tirto.id - Runtuhnya Uni Soviet membuat negara-negara Asia Tengah kalang kabut. Mereka kesulitan membangun kekuatan ekonomi yang selama ini dipercayakan pada konstitusi Soviet. Meski demikian, beberapa negara akhirnya sanggup mengatasi tantangan dan menjadi negara merdeka sepenuhnya. Salah satunya adalah Turkmenistan yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 27 Oktober 1991, tepat hari ini 30 tahun lalu. Turkmenistan menjadi negara terakhir yang memisahkan diri dari Federasi Soviet.
Pada tahun yang sama, Turkmenistan menjalani proses untuk bergabung dengan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, sebuah organisasi internasional yang terdiri dari negara-negara pecahan Uni Soviet. Tapi kemerdekaan secara konstitusional tidak sekonyong-konyong mengubah wajah Turkmenistan. Saparmurat Niyazov, presiden pertama Turkmenistan, justru memerintah dengan tangan besi dan menjadi presiden seumur hidup hingga meninggal pada 2006. Gurbanguly Berdymukhamedov, penggantinya, bahkan membuat Turkmenistan menjadi negara yang jauh lebih tertutup hingga mendapat julukan "Korea Utara-nya Asia Tengah".
Awalnya, banyak yang menduga negara-negara pecahan Soviet akan berupaya menjadi negara terbuka dengan kultur demokrasi. Namun dalam kasus Turkmenistan, yang punya cadangan gas alam terbesar kelima di dunia, justru larut dalam sistem pemerintahan satu partai.
Mula Turkmenistan
Alkisah pada 1907, perang Anglo-Rusia di Asia Tengah berakhir. Negeri ini pun secara penuh jatuh ke dalam kendali Tsar Rusia. Orang-orang Turkmen, sebutan bagi komunitas yang mendiami wilayah ini, secara langsung menerima pengaruh Rusia. Sepuluh tahun kemudian, pada Revolusi Oktober 1917, Turkmenistan mulai menuntut haknya untuk menjadi negara independen. Kisruh politik yang penuh ketidakpastian itu membuat negara ini mendeklarasikan Republik Sosialis Soviet Turkmenistan pada 1925 dengan Ashgabat sebagai ibukota pemerintahannya. Dengan demikian, Turkmenistan menjadi satu dari enam republik di bawah konstitusi Uni Soviet.
Pada dekade 1920 hingga 1930-an, Uni Soviet berusaha mengubah Turkmen menjadi komunitas yang lebih sosialis. Turkmen, populasi yang terdiri dari banyak suku dan mayoritas petani, dianggap cocok dengan pola pemerintahan Soviet. Selain ingin membangun Turkmen menjadi negara kesatuan, Soviet juga bermaksud membangun kekuatan Sosialis modern. Masalahnya, orang-orang Turkmen menganggap dua hal itu sebagai proyeksi yang kontradiktif.
Meski begitu, proyeksi Soviet terbukti berhasil. Hingga akhir 1930-an, pencapaian penting mereka adalah unifikasi nasional dengan penerimaan kalangan elite pribumi Turkmen atas konstitusi bentukan Soviet. Kelompok komunis dan intelektual Turkmen dengan cepat menganut prinsip utama kebijakan Soviet yang berusaha menyatukan seluruh Turkmen dan membebaskan mereka dari dominasi negara-negara Asia Tengah lainnya.
Perubahan besar-besaran pun terjadi di periode ini. Pengaruh Eropa membuat orang Turkmen mulai berbicara bahasa Rusia, mengenakan pakaian model orang-orang Eropa, dan mulai meninggalkan tradisi asli Turkmen. Di tengah kondisi ini banyak anggota partai pribumi yang getol mempromosikan kebijakan pembagian wilayah dan pengistimewaan tradisi lokal.
Sementara itu, kaum intelektual Turkmen ambil bagian dalam pembentukan identitas nasional. Selama dua dekade di bawah kontrol Soviet, identitas nasional Turkmenistan akhirnya mulai terbentuk. Atmosfer politik mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan dari populasi tradisional menjadi negara dengan sistem konstitusi modern. Semua tampak baik-baik saja dan proses asimilasi yang dinamis antara lokalitas Turkmen dengan pengaruh Bolshevik terlihat berjalan mulus. Dan 66 tahun sejak menjadi Republik Sosialis, mereka akhirnya menggelar referendum untuk memisahkan diri dari Soviet.
Makin Tertutup Setelah Merdeka
Ketika mendeklarasikan kemerdekaan, satu tugas berat yang harus dikerjakan orang-orang Turkmen adalah melupakan masa lalu Soviet dan membangun kembali identitas asli Turkmenistan.
“Membersihkan masa lalu mereka yang sangat Soviet, mereka tidak malu-malu menyatakan diri sebagai orang Turkmenistan. Rezim yang baru menegaskan bahwa mereka punya tujuan baru yaitu mendengarkan aspirasi para Turkmen sebagai aspirasi nasional,” kata Adrienne Lynn Edgar dalam Tribal Nation: The Making of Soviet Turkmenistan (2006:263)
Di masa inilah muncul nama presiden pertama mereka Saparmurat Niyazov yang merupakan tokoh kebangkitan Turkmen. Saparmurat dengan lincah mengambil posisi sebagai pemimpin tunggal. Ia mengklaim dirinya dengan sebutan Turkmenbashi atau pemimpin bangsa Turkmen. Pemerintahan diktator yang dibangunnya berkembang menjadi salah satu negara pecahan Soviet yang paling opresif.
Salah satu langkah opresif yang dilakukan Saparmurat adalah mewajibkan semua siswa sekolah untuk mengucapkan janji setia kepadanya setiap pagi. Pada tahun 2001 ia bahkan menulis buku berjudul Ruhnama yang dijadikan bacaan wajib di sekolah. Konon, buku itu merupakan gabungan dari tuntunan spiritual, sejarah, dan budaya Turkmenistan yang menurutnya harus diemban oleh semua orang Turk.
Saparmurat membangun cult of personality, sebuah upaya membangun citra tunggal sebagai tokoh utama dalam pemerintahan. Penguasaannya terhadap media dan pemaksaannya dalam menciptakan opini publik menjadi modal utama untuk melakukan propaganda. Langkah ini membuatnya dicap sebagai masa pemerintahan Turkmenistan yang totaliter.
Sejak muda, Saparmurat telah menunjukkan aura diktator. Pada 1962 ia mengawali karier politiknya dengan bergabung dengan partai komunis. Ia meraih posisi utama dengan cepat kala menjadi sekretaris utama di komite kota Ashgabat. Pada 1985 Saparmurat telah menjadi sekretaris utama Partai Komunis Turkmen. Posisi ini ia raih setelah Mikhail Gorbachev, Sekretaris Jenderal Soviet, memecat Muhammetnazar Gapurov yang terlibat skandal. Saparmurat kemudian menjadi presiden pada 1991 hingga meninggal pada 2006.
Gurbanguly Berdymukhamedov, penggantinya, merupakan Menteri Kesehatan dan Industri Medis sejak 1997. Ia menjadi pejabat presiden sementara pada 21 Desember 2006 dan terpilih secara resmi dalam pemilihan umum pada Februari tahun berikutnya. Dalam pemilihan itu, ia tak mendapatkan perlawanan berarti dan sukses meraih 89.23 persen suara. Bulan Februari 2012 ia terpilih kembali dengan suara yang bahkan lebih tinggi: 97 persen. Perolehan suara itu kembali meningkat menjadi 97.69 persen di periode ketiganya ketika terpilih lagi pada Februari 2017.
Awalnya, masa pemerintahan Gurbanguly disambut positif. Ia membuka kembali banyak perpustakaan di luar Ashgabat yang sebelumnya sempat dilarang. Ia juga menghapus personality cult yang digalakkan pendahulunya. Terakhir, Gurbanguly bahkan menghapus haknya sendiri dalam pemberian nama atas kota atau institusi.
Namun, di balik semua itu pemerintahannya tetap otoriter. Pada 2007, ia menghapus seluruh upaya menuju pemerintahan demokrasi ala dunia Barat. Media internasional yang meliput politik di Turkmenistan bahkan menemukan bahwa rezim baru itu lebih tertutup dan lebih opresif ketimbang sebelumnya.
Freedom House, lembaga independen non-profit, secara konsisten menempatkan Turkmenistan era Gurbanguly di jajaran paling bawah dalam daftar negara dengan kebebasan politik yang baik. Sementara Human Rights Watch mencatat bahwa rezim ini merupakan negara yang dikontrol secara tunggal oleh Gurbanguly dan tidak memberikan toleransi sama sekali terhadap ekspresi beragama dan politik.
Pada Juli 2013, penyanyi asal AS Jennifer lopez menyatakan permohonan maaf karena telah menyanyikan lagu ulang tahun kepada Gurbanguly. Dalam permintaan maafnya ia menyampaikan bahwa dirinya tidak tahu pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh rezim Gurbanguly.
Editor: Irfan Teguh Pribadi