Menuju konten utama

Sikap Eropa soal Afganistan: Ikut Invasi, Ogah Terima Pengungsi

Puluhan negara Eropa terlibat dalam invasi ke Afganistan pada 2001. Kini mereka tak mau terima dampaknya: gelombang pengungsi.

Sikap Eropa soal Afganistan: Ikut Invasi, Ogah Terima Pengungsi
Seorang pencari suaka asal Afghanistan menangis saat berunjuk rasa di depan Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (24/8/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Setelah 20 tahun menduduki Afganistan, pasukan Amerika Serikat dan sejumlah negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) akhirnya hengkang. Tepat pada 30 Agustus 2021, Mayjen Chris Donahue menjadi personel militer AS terakhir yang meninggalkan Afganistan, sementara pasukan dari negara-negara NATO telah menyelesaikan misinya lebih awal.

Sebelum mereka semua pergi, situasi di Afganistan sudah terlanjur runyam. Menjelang pertengahan Agustus, ibukota Kabul jatuh ke tangan Taliban. Dampaknya berupa kepanikan massal, terutama di kalangan perempuan dan keluarga, yang dihantui ketakutan akan kepemimpinan represif Taliban. Ribuan warga dilaporkan berbondong-bondong menuju bandara Kabul untuk menumpang pesawat ke luar negeri. Rencana kepulangan pasukan AS-NATO berikut para staf diplomatik mereka pun bergeser menjadi misi kemanusiaan untuk mengevakuasi penduduk setempat, terutama yang pernah bekerja untuk pemerintah AS, negara-negara NATO, PBB atau Uni Eropa.

Mengutip Reuters,pasukan Jerman berhasil membawa terbang 4.100 warga Afganistan. Penduduk Afganistan yang diselamatkan oleh pasukan Italia mencapai 4.980 orang, sementara yang dievakuasi pasukan Perancis sebanyak 2.600 orang dan pasukan Spanyol sebesar 1.898 orang. Di luar blok Uni Eropa, Inggris Raya sudah mengevakuasi 8.000 warga Afganistan sejak pertengahan Agustus, sementara pemerintah AS baru saja menyambut sekitar 23.000 orang Afganistan di teritorial mereka.

Bagaimana dengan pengungsi yang tidak masuk dalam statistik di atas?

“Mungkin lebih baik kami menetap dan mati saja di Afganistan daripada melakukan perjalanan ini,” ujar Zeineb (20) di terminal bus Van, provinsi di Turki timur yang berbatasan dengan Iran. Bersama suami dan kedua anak kembarnya yang masih balita, berminggu-minggu lamanya Zeineb menempuh medan sulit dan mencoba menembus Turki sampai tiga kali, namun gagal.

Kisah Zeineb dan keluarganya, sebagaimana diungkap dalam reportase New York Times bulan Agustus kemarin, menggambarkan satu dari sekian banyak pengalaman pengungsi Afganistan yang melarikan diri ke negeri jiran, menyeberangi Iran menuju Turki, kelak hanya untuk ditangkapi polisi perbatasan dan dikirim kembali ke Iran. Kantor gubernur di Van mengungkapkan, sepanjang 6 bulan pertama pada tahun ini sudah lebih dari 27 ribu orang berusaha masuk ke Turki melalui Iran, meskipun tidak semua pendatang berasal dari Afganistan.

Potensi Gelombang Migran

Menurut badan pengungsi PBB (UNHCR), setengah juta warga Afganistan diperkirakan bakal meninggalkan tanah airnya sampai akhir tahun nanti. Selain meluber ke Iran, mereka diduga akan menuju Pakistan dan kawasan Asia Tengah.

Pada waktu sama, potensi aliran migran ke kawasan sekitar Afganistan ini meningkatkan ketegangan antara Turki dan Uni Eropa. “Eropa, yang selama ini jadi pusat daya tarik jutaan orang, tidak bisa lepas dari masalah dengan menutup perbatasan untuk melindungi keamanan dan kesejahteraan warga negaranya,” tegas Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam pidato rapat kabinet dikutip dari Associated Press (20/08). “Turki tidak punya tugas, tanggung jawab atau kewajiban untuk jadi gudang pengungsinya Eropa,” imbuhnya.

Turki, negara anggota NATO yang pada 2016 menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa untuk membendung aliran pengungsi Suriah agar tidak membludak ke Eropa, tampaknya sudah kepayahan. Terlepas Turki disokong anggaran sampai miliaran euro oleh Uni Eropa, sentimen anti-imigran di Turki sudah terlanjur menguat seiring pemerintah berjibaku dengan kemerosotan ekonomi dan tingkat pengangguran tinggi yang diperparah oleh pandemi Covid-19. Berdasarkan penuturan Erdogan, Turki sudah menampung 3,6 juta pengungsi Suriah dan 300 ribu lainnya dari Afganistan, sementara mereka juga perlu fokus pada kesejahteraan 84 juta warganya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Eropa kelimpungan karena diguncang gelombang migran dari Timur Tengah. Sejak 2008, Komisi Eropa mencatat peningkatan jumlah pengungsi yang mengajukan suaka ke Uni Eropa. Puncaknya terjadi pada 2015, ketika jumlah pencari suaka menembus 1,2 juta jiwa. Sampai akhir 2019, Jerman menjadi negara penerima pengungsi terbanyak di Eropa, menaungi sekitar 1,15 juta pengungsi dan lebih dari 300 ribu pencari suaka.

Menurut data pada 2020, jumlah pencari suaka di Uni Eropa berkisar 470 ribuan orang. Kebanyakan pengungsi berasal dari Suriah (15 persen) dan Afganistan (10 persen). Jerman masih jadi negara tujuan utama bagi 24 persen imigran, diikuti Spanyol (20 persen) dan Perancis (19 persen).

Ragam Respons Eropa

Di balik segelintir upaya humanitarian sejumlah negara Eropa NATO untuk mengevakuasi penduduk Afganistan selama beberapa minggu terakhir, pernyataan yang dikeluarkan para petinggi Uni Eropa di Brussels menunjukkan kesan berbeda. Ke-27 perwakilan Uni Eropa memutuskan untuk mendukung negara-negara sekitar Afganistan dalam mempersiapkan potensi gelombang migran dari Afganistan. Artinya, alih-alih mengulang pengalaman krisis imigran yang terjadi 5-6 tahun silam, Uni Eropa kini ingin memperkuat kerjasama dengan negara-negara non-Eropa untuk mencegah membludaknya pengungsi Afganistan ke benua biru—sekilas mengingatkan pada perjanjian mereka dengan Turki.

Di samping itu, mereka juga berkali-kali menekankan pentingnya mencegah kemungkinan “migrasi ilegal” oleh pihak-pihak yang ingin memasuki Eropa dari kawasan sekitar Afganistan. Bahkan, seperti dilaporkan Financial Times, mereka baru menyusun proposal anggaran, diperkirakan nilainya sampai 600 juta euro, yang bisa jadi digelontorkan untuk Pakistan, Uzbekistan, Tajikistan atau bahkan Iran, agar mau menampung para pengungsi Afganistan.

Josephine Liebl dari European Council on Refugees and Exiles menyayangkan sikap Uni Eropa. Pernyataan Uni Eropa menimbulkan kesan bahwa mereka yang melarikan diri dari Afganistan seakan-akan terlibat dalam proses migrasi ilegal, alih-alih dipandang sebagai pengungsi.

“Diskursus dan gagasan sayap kanan sudah merebut posisi dalam grup besar negara anggota Uni Eropa,” ujar Liebl. Menurut Liebl, penting untuk menyokong negara-negara di sekitar Afganistan. Pada waktu sama, negara-negara Eropa juga harus memastikan bahwa pengungsi Afganistan bisa mencari perlindungan ke Eropa.

Menariknya, sebanyak 21 dari 27 negara Uni Eropa yang mendukung langkah di atas merupakan anggota NATO—yang tentu saja ikut berpartisipasi dalam memberantas Al-Qaeda dan rezim Taliban di Afganistan. Mereka, bersama segelintir negara Eropa non-NATO (misalnya Austria) dan non-Uni Eropa (Inggris Raya) juga beroperasi di Afganistan di bawah aliansi bentukan Dewan Keamanan PBB, International Security Assistance Force (ISAF). Meskipun ISAF dimandatkan untuk melatih tentara nasional Afganistan dan mendampingi proses demokratisasi Afganistan, pada kenyataannya mereka tetap diterjunkan ke medan pertempuran dalam misi-misi kontra-terorisme.

Singkatnya, bangsa-bangsa Eropa ini tetap punya andil dalam konflik bersenjata di Afganistan. Menarik untuk ditelisik, apa saja kebijakan spesifik, atau pandangan, yang dikeluarkan elite politik Eropa ini dalam merespons potensi kedatangan pengungsi Afganistan ke wilayah masing-masing? Sejauh mana pandangan mereka mencerminkan keengganan untuk menanggung imbas dari kekacauan yang turut mereka timbulkan di Afganistan selama 20 tahun terakhir?

Pemerintah Inggris, yang sudah menempatkan lebih dari 150 ribu tentara ke Afganistan, baru-baru ini menetapkan kuota pengungsi asal Afganistan untuk 5 tahun ke depan, yakni sebanyak 20 ribu orang. Prioritasnya adalah perempuan, anak-anak, dan masyarakat beragama minoritas. Lima ribu orang diharapkan tiba di sana sampai penghujung 2021—kemungkinan diproses dari negara-negara ketiga alih-alih langsung diterbangkan dari bandara Kabul. Kuota di atas tidak termasuk mereka yang berhak mengikuti Afghan Relocations and Assistance Policy, program relokasi bagi warga lokal dan keluarganya yang pernah membantu operasi-operasi Inggris di Afganistan (termasuk 8 ribu orang yang berhasil dijemput dengan pesawat Inggris sepanjang Agustus silam). Di samping itu, Inggris juga akan memberikan 30 juta poundsterling dana bantuan untuk negara-negara di sekitar Afganistan yang harus menyambut para pengungsi.

Keputusan Inggris untuk membatasi kuota 20 ribu pengungsi menuai kritik. Angka tersebut dipandang terlalu kecil, sama dengan jumlah pengungsi Suriah yang diterima Inggris. Padahal, total populasi Suriah tak sampai separuh dari penduduk Afganistan. Di samping itu, apabila mereka akan disambut dari negara-negara ketiga, hal itu berarti mereka harus sudah mencapai negara tetangga melalui jalur darat atau laut, yang tentu saja medannya berbahaya dan umumnya berhasil dilalui oleh kaum laki-laki dan pemuda alih-alih perempuan atau anak-anak.

Menanggapi kebijakan Inggris, pemerintah Jerman menyuarakan keberatan untuk memasang target kuota. Pasalnya, besaran angka dikhawatirkan justru menimbulkan “efek-tarik” yang dapat mengundang gelombang krisis migran baru, demikian Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer memperingatkan negara-negara Uni Eropa lain agar tidak meniru langkah Inggris.

Seperti Inggris, Jerman merupakan salah satu kekuatan terbesar NATO dalam misi di Afganistan. Mereka mengirimkan total 150 ribu personel dan menggelontorkan sedikitnya 12,5 miliar ke sana. Afganistan adalah medan pertempuran terlama, termahal dan paling berdarah yang pernah diikuti pasukan Jerman pasca-Perang Dunia II, catat Deutsche Welle.

Akhir Agustus kemarin, Kanselir Angela Merkel mengumumkan bahwa masih ada sekitar 10-40 ribu penduduk Afganistan yang berhak untuk dievakuasi ke Jerman. Mereka meliputi pihak-pihak yang pernah bekerja untuk organisasi-organisasi pembangunan di Afganistan.

Sementara itu, elite politik Jerman lainnya cenderung waswas. Misalnya, kandidat kanselir penerus Merkel, Armin Laschet. Baginya, Jerman tidak boleh mengulang “kesalahan” terkait perang sipil di Suriah, merujuk pada 2015 ketika Merkel membuka pintu perbatasan lebar-lebar untuk pengungsi Suriah. Momen tersebut kelak turut mendongkrak popularitas partai sayap kanan jauh Alternative for Germany (AfD). Terkait isu Afganistan, tokoh AfD Alice Weidel setuju agar pengungsi didukung di kawasan sekitar negara mereka saja. Senada, Wakil Kanselir Olaf Scholz sekaligus kandidat kanselir dari Partai Sosial Demokrat, menganggap Turki, Pakistan, Iran dan Irak sebagai negara yang berpotensi dijadikan lokasi penempatan pengungsi. Menurutnya, diperlukan andil Jerman untuk memastikan “prospek integrasi” di sana.

Demikian halnya dengan pemerintah Perancis, yang sigap mendukung invasi AS ke Afganistan dengan mengirimkan total 70 ribu tentara di sana sampai 2014. Seiring meningkatnya ketegangan di Afganistan pada pertengahan Agustus kemarin, Presiden Emmanuel Macron menyampaikan dalam pidato bahwa “Eropa sendiri tak akan mampu menerima konsekuensi dari situasi ini”. Mereka perlu “melindungi diri sendiri dari gelombang migrasi tidak teratur” yang dianggap berbahaya bagi para migran serta mendorong praktik-praktik perdagangan manusia. Di samping itu, Macron juga mengungkap Perancis akan bekerjasama dengan Pakistan, Turki, Iran—negara-negara yang dipandang bisa jadi tuan rumah atau tempat transit bagi para pengungsi Afganistan.

Infografik Pengungsi Afghanistan

Infografik Negara Eropa-NATO & Pengungsi Afghanistan. tirto.id/Quita

Pernyataan Macron menimbulkan reaksi, di media sosialnya misalnya, ia disindir “Emmanuel Le Pen”. Pendekatannya terkait isu pengungsi Afganistan dikritik tak lebih sebagai upaya untuk mendulang simpati para pemilih suara Marine Le Pen, politisi sayap kanan kandidat calon presiden pada pemilu 2022 mendatang. Terlepas dari itu, pada penghujung Agustus, Perdana Menteri Jean Castex menegaskan bahwa Perancis akan bertanggungjawab terhadap warga Afganistan yang sudah menyokong kepentingan pemerintah Perancis selama ini. “Perancis juga merupakan tanah suaka dan berhutang perlindungan pada orang-orang yang rentan,” ujar Castex.

Sikap yang terang-terangan dingin terhadap pengungsi Afganistan ditunjukkan oleh Austria. Kanselir Sebastian Kurz, sekaligus pemimpin populis dari partai sayap kanan ÖVP, bersikeras bahwa pemerintahannya tidak akan mengizinkan pengungsi masuk ke Austria lagi. Kurz menyampaikan, dalam beberapa tahun terakhir, Austria sudah menaungi lebih dari 40 ribu orang Afganistan—jumlah yang menurutnya terlampau besar. Administrasi Kurz juga gencar menyerukan deportasi.

Meskipun Austria menganut netralitas dan prinsip non-blok, pada 2002 mereka turut membantu NATO dengan mengirimkan 60 tentara ke Afganistan, yang jumlahnya berkurang jadi 3 personel pada 2009.

Selain Austria, Hungaria juga menolak untuk membuka pintunya lebar-lebar bagi pengungsi Afganistan. Negara Eropa Tengah bagian dari NATO ini mengirimkan ratusan serdadunya ke Afganistan, namun tidak ingin rakyatnya ikut menanggung penderitaan gara-gara “keputusan dan operasi geopolitik cacat” yang dipimpin AS tersebut. Terlepas dari itu, pasukan Hungaria ikut mengevakuasi sekitar 300-an warga Afganistan (terdiri atas pegawai dan keluarganya yang membantu operasi Hungaria), namun mereka tidak otomatis dapat suaka karena harus menjalani serangkaian proses imigrasi terlebih dahulu.

Di bawah rezim konservatif Viktor Orban selama satu dekade terakhir, Hungaria semakin keras menghalau migran, salah satunya dengan cara membangun pagar setinggi 4 meter di perbatasan Serbia untuk mencegah kehadiran pengungsi Timur Tengah sejak 2015 (Uni Eropa kelak disuruh menyumbang 400 juta euro untuk biaya operasionalnya).

Sementara di selatan Eropa, Spanyol—yang total sudah mengirimkan 27 ribu pasukan untuk misi NATO di Afganistan—cenderung lebih siap dalam menyikapi pengungsi Afganistan. Dilansir dari El Pais, proses evakuasi dan pendaftaran suaka pengungsi Afganistan yang diselamatkan oleh pasukan Spanyol pada akhir Agustus, berjalan lancar. Lebih dari 750 dari 1.300-an pencari suaka bahkan sudah ditempatkan di 14 provinsi Spanyol.

Meskipun otoritas Spanyol belum mengungkapkan strategi jangka panjang untuk menghadapi potensi gelombang migran Afganistan, negara Eropa ini dikenal paling ramah migran. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, desa-desa pertanian Spanyol—yang semakin sepi karena warganya berurbanisasi—menyambut baik kehadiran pengungsi dari Venezuela. Menurut temuan Pew Research Center pada 2018, sebanyak 86 persen responden Spanyol setuju untuk menerima pengungsi dari daerah konflik. Populisme rupanya tidak terlalu laku di Spanyol, yang sejak 2018 dinakhodai oleh Perdana Menteri Pedro Sanchez, politisi dari Partai Pekerja Sosialis.

Sanchez menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan meninggalkan warga Afganistan yang belum berhasil dievakuasi dari Kabul. Ia tetap akan bekerjasama dengan pemimpin Eropa lainnya untuk membantu para pengungsi. Bagi Sanchez, evakuasi warga Afganistan bulan Agustus kemarin bukanlah misi Spanyol yang terakhir. “Masih banyak yang harus dilakukan,” ujarnya.

Sikap terbuka Spanyol mirip dengan Italia, salah satu kekuatan besar NATO yang total sudah mengirimkan 50 ribu tentaranya untuk misi di Afganistan. Menteri Luar Negeri Luigi Di Maio masih berharap bisa menerbangkan lebih banyak orang Afganistan dari sana setelah tenggat waktu kepergian pasukan AS-NATO pada 31 Agustus. Di Maio tegaskan bahwa Italia “tidak akan meninggalkan rakyat Afganistan” termasuk perempuan, pemuda dan semua pihak yang “bertahun-tahun lamanya sudah menunjukkan keinginan besar demi evolusi, demi perubahan”.

Wakil Menlu Marina Sereni menambahkan, terdapat banyak kotamadya dan lembaga masyarakat sipil yang menunjukkan kesiapannya untuk menyambut keluarga, perempuan dan anak-anak dari Afganistan. Sebelumnya, Italia memang sudah menjadi pintu masuk jalur laut bagi pengungsi asal Asia Selatan sampai Afrika. Sepanjang Januari-Mei tahun ini saja, terhitung sudah ada 13 ribu orang berlabuh di Italia. Permohonan Italia akan solidaritas dari sesama negara anggota Uni Eropa untuk membantu relokasi pengungsi malah cenderung diabaikan.

Baca juga artikel terkait AFGANISTAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf