tirto.id - Gig economy yang melibatkan pekerja lepas atau kotrak kerja jangka pendek berdasarkan output/proyek telah berkembang pesat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Struktur ekonomi ini merebak terutama ketika pandemi COVID-19. Sebutan bagi para pekerjanya berbagai macam, mulai dari gig work, flexi-work, on-call work, freelance, sampai kepada non-standard employment (NSE).
Merujuk studi dari McKinsey di Amerika Serikat, pertumbuhan gig economy disebabkan beberapa faktor, seperti teknologi, fleksibilitas, dan kondisi ekonomi. Kemajuan teknologi yang memungkinkan seseorang untuk bekerja secara remote mendorong permintaan untuk pekerjaan yang lebih fleksibel.
Di sisi lain, beberapa orang menjalani jenis pekerjaan ini secara terpaksa disebabkan kompetisi mencari lapangan pekerjaan yang sangat tinggi. Pada periode kondisi ekonomi yang lemah dan cenderung stagnan, banyak perusahaan yang akhirnya memilih untuk merekrut pekerja kontrak untuk periode singkat. Metode ini juga dipilih untuk menghindari kewajiban pemberiaan tunjangan kerja
Meskipun demikian, jauh sebelum COVID-19, sejatinya di Afrika gig economy sudah lebih dahulu berkembang dan menjadi rahasia umum. Hal ini tertuang dalam studi Center for Global Development tahun 2018 yang menjelaskan para pekerja di Afrika memiliki sumber pendapatan beragam (serabutan). Kebanyakan pekerjaannya tidak membutuhkan kemampuan khusus, yang dicirikan dengan jam kerja panjang dan upah yang minim.
Secara global, World Bank memperkirakan bahwa gig economy ini berkontribusi terhadap 12 persen pasar tenaga kerja global, atau sekitar 400 juta pekerja, dan ini terus berlanjut. Pertumbuhannya sangat pesat di negara berkembang.
Meskipun kehadirannya diperkirakan berkontribusi membangun jutaan lapangan kerja di seluruh dunia, namun jenis pekerjaan ini sangat rentan. Kehadiran gig economy ini mendorong terjadinya praktik kerja yang tidak adil, upah tidak wajar, pekerjaan yang tidak stabil, pelemahan hak-hak pekerja, bahkan sampai kepada nihilnya perlindungan sosial (social protection).
Di Indonesia struktur pekerja ini juga berkembang pesat dalam satu dekade terakhir, di mana umumnya mereka bekerja sebagai ojek online (ojol). Kemunculan ojol di Indonesia menjadi sebuah momen yang menyadarkan kita pentingnya untuk memahami gig economy dan tidak memandang mereka sebelah mata dalam pasar tenaga kerja.
Di awal kemunculannya, ojol sempat menjadi pekerjaan primadona karena penghasilannya yang bisa dibilang fantastis, bahkan melebihi UMR beberapa kota besar di Indonesia. Selain itu, pekerjaan ini juga menawarkan fleksibilitas waktu kerja.
Tak ayal, permintaannya pun meningkat. Bahkan ada yang menjadikan ojol sebagai sumber penghasilan utama. Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) tahun 2023 menunjukkan dari 225 ojol di Jabodetabek, 61 persen diantaranya menjadi pekerjaan utama.
Sayangya, keunggulan penghasilan yang diidamkan tersebut tidak berlangsung lama, mengingat banyaknya kompetitor serupa yang bermunculan. Untuk bertahan dalam persaingan bisnis, mau tidak mau mereka harus fokus kepada kepuasan pelanggan. Daya tarik utamanya adalah tarif yang begitu murah
Isu tarif ini sangat sensitif di mata pelanggan. Survei yang dilakukan oleh Polling Institute di Jakarta menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan tarif hampir sepertiga pelanggan akan beralih ke kendaraan pribadi atau angkutan umum lainnya.
Kompetisi yang begitu ketat pada tarif layanan, akhirnya berimbas pada insentif yang diterima oleh para pengendara ojol, menjadikan pekerjaan mereka lebih rentan dari sisi ekonomi.
Kerentanan dalam Gig Economy
Secara umum, sampai saat ini, belum ada aturan khusus yang mengatur hubungan kerja gig workers di Indonesia. Saat ini, hubungan kerja antara gig workers dan perusahaan platform berbentuk kemitraan, di mana ini tidak tercantum pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Justru definisi hubungan kemitraan ini ada di Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang artinya sebuah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
Namun beberapa menyampaikan bahwa hubungan antara pengemudi ojek online dan perusahaan platform sebenarnya bukan kemitraan sejati. Pasalnya, perusahaan platform memiliki kendali penuh dalam menentukan tariff. Perusahaan juga acapkali memotong komisi pengemudi untuk promosi sepihak.
Sayangnya, pemerintah seolah membiarkan kerentanan pengemudi ojol terus berlanjut dan memberi ruang bagi perusahaan untuk menekan mereka. Tanpa perlindungan sosial yang layak, karir yang tidak pasti, upah rendah, jam kerja panjang, dan tekanan dari perusahaan, ojol terjebak dalam siklus ketidakadilan ekonomi. Kerentanan ini juga dialami oleh gig workers lain.
Perbandingan di Negara Lain
Melihat perkembangannya yang begitu masif, sudah seharusnya gig workers menjadi perhatian. Indonesia memang belum memiliki aturannya, tetapi itu bisa dibuat atau pun diharmonisasikan dengan aturan yang ada. Seperti yang dilakukan oleh Belanda.
Aturan Negeri Kincir Angin mengizinkan pekerja untuk mendapatkan kontrak per jam. Hal ini juga meliputi perlindungan terhadap kondisi pekerjaan yang tidak nyaman, hari libur, cuti berbayar, dan memberlakukan upah minimum standar per jam.
Sementara di Perancis, pada tahun 2021, Perancis menerbitkan undang-undang baru yang memberikan keleluasan bagi gig workers untuk melakukan negosiasi dengan platform tempat mereka bekerja. Platform harus memaparkan secara jelas informasi tentang bagaimana mereka akan dievaluasi dan diberikan kompensasi. Aturan ini dikenal dengan PACTE Law.
Gig workers di Kota Moda juga tidak terlantar dan terlindungi melalui kehadiran aturan El Khomri Law. Beleid ini memberikan tunjangan cedera dan penyakit pada aplikator yang mencakup lebih dari 13 persen dari batas atas jaring pengaman sosial selama satu tahun.
Sementara itu, di Amerika Serikat, untuk dapat lebih memahami garis batas antara gig workers dan karyawan tetap, pemerintah menerbitkan sebuah tes yang dinamakan ABC Test. Nantinya, perusahaan harus memberikan pemahaman soal bagaimana mereka mendefinisikan keterikatannya dengan para pekerja. Kemudian di beberapa negara bagian Negeri Paman Sam, perusahaan yang bermitra dengan gig workers harus menyediakan fasilitas seperti cuti sakit dan juga asuransi pengangguran.
Di Spanyol, pemerintah menerbitkan Riders Law, undang-undang yang mengharuskan kurir makanan diklasifikasikan sebagai pegawai. Undang-undang ini juga memberikan mereka akses terhadap tunjangan jaminan sosial, dan perlindungan terhadap pemecatan yang tidak adil. Undang-undang ini mengikuti serangkaian putusan pengadilan yang menyatakan bahwa gig workers bukanlah pekerja mandiri, tetapi memiliki hubungan kerja dengan platform.
Melalui penjabaran di atas kita melihat beberapa negara yang telah mengambil inisiatif untuk melindungi para gig workers agar mereka mampu menikmati tunjangan yang sama dengan pekerja formal. Keputusan itu diambil mempertimbangkan potensi lapangan kerja yang begitu masif.
Mengetahui hal tersebut, pemerintah Indonesia juga sepatutnya segera membuat regulasi yang lebih adil, yang dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi para pekerja tanpa mengorbankan fleksibilitas yang menjadi daya tarik utama gig economy. Sebagaimana terlihat di negara lain, regulasi yang tepat dapat membantu menjamin hak-hak gig workers tanpa menghambat inovasi ekonomi berbasis platform.
Editor: Dwi Ayuningtyas