tirto.id - Awal Agustus 2025, majalah internasional The Economist merilis artikel yang menyatakan bahwa presiden Prabowo Subianto mengalami daddy issues. Kebijakan politik yang dikeluarkannya, mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga Danantara, disebut berasal dari cetak biru pemikiran sang ayah, Soemitro Djojohadikoesoemo.
Jejak keterikatan Prabowo dan sang ayah dapat ditelusuri sejak masa kecil, ketika ia harus mengikuti kehidupan penuh gejolak Soemitro. Sejak dini, hidup Prabowo dibentuk oleh konsekuensi politik ayahnya, keputusan yang menyeret keluarganya dari satu negara ke negara lain.
Sejak usianya belum genap enam tahun, Prabowo Subianto sudah ikut pelarian ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo. Ia turut serta dalam pengasingan, hidup berpindah-pindah antarnegara, mulai dari Singapura, Hong Kong, Malaysia, hingga Eropa. Hal itu dikarenakan ayahnya sempat dituduh korupsi ketika menjabat menteri di era Sukarno serta terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), organisasi yang pada akhirnya memberontak pada 1957.
Prabowo sempat menetap sekitar dua tahun di Singapura, kemudian pindah ke Hong Kong selama setahun. Di kota itu, ia tinggal di sebuah flat kecil di Mcdonald Road, tak jauh dari kawasan Hong Kong Side. Lagi-lagi karena urusan sang ayah, Prabowo berpindah lagi: tinggal di Malaysia, lalu pindah ke Swiss, dan setelahnya ke Inggris. Di negara terakhir disebut itu, Prabowo menamatkan pendidikan menengah atas di American School, London, tepatnya pada pertengahan 1967.
Kendati menjalani masa kecil di bawah pelarian akibat sepak terjang Soemitro, Prabowo amat mengagumi sang ayah.
"Saya kira karena bapak saya seorang, tidak hanya guru besar, pendidik, dia juga seorang pemimpin politik. Seorang yang sangat idealis bapak saya itu. Dia orangnya sangat pintar. Jauh lebih pintar dari saya," ujar Prabowo, dalam wawancara eksklusif "Prabowo Bicara Bersama Retno Pinasti" di platform Vidio (27/10/2024).
Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo, merupakan begawan ekonomi Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian (1950-1951) dan Menteri Keuangan (1952-1953). Usai Orde Lama runtuh, Soemitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan (1968-1972) dan Menteri Negara Riset (1972-1978) di era Orde Baru. Soemitro juga tercatat sebagai salah satu pengajar ekonomi di Universitas Indonesia (UI). Dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1982) disebutkan, dirinya adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ekonomi UI.
Di Bawah Bayang-Bayang Sang Ayah
Program-program dan kebijakan utama Prabowo, misalnya Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah-Putih, dan Danantara, dianggap diilhami oleh warisan pemikiran sang ayah, Soemitro Djojohadikoesoemo. Namun menurut The Economist, landasan nilai populis yang diusung Prabowo menyalahi prinsip pragmatisme dan efisiensi yang dianut ayahnya sendiri.
Ada pula kalangan yang tidak sepakat dengan anggapan dan label yang disematkan oleh The Economist. Mereka membantah dan menilai, alih-alih daddy issues, Prabowo disebut menganut daddy values. Padahal, bagaimanapun, kedua istilah itu sama-sama bermakna bahwa Prabowo masih di bawah bayang-bayang sosok ayah, Soemitro Djojohadikoesoemo.
Istilah daddy issues kerap dikonotasikan secara negatif. Kendati dikenal luas, istilah ini bukan term ilmiah dan tidak tercatat dalam diagnosis kesehatan mental.
Daddy issues berkaitan dengan dampak psikologis dari hubungan bermasalah ayah-anak atau ketidakhadiran sosok ayah. Sebabnya beragam, mulai dari absennya sosok ayah (meninggal atau tidak terlibat dalam pengasuhan), disfungsional (ayah yang kasar atau tidak hadir secara emosional), dan hubungan ayah-anak yang penuh konflik.
Jika merujuk pada penjelasan muasal daddy issues di atas, dinamikanya terlihat problematik. Namun, karena ia merupakan stereotip populer, istilah daddy issues tidak serta merta dimaknai secara kaku. Alasan The Economist menganggap Prabowo mengalami daddy issues salah satunya berdasarkan penggalan percakapannya dengan sang adik, Hashim Djojohadikusumo, yang menyebut bahwa akhirnya Prabowo berhasil "melaksanakan program-program dari papi [Soemitro]".
"Program-program ini adalah sebagian besar ide orang tua kami. Saya bersaksi dan dia [Prabowo] sudah berulang kali confession, 'Saya bisa jalankan program dari papi [Sumitro Djojohadikusumo], saya bisa jalankan cita-cita dan impian papi. Kita bisa jalankan'. Sekarang waktunya kita jalankan," ungkap Hashim, sebagaimana dikutip dari CNN.
Berlandaskan pada ucapan Hashim itulah, The Economist menganggap agenda politik Prabowo merupakan upaya merealisasikan "aspirasi dan impian ayahnya".
Daddy Issues Tokoh Politik, Bukan Fenomena Baru
Pelekatan label daddy issues dengan tokoh politik, seperti yang terjadi terhadap Prabowo, sebenarnya bukanlah perkara baru. Narasi semacam ini sudah lumrah digaungkan berbagai media internasional. Misalnya, The Conversation pernah merilis laporan yang menyebut Joe Biden mengalami daddy issues karena perjalanan politiknya dibayang-bayangi sang ayah. Sang ayah, Joe Biden Sr. mendukung habis-habisan karier politik Joe Biden yang kerap menyebut ayahnya lewat pidato atau rilis politiknya.
Presiden AS yang lain, George W. Bush (presiden AS ke-43), juga dianggap mengalami daddy issues karena sosok ayahnya—kesuksesan finansial dan politik George H.W. Bush, presiden AS ke-41—menghantui perjalanan karier politiknya. Ia berupaya melampaui ekspektasi tinggi dari sang ayah, yang kemudian membuatnya ambisius mengejar kursi kepresidenan AS.
Daftar politisi yang dianggap mengalami “masalah dengan ayah” atau dihantui oleh “relasi tak sehat ayah-anak” teramat panjang, mulai dari Presiden ke-38 AS, Gerald Ford, hingga Donald Trump. Bahkan, penulis asal Jamaika, Lucille Iremonger, lewat The Fiery Chariot: A Study of British Prime Ministers and the Search for Love (2011), menuliskan bahwa kehilangan atau ketiadaan ayah jauh lebih umum terjadi pada para pemimpin politik dibandingkan populasi pada umumnya.
Kendati dipandang negatif, daddy issues tidak selamanya berpengaruh buruk. Anak yang tumbuh di masa kecil penuh masalah, jika berhasil melewatinya, akan mengembangkan sensitivitas tinggi terhadap lingkungan sekitar. Jika menjadi politisi, ia dapat memanfaatkan kelebihannya tersebut, sebagaimana dikutip dari Slate.
Sebagai misal, Presiden AS ke-40 Ronald Reagan, yang disebut mengalami daddy issues karena dibesarkan oleh seorang ayah pecandu alkohol, mampu mengembangkan kemampuan empati dalam membaca suasana hati orang lain. Sebab, sedari kecil ia sudah ditempa oleh pengalaman emosional dengan keluarganya yang problematik.
Berdasarkan biografinya, President Reagan: The Role Of A Lifetime (2000), Lou Cannon menuliskan, anak-anak yang tumbuh dalam kondisi semacam itu memiliki kemampuan perseptif tinggi.
"Ketika masuk ke dalam suatu ruangan, mereka dapat langsung mengetahui seberapa tinggi ketegangan di sana; siapa sedang berselisih dengan siapa; dan apakah situasinya aman atau berbahaya,” tulis Lou Cannon.
Daddy issues merujuk pada dampak psikologis relasi ayah–anak yang kompleks. Tidak selalu ayahnya buruk. Bahkan, ayah yang dominan, ambisius, atau sangat idealis, pun bisa melahirkan pengaruh tertentu pada anak.
Dalam relasi semacam ini, hubungan ayah-anak dapat menumbuhkan kebutuhan untuk membuktikan diri, mencari pengakuan, atau justru menolak jejak ayahnya, yang pada gilirannya membentuk pilihan hidup maupun karier politiknya.
Namun, yang menjadi sorotan, karena mereka merupakan pemimpin politik, kebijakannya berpengaruh sangat luas kepada masyarakat. Jangan sampai demi memenuhi ambisi pribadi atau memenuhi aspirasi ayahnya, kebijakan yang dibuat malah mengorbankan kepentingan rakyat. Padahal, masyarakat sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi politisi yang disebut memiliki daddy issues.
===============
Abdul Hadi merupakan akademisi di bidang psikologi, lulusan Magister Psikologi Sosial dan Kesehatan Utrecht University.
Tirto.id membuka peluang bagi para ahli, akademisi, dan peneliti, untuk memublikasikan hasil riset keilmuan. Jika berminat, silakan kirim surel ke mild@tirto.id untuk korespondensi.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































