tirto.id - Pada suatu masa, Prabowo adalah lelaki yang dikelilingi oleh kesempurnaan. Bapaknya, Sumitro Dojohadikusumo—yang lama berada di Luar Negeri— adalah begawan ekonomi yang pernah jadi Menteri Keuangan dan Menteri Negara Riset.
Keluarga Prabowo juga penuh toleransi dengan perbedaan, termasuk perbedaan agama sekalipun. Ibu Prabowo, Dora Marie Sigar, seperti dicatat Aristides Katoppo dkk, dalam Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000:396), adalah pengikut Calvinis (Kristen). Sementara ayahnya Islam. Keberagaman ini membuat Prabowo tumbuh dengan iklim heterogen yang saling menghargai. Keluarga besar mereka merayakan dua hari raya, yakni Lebaran dan Natal.
Ketika lulus SMA, Sumitro tak ingin anak lelaki sulungnya langsung berkuliah. Prabowo yang menghabiskan masa sekolah berpindah-pindah di luar negeri dan lulus SMA di Inggris, akhirnya banyak bikin kegiatan di Indonesia. Dia populer, kawannya banyak. Salah satunya adalah Soe Hok Gie. Menurut Gie, Prabowo adalah sosok yang cerdas, namun hidup dalam gelembung. Bisa jadi ini karena sejak kecil Prabowo hidup dikelilingi kenyamanan.
Dalam catatan hariannya, Catatan Seorang Demonstran (1989:314-315, Gie pada 25 Mei 1969 mencatat kesannya terhadap sosok Prabowo.
"Bagi saya, Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romatiknya,” tulis Gie. “Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah.”
Ketika Gie meninggal dunia pada 1969, Prabowo memilih untuk tinggal di dunia nyata yang begitu ingin dia tempati: Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Meski saat itu profesi tentara dianggap kurang pantas bagi Prabowo yang berasa dari keluarga teknokrat, tapi dia tak ragu dengan pilihannya. Baginya, masuk ABRI lebih menarik ketimbang dunia akademis. Sumitro tak bisa membujuknya lagi untuk kuliah dan Prabowo berkeras, “Saya ingin menjadi bagian dari itu.”
Ketika pulang ke Indonesia, Sumitro sempat mengobrol lama dengan Jenderal Sutopo Joewono Prodjohandoko, yang saat itu jadi orang nomor satu (kepala) di Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Tokoh lain yang menjemput Sumitro adalah Mayor Jenderal Ali Moertopo.
“Pada kesempatan itu bahkan Sumitro sempat 'menyodorkan' anaknya, Prabowo, agar bisa masuk Akabri. Dus, Jenderal Sutopo-lah yang menjadi sponsor Prabowo masuk Akabri,” tulis Heru Cahyono, dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 (1998:24).
Prabowo pun melalui jalan untuk menjadi orang besar di Indonesia, masuk Akabri—setelah lulus akan jadi Letnan Dua yang masa depannya cerah, tak hanya di militer tapi juga di dunia sipil. Di Orde Baru, jenderal yang jadi gubernur atau direktur perusahaan negara adalah hal biasa.
Di Akabri, Prabowo tak hanya belajar soal militer, tapi mendalami Islam. Dalam Panji Masyarakat, disebutkan bahwa Prabowo aktif mendalami Islam sejak di Akabri. Orang yang berjasa membimbing Prabowo sebagai seorang muslim adalah taruna seniornya yang mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kivlan Zen.
Saat itu memang Prabowo dianggap sebagai mualaf. Ahmad Sumargono, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dalam buku Prabowo Sang Kontroversi: Kisah Penculikan, Isu Kudeta, dan Tumbangnya (2006:154) yang disusun Eros Djarot dkk, menyebut bahwa, "Prabowo adalah seorang mualaf".
Karena itu pula, Prabowo jadi makin tampak sempurna dan punya modal besar untuk kehidupan politiknya di masa depan. Pertama, Prabowo adalah seorang muslim. Kedua, Prabowo sudah jadi calon perwira ABRI. Memang, Prabowo pernah tidak naik kelas di Akabri, tapi itu bukan aib dan ganjalan besar dalam kariernya di masa depan. Yang penting Prabowo lulus, dan Prabowo menambah nilai plus untuk dirinya sendiri dengan bergabung ke korps baret merah. Jadilah Prabowo Letnan Dua di korps baret merah. Pada akhirnya dia menjadi Komandan Jenderal kesatuan yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Semua modal kuat itu mencapai titik puncaknya ketika pada 1983 dia menikahi Siti Hediati Harjadi, putri penguasa Indonesia kala itu, Presiden Soeharto. Lengkaplah modal Prabowo.
Di tahun-tahun terakhir berkuasanya Presiden Soeharto, Prabowo adalah sosok paling gagah di jajaran jenderal-jenderal muda ABRI. Dia layaknya pangeran mahkota yang bisa saja menggantikan Soeharto jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Banyak orang menilai bahwa bukan hanya kehidupan personal Prabowo yang mengalami masa gemilang, tapi juga karier militernya. Sejak 1996, Prabowo setidaknya sudah naik pangkat dari Kolonel ke Brigadir Jenderal, lalu naik lagi menjadi Letnan Jenderal ketika jadi Panglima Kostrad.
Dunia kemudian berputar dengan cepat. Soeharto tumbang, dan ikut menyeret Prabowo serta karier militernya terpuruk dalam. Karier militernya dinistakan oleh kasus penculikan, yang membuat senior-seniornya merekomendasikan dirinya diberhentikan. Pada 1999, modal-modal berupa lulusan Akabri, penganut Islam, dan statusnya sebagai mantu dari Presiden Soeharto, mendadak tak ada arti lagi.
Namun dua dekade setelahnya, modal politik Prabowo di masa lalu itu kembali dimunculkan. Prabowo digadang-gadang sebagai Jenderal yang sukses, muslim taat, dan dianggap bisa mengembalikan "kejayaan" seperti era mertuanya.
Lantas apakah modal-modal masa lalu itu bisa membawa kesuksesan politik bagi Prabowo? Untuk tahu jawabannya, kita semua harus menunggunya.
Editor: Nuran Wibisono