi meminta negara untuk menghentikan penggunaan pasal karet penodaan agama untuk menjerat individu dan kelompok yang memiliki ikhtiar pemikiran dan tafsir berbeda pada keyakinan keagamaan. Negara perlu menjamin dan memberi kepastian kebebasan sipil bagi setiap warga.

Koalisi juga meminta media untuk secara objektif tidak ikut dalam produksi berita yang menyudutkan kelompok berbeda dengan turut serta memberi label sesat atau menyimpang. Isnur sebut, media seharusnya berdiri di atas semua kelompok masyarakat serta meminta aparat hukum untuk membebaskan Panji dari tuntutan dan tuduhan penistaan agama.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengaku, tidak kaget dengan penetapan Panji sebagai tersangka penodaan agama. Meski oleh sebagian ahli agama dan akademisi apa yang dinyatakan Panji merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang lumrah dalam khazanah keagamaan, tapi langkah ini merupakan cara mudah untuk melayani selera dan sentimen politik kelompok konservatif, terutama di tahun politik.

Dalam konteks itu, kata Halili, Setara Institute menilai pemerintahan Jokowi telah meninggalkan warisan yang buruk bagi kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

“Sepanjang hukum penodaan agama masih digunakan, kami memandang bahwa di masa depan akan terus berjatuhan korban kriminalisasi menggunakan pasal-pasal penodaan agama. Dengan memanipulasi otoritas agama, seseorang atau komunitas tertentu akan dengan mudah dikriminalisasi melalui proses yang diklaim pemerintah sebagai penegakan hukum,” kata Halili.

Halili juga berpendapat, penetapan Panji jadi tersangka, menambah deret pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dan pelanggaran kebebasan berekspresi pada pemerintahan Jokowi. Menurut dia, presiden tidak bisa mengabaikan fakta ini, bukan saja karena kepolisian dan kejaksaan berada di bawah wewenangnya, tapi menguatkan gejala ketundukan aparatur pemerintahan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara legal bukanlah peraturan perundang-undangan.

Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulang kali mendesak agar negara anggotanya menghapus hukum penodaan agama dari hukum nasional sebagai salah satu prasyarat negara demokrasi, tapi hingga kini pemerintah selalu tunduk pada pandangan keagamaan MUI dan kelompok keagamaan konservatif.

Pemeriksaan Panji Gumilang di Bareskrim

Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang (tengah) berjalan saat akan menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (1/8/2023). Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri memeriksa Panji Gumilang sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana penistaan agama. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

Bagaimana dengan Kasus TPPU Panji Gumilang?

Di sisi lain, Menko Polhukam Mahfud MD meminta Bareskrim Polri mempercepat proses pidana umum atau pidana khusus di luar soal penodaan agama seperti yang selama ini berlangsung. Ia menegaskan, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Bareskrim adalah laporan-laporan tindak pidana umum atau tindak pidana khusus supaya dipercepat.

“Sehingga paralel dengan sekarang yang sedang berjalan. Karena kasus ini bukan semata kasus penistaan, tapi juga ada laporan-laporan lain yang bukti-bukti awalnya sudah diserahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan sumber lain yang berasal dari masyarakat,” ucap Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Kamis (3/8/2023).

Mahfud juga menugaskan menteri agama dan gubernur Jawa Barat mengawal Ponpes Al Zaytun sekaligus melakukan pendampingan, agar proses pendidikan tidak terganggu dan tetap berjalan setelah Panji ditetapkan sebagai tersangka.

“Kami menyadari bahwa energi terbesar dari penyelenggaraan Ponpes Al Zaytun terutama masalah manajemen dan pendanaan itu ada di bawah kendali Panji Gumilang. Maka tadi kami rapat, yang hadir adalah menteri agama, menteri dalam negeri, menteri hukum dan HAM, Kepala PPATK, Kabareskrim, serta gubernur Jawa Barat,” kata Mahfud.

Kementerian Agama juga diberi wewenang untuk mengasesmen penyelenggaraan pendidikan maupun tenaga-tenaga pendidik untuk menyelenggarakan pendidikan Ponpes Al Zaytun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lalu, tugas Bareskrim ialah memberi jaminan keamanan terhadap siapapun yang akan melakukan proses-proses hukum dan pemeriksaan terhadap lingkungan pesantren. Mahfud meminta agar warga pesantren jangan panik, karena hak-haknya akan tetap diberikan sepenuhnya dan dilindungi.

“Kalau ada sesuatu yang menyimpang dari pemberian perlindungan atas hak konstitusional ini supaya disuarakan. Sehingga kami yang di Jakarta bisa mendengar apa itu benar atau tidak. Jadi jangan sampai ada tindakan-tindakan yang melanggar hukum atau melanggar hak konstitusional para santri,” tegas Mahfud.

Sementara itu, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyatakan, publik tahu bahwa belakangan ini ada persepsi yang hadir bahwa penindakan kepolisian seringkali didasarkan pada seberapa besar perhatian masyarakat terhadap suatu kasus. "No viral, no justice.”

“Selain tampak lebih viral dan mendapat perhatian publik, kasus penodaan agama ini juga sudah jauh lebih lama diadukan. Setidaknya jika merujuk pada kajian Majelis Ulama Indonesia tahun 2002, organisasi-organisasi Islam sudah mengemukakan indikasi adanya praktik penodaan agama ini sejak lebih dari 20 tahun,” kata dia kepada Tirto, Kamis (3/8/2023).

Sayangnya, hal itu tidak pernah ditangani secara serius hingga tuntas oleh penegak hukum. Lantas muncul persepsi adanya pembiaran bahkan “perlindungan” terhadap aktor-aktor penodaan agama di Al Zaytun, terutama Panji Gumilang. Apalagi kemudian hal itu terus berulang tanpa sanksi hukum.

Belakangan muncul juga dugaan dan temuan praktik penghimpunan dana yang disalahgunakan dan dimanipulasi untuk tujuan pribadi, terkait aktivitas pendidikan di pondok tersebut, maupun yang dilakukan melalui apa yang dikenal oleh publik sebagai NII KW-9. Itu juga tidak ditangani secara serius.

Akhirnya ketika dugaan penodaan agama kembali berulang, kata dia, reaksi masyarakat juga lebih kuat, termasuk dengan menggelar berbagai aksi protes. Selain akibat akumulasi ketidakpuasan atas “pembiaran” sebelum-sebelumnya, juga karena Panji kali ini tampaknya juga lebih “bernyali” menghadapi kemarahan publik yang meluas.

Kemarahan itu diikuti dengan hadirnya keluhan-keluhan masyarakat terkait penghimpunan dana bermasalah yang kemudian setelah dikaji oleh Mahfud, disimpulkan bahwa Panji diduga telah melakukan pencucian uang.

“Dalam hal ini menurut saya Polri sudah menanganinya dengan skala prioritas yang tepat. Pertama yang didahulukan adalah kasus penodaan agama yang memicu ketidakpuasan dan kemarahan publik yang menganggap bahwa tindakan penodaan itu telah 'dibiarkan' berlangsung lebih dari dua dekade. Polri perlu meredam ini atas dasar kepentingan umum dan untuk memulihkan kepercayaan publik atas kemampuan penegakan hukum,” tutur Fahmi.

Kedua, dalam kasus Panji dan Al Zaytun, dugaan penodaan agama adalah yang lebih awal diadukan ketimbang kasus penyalahgunaan dana publik dan pencucian uang. Artinya wajar jika kasus yang lebih awal yang kemudian didahulukan untuk ditangani, kata Fahmi.

Ketiga, kata Fahmi, kasus penodaan agama diyakini akan lebih cepat ditangani karena pembuktiannya lebih mudah. Sementara kasus pencucian uang, lanjut Fahmi, membutuhkan waktu yang lebih panjang dan rumit dalam pembuktiannya. “Harus diingat bahwa tindak pidana pencucian uang menggunakan jenis pembuktian terbalik dalam peradilannya.”

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim pun buka mulut soal perkara ini. “Kami, sejak mencuat informasi rekening-rekening bank yang diduga dimiliki atas nama PG, telah mendorong agar didalami. Tentu dalam hal ini terkait dengan PPATK,” ucap dia kepada Tirto, Kamis (3/8/2023).

Apabila PPATK telah memberikan Laporan Hasil Analisis Transaksi yang mencurigakan, maka laporan analisis tersebut perlu ditindaklanjuti dugaan pencucian uang; atau jika belum ada laporan analisis, Bareskrim dapat proaktif koordinasi dengan PPATK.

“Dalam pantauan Kompolnas, terkait dugaan pencucian uang oleh PG, masih dalam proses,” kata Yusuf.

Baca juga artikel terkait KASUS PANJI GUMILANG atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz