tirto.id - DPR RI mewacanakan pembentukan Rancangan Undang-Undang Transportasi Online guna mewadahi aturan bagi para pengemudi ojek online (ojol) maupun pengendara taksi online. Hal itu sebagai bentuk kesimpulan setelah mereka menerima audiensi berbagai organisasi ojol di Komisi V DPR RI pada Rabu (21/5/2025).
Wacana undang-undang baru ini menjadi menarik, sebab sejauh ini segala aturan terkait transportasi online masih ikut dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Konteksnya yang kelewat luas, membuat aturan itu belum bisa menaungi keinginan para driver ojol dalam operasinya di atas aspal.
Selain itu DPR, lewat Komisi V, menilai, Undang-Undang Transportasi Online perlu ada karena kompleksitas isunya. Bahasan transportasi online mencakup banyak sektor dan kementerian.
“Tadinya ini akan kami tempelkan di (Undang-Undang) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tapi karena (persoalan transportasi online) ini spesifik, nggak bisa numpang di UU LLAJ,” kata Ketua Komisi V DPR, Lasarus, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pengemudi aplikasi transportasi online di Kompleks MPR/DPR RI, Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Lasarus menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Transportasi Online akan menjadi lex specialist atau undang-undang khusus yang dapat mengatur berbagai ekosistem bagi angkutan yang berbasis aplikasi. Harapannya beleid ini akan mengatur hubungan kerja antara pengemudi dan aplikator, sistem potongan, hingga hal teknis lainnya.
Dia menambahkan pembahasan ini, sebaiknya ada panitia khusus (pansus), karena menyangkut tupoksi lintas kementerian dan lembaga. Pembahasan aturan ini tidak hanya berkaitan dengan mitra Komisi V, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), tapi juga Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) hingga Korlantas Polri.
"Biar ini lex specialist, lebih baik dia berdiri sendiri nanti namanya Undang-undang Angkutan Online. Jadi dia lex specialist termasuk mengatur hubungan kerja dan seterusnya, sistem potongan dan seterusnya, nanti semua diatur di satu undang-undang ini saja,” ujar Lasarus.
Setelah rapat, Lasarus menjelaskan bahwa pembahasan Undang-Undang Transportasi Online akan dipercepat. Meski belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, penyelesaiannya ditargetkan rampung dalam waktu dekat.
Lasarus menjelaskan pihaknya akan bergerak cepat untuk menyiapkan terlebih dahulu naskah akademiknya. Setelah itu, mereka akan berkonsultasi lebih lanjut dengan pimpinan DPR. Jika naskah akademik telah rampung, rencananya akan dipaparkan di Badan Legislasi (Baleg), lalu dibawa ke Rapat Paripurna untuk ditetapkan sebagai bagian dari Prolegnas.
Pihaknya akan segera memanggil kementerian terkait dan berkoordinasi dengan Komisi I selaku mitra Komdigi dan Komisi IX selaku mitra Kemnaker dan mengenai pembayaran digital akan melibatkan Komisi XI. Adapun naskah akademik akan dibahas oleh Badan Keahlian Sekjen DPR RI.
Ada UU LLAJ, Mengapa Harus Bikin Aturan Baru?
Lasarus menjelaskan urgensi RUU Transportasi Online. Menurut dia cakupan aturan dan aspirasi para pengemudi ojol yang luas, membuatnya tak bisa dipenuhi hanya dengan UU LLAJ. Salah satu contohnya mengenai basis teknologi yang membedakan ojol dengan transportasi konvensional lainnya.
"Tadinya ini akan kami tempelkan di (UU) lalu lintas dan angkutan jalan tapi karena (persoalan transportasi online) ini spesifik nggak bisa numpang di UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Karena nggak mungkin nanti sistemnya itu kita masukkan di lalu lintas dan angkutan jalan, ini sementara hasil diskusi kami dengan berbagai pihak,” kata Lasarus masih dalam RDPU yang sama, Rabu (21/5/2025)."
Politisi PDIP tersebut juga menjelaskan mengapa tidak memilih untuk merevisi UU LLAJ. Menurutnya, harapan pengemudi transportasi online beragam dan tidak bisa dipenuhi dengan undang-undang lama tersebut.
"Lebih baik kita ini buat sendiri, sehingga bisa rigid nanti kita atur satu persatu nih pasal demi pasalnya. Saya khawatir kalau ini nempel di (UU) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, karena undang-undang ini terlalu nanti tidak rigid, sehingga dikhawatirkan menimbulkan permasalah lagi," kata dia.
Walaupun berusaha memperbaiki nasib para pengemudi transportasi online dengan aturan perundangan baru, namun Lasarus tak bisa memastikan terkait ketentuan ojol ataupun transportasi online lainnya, menjadi angkutan umum. Menurutnya hal itu akan dikaji berbagai pihak termasuk mendengar pendapat dari pemerintah.
Rencananya Komisi V DPR akan berdiskusi dengan pihak-pihak yang akan terkait langsung dengan transportasi online. Selain kelompok pemerintah, mereka juga akan menyaring pendapat dari para pengemudi dan perusahaan aplikator transportasi online.
Lasarus menegaskan tak ingin menghakimi para aplikator, yang dituding sewenang-wenang karena memotong komisi para pengemudi transportasi online di atas ketentuan. Namun, dia menegaskan akan menegakkan aturan sesuai dengan ketentuan hukum.
"Kemudian ada pelanggaran-pelanggaran dari aplikator. Tadi juga buktinya sudah disampaikan kepada kami dan akan kami konfirmasi bukti-bukti kepada pemerintah dan aplikator," katanya.
Terkait konfirmasi bukti dari DPR dan rencana pembahasan RUU Transportasi Online secara umum, Tirto telah mencoba menghubungi kementerian terkait. Sayangnya, di Kemenhub, kami terus diarahkan dari satu pihak ke pihak yang lain. Berujung di Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Aan Suhanan, yang tidak menjawab hingga tulisan ini terbit.
Sementara Komdigi, Menteri Meutya Hafid, Wakil Menteri Nezar Patria dan Angga Raka Prabowo, semuanya tidak merespons pesan ataupun telepon Tirto sampai Jumat (23/5/2025).

Menimbang Baik-Buruk RUU Transportasi Online
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, mempertanyakan niat DPR yang hendak membuat RUU Transportasi Online. Menurut Deddy, tanpa ada kepastian status kendaraan transportasi online –angkutan umum atau masih angkutan pribadi– masalahnya tidak akan tuntas.
Dia mengatakan masalah mendasar tersebut harus menjadi prioritas utama untuk diselesaikan sebelum RUU Transportasi Online dibentuk. Menurutnya, hal itu menyangkut aspek standar keselamatan baik pada pengemudi maupun penumpang.
"Kalau kendaraannya itu aturannya juga harus sesuai dengan aturan Kementerian Perhubungan. Semisal motor, apakah ada lampunya atau tidak? Kemudian motor harus terawat, memiliki kampas rem yang bagus –kalau mau ngomong pakai aturan," kata Deddy saat dihubungi Tirto, Jumat (23/5/2025).
Dia menjelaskan bahwa sebagai alat transportasi publik, transportasi online seharusnya mendapat perlakuan yang sama dengan angkutan lainnya. Termasuk harus melakukan uji karakteristik dan keamanan (KIR).

Deddy ragu kalau para pengemudi transportasi online, baik mobil maupun motor, bersedia menjalankan aturan tersebut. Meski begitu, menurutnya pemerintah tetap harus menetapkan aturan demi menjaga keselamatan pengemudi dan penumpang.
"Kalau saya nomor satu tetap menerjemahkan keselamatan, baru yang nomor dua kesejahteraan atau urusan perut," katanya.
Selain itu, dalam RUU Transportasi Online, menurut Deddy harus ada peran Kementerian Ketenagakerjaan. Kemnaker harus mengatur secara jelas dan tegas mengenai jam kerja para pengemudi. Walaupun berstatus mitra, namun aplikator tidak boleh sewenang-wenang membiarkan para pengemudi tersebut bekerja di jalan raya melebihi aturan 8 jam kerja.
Kembali, perhatian Deddy terkait dengan keamanan dan keselamatan. Dia khawatir jika pengemudi kerja melebihi 8 jam, akan menimbulkan rasa lelah saat berkendara. Hal ini berbahaya, bukan hanya bagi pengemudi, tapi juga ke penumpang. Hal ini berkaca dari data 27 ribu orang meninggal di jalan raya karena kendaraan roda dua.
"Semisal ojol tersebut bekerja lebih dari 8 jam, dihitung sebagai lembur. Atau pihak aplikator mematikan aplikasi dari driver apabila sudah bekerja lebih dari 8 jam," katanya mencoba memberi solusi.
Deddy menambahkan, jika RUU Transportasi Online dibahas lintas kementerian, ia meminta DPR dan pemerintah mendesak aplikator untuk mengubah jenis perusahaannya, tidak hanya berbasis digital, tetapi juga bergerak di bidang transportasi.
Hal ini penting sebab, selama ini perusahaan berbasis digital hanya bisa diatur oleh Komdigi. Sementara sisi transportasinya tidak bisa diinterupsi Kemenhub. Hal ini termasuk juga soal putus mitra, hingga suspend yang kerap menjadi keluhan para driver ojol.
"Dia harus perusahaan transportasi, kalau dia bukan perusahaan transportasi ya susah dia nggak bisa mengatur," kata Deddy.
Dirinya mencontohkan pemerintah Inggris yang bisa mendesak aplikasi transportasi, Uber untuk menjadi perusahaan transportasi. Dampaknya, pihak Kementerian Perhubungan Negeri Raja Charles III, dapat mengawasi dan mengintervensi jika ada masalah dari segi transportasi.
Sementara itu Ketua Umum Masyarakat Ojek Online Seluruh Indonesia (MOOSI), Danny Stephanus, berharap pembahasan RUU Transportasi Online benar dilakukan. Sebab, UU LLAJ, yang memayungi mereka sekarang, belum bisa mengakomodir kerja driver ojol. Produk hukum itu juga dia nilai terlampau usang.

Senada, Ketua Armada Seluruh Ojek Online Indonesia (ASOOI), Hamam Krishna, juga berharap pembahasan RUU Transportasi Online bisa segera berjalan. Terkait permasalahan uji KIR –jika memang diperlukan– ataupun warna pelat hitam (angkutan pribadi) maupun pelat kuning (angkutan umum) bisa dicari jalan keluarnya bersama.
"Terkait hal tersebut semua pihak harus duduk bersama mencari skema terbaik agar kepentingan masyarakat bisa diakomodir," kata Krishna saat dihubungi Tirto, Jumat (23/5/2025).
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































