Menuju konten utama

Demi Cegah Kejahatan Siber, Pemerintah Mesti Atur AI

Pembaruan hukum soal kejahatan berbasis AI semestinya mulai dibahas oleh pemerintah dan legislatif.

Demi Cegah Kejahatan Siber, Pemerintah Mesti Atur AI
Header Decode Potensi Penipuan Menggunakan AI. tirto.id/Ecun

tirto.id - Penyalahgunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), sebagai perangkat untuk melakukan kejahatan siber, saat ini makin marak dan mengkhawatirkan. Laporan dari Signicat, pada awal tahun ini, menunjukkan bahwa institusi keuangan menghadapi peningkatan yang signifikan atas percobaan penipuan menggunakan metode deepfake. Pada laporan berjudul

"The Battle Against AI-Driven Identity Fraud" itu, terekam bahwa penipuan menggunakan deepfake tumbuh sebesar 2.137 persen dalam tiga tahun terakhir.

Penipu saat ini menggunakan AI untuk menciptakan skema canggih yang semakin sulit dideteksi dan dicegah. Bukan hanya mengincar korporasi, di Indonesia, para bandit siber ini juga mengincar individu-individu lewat penipuan berbasis AI. Mulai deepfake video dan audio, surel phishing, hingga chatbot untuk meniru identitas.

Dengan begitu, sudah semestinya pemerintah tak hanya mengatur laju pemanfaatan AI di Indonesia, seperti yang saat ini termaktub dalam rancangan “Peta Jalan AI”, yang tengah digodok Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Rancangan itu sebaiknya dilengkapi pula langkah pencegahan dan kerangka regulasi penanganan kejahatan berbasis AI.

Direktur Regulasi dan Etika Indonesia AI Society (IAIS), Henke Yunkins, memandang bahwa

kejahatan berbasis AI yang termasuk dalam ranah kejahatan siber, cenderung terorganisasi bak sindikat. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan skema cybercrime-as-a-service (CaaS), yang memungkinkan pelaku di suatu tempat menyewakan “layanan” pembuatan konten deepfake atau voicebot kepada pihak lain.

Maka dari itu, menurut Henke, sumber daya manusia dari jajaran penegak hukum yang berhubungan dengan kejahatan siber perlu ditingkatkan. Selain itu, diperlukan perluasan jangkauan penegakan hukum lintas negara karena bisa saja kejahatan siber dioperasikan dari luar negeri.

Iustrasi AI dan cybercrime

Iustrasi AI dan cybercrime. foto/istockphoto

Terpenting, kata dia, pemerintah tidak boleh abai dalam meningkatkan literasi digital warga. Hal ini perlu dilengkapi dengan perombakan regulasi dalam UU PDP dan UU ITE agar bisa menyertakan aturan penanganan kejahatan berbasis AI.

“Regulasi yang diperkuat akan menegaskan bahwa yang dihadapi bukan teknologi AI-nya sendiri, melainkan tindakan kriminal yang dilakukan individu menggunakan teknologi tersebut,” tegas Henke kepada wartawan Tirto, Selasa (10/6/2025).

Pesatnya penggunaan AI memang menuntut penyempurnaan payung hukum agar tidak ada celah legalitas dalam tindak kejahatan yang semakin canggih. Pasalnya, pengguna di dalam negeri sendiri diprediksi mengalami lonjakan yang terus meroket hingga tahun 2030.

Kekhawatiran ini juga sebetulnya sudah ditangkap oleh Komdigi. Pada April 2025 lalu, Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria meminta masyarakat waspadai berbagai aksi kriminalitas dan penipuan yang memanfaatkan teknologi AI. Salah satunya, terang Nezar Patria, saat ini ada penyalahgunaan AI dalam bentuk pemalsuan bukti transfer bank untuk menipu masyarakat.

Nezar menegaskan bahwa Komdigi telah berupaya memerangi penyalahgunaan AI melalui penerbitan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Bahkan, pihaknya turut berkoordinasi dengan OJK serta Bank Indonesia dalam melakukan pencegahan dan mitigasi kerugian nasabah. Namun Nezar juga mengakui, modus kejahatan dengan teknologi AI akan berkembang sehingga dibutuhkan regulasi yang lebih khusus.

"Perkembangan penggunaan AI untuk memanipulasi dan menciptakan sesuatu yang baru itu jauh lebih cepat dari peraturan-peraturan yang kita hasilkan," kata Wamen Nezar lewat keterangan resmi.

Tak adanya payung hukum spesifik yang menangani kejahatan berbasis AI juga berpotensi membuat korban semakin kesulitan. Dalam artikel ilmiah yang ditulis Kurniarullah dkk (2024) berjudul “Tinjauan Kriminologi Terhadap Penyalahgunaan Artificial Intelligence: Deepfake Pornografi dan Pencurian Data Pribadi” dinyatakan bahwa penyebab atas tidak tuntasnya kasus-kasus penyalahgunaan AI, termasuk deepfake pornografi dan pencurian data pribadi, di Indonesia, adalah tidak adanya aturan yang komprehensif.

Menurut penelitian itu, belum ada harmonisasi pengaturan antarlembaga pemerintahan, sehingga menimbulkan penegak hukum dalam menegakkan hukum sering ragu-ragu

“Karena belum adanya mekanisme dan tanggung jawab dari pengelola data pribadi yang jelas. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan,” tulis artikel ilmiah tersebut.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, menegaskan bahwa perkembangan teknologi AI memang membawa ancaman modus dan jenis kejahatan yang lebih canggih dan rumit. Hal tersebut akan membawa masalah baru dalam konteks penegakan hukum ketika aturan hukum yang digunakan tidak mengadopsi perkembangan yang terjadi di masyarakat.

“Terutama dalam kaitannya dengan pembuktian perkara,” kata Satria kepada wartawan Tirto, Selasa (10/6/2025).

Teknologi AI yang tak diatur, dipandang Satria menjadi dua mata pisau. Sisi positifnya, AI dapat dimanfaatkan pada sektor pendidikan, sosial, hingga ekonomi. Di sisi lain, AI turut menjadi masalah ketika digunakan sebagai sarana tindak kejahatan.

Dalam sebuah artikel ilmiah bertajuk “Kriminalisasi Deepfake Di Indonesia Sebagai Bentuk Pelindungan Negara” yang ditulis Noerman & Ibrahim (2024), disebut bahwa belum adanya regulasi yang mengatur mengenai deepfake mengakibatkan perlindungan negara terhadap korban tindak pidana ini masih diragukan.

Ilustrasi Ai

Ilustrasi Ai. foto/istockphoto

Penelitian tersebut menjelaskan bahwa Indonesia belum mengatur secara eksplisit tindak pidana bermodus deepfake. Indonesia baru mengatur mengenai pemalsuan data pribadi secara umum dalam UU PDP dan juga pemalsuan secara elektronik dalam UU ITE.

Sementara di negara lain, payung hukum terkait kejahatan berbasis AI – terutama deepfake – sudah mulai dibentuk dan diterapkan. Misalnya lewat Assembly Bill Number 602 yang ditambahkan dalam hukum perdata negara bagian California, Amerika Serikat. Aturan itu menegaskan pembuatan deepfake terkait pornografi harus mendapatkan suatu persetujuan, apabila hal tidak dengan persetujuan, maka dikenakan ganti rugi hingga 150.000 dolar AS.

Aturan kedua di California juga menetapkan Assembly Bill Number 730 yang telah disahkan menjadi Chapter 493, Statutes of 2019 California. Aturan ini melarang produksi, distribusi deepfake seorang kandidat, komite kampanye politik, partai politik, atau entitas lain dalam waktu 60 hari setelah pemilu.

Iustrasi AI dan cybercrime

Iustrasi AI dan cybercrime. foto/istockphoto

Di Eropa, tindak pidana deepfake diatur Artificial Intelligence Act, yang merupakan ketentuan hukum mengenai AI terkomprehensif pertama di dunia sebagai wujud dari kepastian hukum. Aturan ini dibentuk Uni Eropa, salah satunya mengatur setiap orang yang menciptakan atau menyebarkan konten deepfake harus mengungkap bahwa hal tersebut sebuah media tiruan (bukan media asli) dengan tujuan untuk meminimalisir penyalahgunaan media palsu.

Kekosongan regulasi kejahatan berbasis AI di Indonesia akhirnya menggambarkan kondisi yang sesuai adagium "het recht hinkt achter de faiten aan", yang artinya hukum diibaratkan sedang berjalan tertatih-tatih karena tertinggal perkembangan manusia. Padahal idealnya hukum itu harus bersifat dinamis bergerak mengikuti perkembangan manusia dan sekitarnya.

Menurut Satria dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, perkembangan hukum sejatinya mesti sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Maka, pembaruan hukum soal kejahatan berbasis AI semestinya mulai dibahas oleh pemerintah dan legislatif.

“Di sini muncul sisi kelemahan dari regulasi hukum di Indonesia. Sejauh mana kemudian bisa menjadikan AI sebagai alat bukti atau bahkan subjek pidana. Ini tentu mesti berangkat dari politik hukum khususnya dalam konteks pembaharuan regulasi,” ujar Satria.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Indepth
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty