tirto.id - Presiden Belarus Alexander Lukashenko (67) tahu betul cara bikin gusar para pemimpin Eropa. Ketika musim dingin merayap ke Benua Biru, negara yang oleh Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle disebut “kediktatoran terakhir di Eropa” ini membuka pintu agar gelombang pengungsi dari Timur Tengah dapat masuk ke ibu kota Minsk untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Eropa.
Lukashenko menggoyang kebijakan Uni Eropa yang kian proteksionis. Setelah Taliban kembali berkuasa, 27 perwakilan Uni Eropa sepakat menggelontorkan ratusan juta euro kepada negara di sekitar Afganistan untuk menangani para pengungsi. Eropa sudah ogah menanggung problem tersebut di teritorial sendiri.
Krisis pengungsi karena kebijakan Lukashenko mulai diberitakan pada awal November. Ketika itu sedikitnya dua ribu orang terjebak di perbatasan Belarus-Polandia. Para pendatang diterbangkan langsung dari Timur Tengah. Sejak Juli, sudah ada 600 pesawat yang sebagian besar dikelola oleh maskapai penerbangan negara, Belavia, mendarat dari Lebanon, Irak, Suriah, Uni Emirat Arab, dan Turki. Diperkirakan sudah ada 20 ribu pengungsi tersebar di penjuru negara itu.
Agen perjalanan Belarus ikut berperan. Mereka memikat para calon imigran dengan janji hidup enak di Eropa. Target mereka termasuk warga Irak dari suku Kurdi di Duhok, dekat perbatasan Turki. Mereka menawarkan penerbangan dari Istanbul ke Minsk, lalu membantu sampai ke perbatasan Eropa dengan biaya yang tidak murah: 15-20 ribu euro atau sekitar Rp240-320 juta.
Para pengungsi kelak telantar tanpa makanan dan akomodasi memadai. Mereka frustrasi karena ditolak oleh otoritas Polandia dan dilarang kembali ke Belarus. Sudah 12 orang, termasuk bayi usia satu tahun, meninggal dunia akibat situasi sulit di perbatasan yang lanskapnya hutan.
Dalam ketidakpastian ini, sekitar 400-an pengungsi asal Irak memutuskan ikut program repatriasi.
“Kami jadi tawanan—korban yang terperangkap di antara Belarus dan Uni Eropa,” kata seorang pengungsi yang baru tiba di Bagdad, Irak kepada Associated Press. Seorang lainnya mengomentari betapa polisi-polisi Belarus tak jauh berbeda dari grup militan Daesh (Negara Islam) yang pernah bikin kacau Irak.
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki mengatakan Belarus sudah “melancarkan perang hibrida melawan Uni Eropa” dan mengerahkan “usaha terbesar untuk mendestabilisasi Eropa dalam 30 tahun”—merujuk pada waktu sejak berakhirnya Perang Dingin. Menurutnya, juga bagi pemimpin Uni Eropa lain, Lukashenko sengaja memicu krisis humaniter ini sebagai balas dendam. Persis setelah ia mencurangi hasil pemilu pada Agustus 2020, Eropa memutuskan untuk menghukum negara eks-Soviet berpopulasi 9 juta jiwa itu.
Sanksi-Sanksi dari Eropa
Lukashenko, seorang autokrat, merasa punya alasan kuat untuk membuat marah Eropa. Di matanya, negara-negara Eropa sudah terlalu ikut campur urusan rumah tangga negaranya. Meskipun terdapat bukti-bukti kecurangan pemilu dan kemenangan Lukashenko tidak diakui oleh Uni Eropa, pemimpin Belarus sejak 1994 ini bersikeras keluar sebagai juara.
Ia juga keras terhadap pihak-pihak di dalam negeri. Ribuan demonstran yang turun ke jalan untuk menolak hasil pemilu, misalnya, ditahan dan dianiaya aparat. Lawan-lawan politik juga digilas. Pemimpin dari kubu oposisi Svetlana Tsikhanouskaya menjadi eksil di Lithuania. Suaminya, yang juga pengkritik keras Lukashenko, Sergei Tikhanovsky, tengah menjalani proses pengadilan. Tokoh lain penantang Lukashenko dalam pilpres, Viktor Babariko, beserta tim sukses Maria Kolesnikova dan Maxim Znak, dihukum sampai belasan tahun penjara.
Kebebasan berpendapat semakin dikekang sejak akhir September kemarin, ketika seorang warga Minsk yang prodemokrasi dan staf badan intelijen negara KGB tewas dalam aksi baku tembak. Lembaga HAM Viasna mencatat jurnalis yang menulis artikel tentang insiden tersebut dan lebih dari 100 warganet yang berkomentar di media sosial sudah ditahan oleh polisi karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian.
Sanksi yang dijatuhkan European Council sejak Oktober 2020 sampai sekarang mengikat 166 individu dan 15 entitas. Lukashenko jelas termasuk, juga putranya, Viktor, yang menjabat Penasihat Keamanan Nasional. Merekalah pihak yang dipandang sudah bertanggung jawab dalam represi dan intimidasi terhadap demonstran, oposisi politik, dan jurnalis. Selain pejabat tingkat tinggi, pebisnis dan perusahaan penyokong rezim juga dihukum.
Sanksi meliputi larangan perjalanan masuk maupun transit di Uni Eropa dan pembekuan aset. Warga negara Uni Eropa dan perusahaan-perusahaan Eropa juga dilarang menggelontorkan dana kepada pihak-pihak yang tercatat dalam daftar.
Hukuman terhadap Belarus diperberat setelah mereka melakukan tindakan ngawur dengan mencegat penerbangan maskapai swasta Inggris, Ryanair, dari Yunani ke Lithuania pada Mei silam. Diancam oleh otoritas udara Minsk bahwa “bom di dalam pesawat akan meledak” apabila pesawat tetap menuju Lithuania, pilot tidak punya pilihan selain mendarat. Begitu tiba, salah satu penumpang, jurnalis pengkritik Lukashenko bernama Roman Pratasevich, ditahan. Aksi otoritas Belarus ini dinilai berbahaya dan sudah melanggar aturan penerbangan internasional.
Akibatnya, Uni Eropa memperluas sanksi sampai ke sektor ekonomi, mulai dari melarang perusahaan Eropa menyuplai Belarus dengan teknologi atau perangkat lunak yang bisa digunakan untuk kepentingan represi sampai larangan mengimpor komoditas asal Belarus seperti tembakau, minyak, dan potas (kalium karbonat), zat untuk pembuatan pupuk—komoditas ekspor utama Belarus.
Sektor perbankan juga tak ketinggalan disanksi. Bank-bank Eropa tidak boleh menawarkan pinjaman atau kredit baru untuk pemerintah. European Investment Bank adalah salah satu yang menangguhkan pinjamannya kepada Belarus.
Kemudian, sejak 15 November, Uni Eropa meningkatkan cakupan sanksinya sebagai tanggapan atas krisis imigran di perbatasan Belarus-Uni Eropa, yang disebut “instrumentalisasi manusia oleh rezim Belarus untuk tujuan politik.” Hukuman ini bisa menjangkau pihak-pihak yang terlibat dalam penyelundupan imigran atau “memfasilitasi penyeberangan ilegal” ke teritori Uni Eropa.
Sanski terbaru tak hanya mengancam Belavia yang membawa masuk para pengungsi, tapi juga maskapai asing yang punya rute penerbangan ke Minsk, di antaranya Fly Dubai, Turkish Airlines, Emirates, Qatar Airways, dan Etihad. Sebagian mau menangguhkan penjualan tiket sekali jalan ke Belarus kepada migran asal Timur Tengah, sementara lainnya membatalkan semua penerbangan.
Ketegangan Eropa-Belarus yang berujung pada sanksi bukanlah yang pertama terjadi. Pada 2004, Uni Eropa sudah pernah menerapkan embargo persenjataan, larangan ekspor barang untuk keperluan represif, pembekuan aset, dan larangan perjalanan terhadap pihak-pihak yang berada di balik hilangnya dua politikus oposisi, seorang pebisnis, dan seorang jurnalis pada 1999 dan 2000.
Pada 2016, sanksi ini dicabut dari 170 individu dan 3 perusahaan, termasuk Lukashenko sendiri. Alasannya, mereka dipandang sudah berkontribusi “memperbaiki relasi Uni Eropa-Belarus.” Konteksnya kala itu adalah pencaplokan Krimea oleh Rusia pada 2014. Administrasi Lukashenko ikut berperan menyelenggarakan negosiasi damai, di samping menunjukkan sikap yang cenderung netral.
Kurang Ampuh?
Di bawah berbagai tekanan, akankah Lukashenko, yang tindak-tanduknya selama ini, meminjam istilah The Economist, menyerupai perilaku “bos mafia”, memenuhi tuntutan dari Uni Eropa seperti menyelenggarakan pemilu yang adil, menjamin HAM, representasi demokratis, sampai membebaskan tahanan politik yang jumlahnya lebih dari 450 orang?
Menurut amatan Reuters, sanksi dari Eropa belum terlalu mempan untuk melunakkan rezim Lukashenko. Sebagai contoh, dampaknya tidak terlalu dirasakan oleh Belaruskali, BUMN penghasil potas. Eropa memang melarang transaksi potas dengan kandungan 40 persen, sedangkan ekspor andalan Belaruskali adalah yang kandungan potasiumnya 60 persen. Potas dengan kandungan 60 persen inilah yang mayoritas diekspor ke Eropa.
Di samping itu, sanksi juga tidak menjangkau bank pemerintah Development Bank of Belarus, satu-satunya institusi yang mengedarkan eurobonds atau surat utang berdenominasi mata uang euro. Belarus tidak akan menambah utangnya dengan eurobonds. Mereka dikabarkan justru mau pivot ke pasar Asia dan membeli obligasi dari Rusia sebesar 100 miliar rubel (sekitar Rp 19 triliun). Penting dicatat juga bahwa selama ini Rusia dan Cina termasuk kreditur utama Belarus.
Faktor lain yang kurang lebih menimbulkan kesimpulan yang sama adalah Belarus dekat dengan Rusia. Analis politik asal Belarus Artyom Shraibman di Carnegie Moscow Center menulis selain mau mengutangi Belarus, Rusia berpotensi menjadi pasar bagi potas apabila Uni Eropa kelak melarang total pembeliannya.
Ada beberapa kemungkinan masa depan Belarus, yang semua bergantung pada sikap Lukashenko, kata Shraibman. Jika Lukashenko nekat terus bikin kesal Eropa dengan mengirimkan pengungsi ke perbatasan, bukan tidak mungkin Uni Eropa akan menutup impor potas seutuhnya sehingga ekonomi Belarus bisa semakin keok. Jika Lukasheko merasa pemerintah Rusia kurang menyokongnya, ia mungkin bakal melunak sedikit, misal dengan mengampuni beberapa tawanan politik.
Sedikit banyak sikap Lukashenko memang akan ditentukan dari relasi Rusia dengan Eropa dan Amerika Serikat itu sendiri. Apabila masih tetap bermusuhan dengan Barat, Rusia mungkin bakal memperkuat dukungan buat Belarus dan membuat Lukashenko semakin percaya diri berbuat semaunya. Sebaliknya, jika relasi mereka membaik, rezim Lukashenko mungkin tak lagi menarik di mata Moskow.
Editor: Rio Apinino