tirto.id - Ketika gempa dahsyat mengguncang kediamannya pada 18 April 1906 dan 15 Mei 1910, Charles Francis Kinsinger yang masih remaja tak merasakan ketakutan apapun. Bukan soal berani, tetapi gejolak jiwa dalam dirinya lebih keras dari gempa hingga mengerdilkan segala sesuatu yang berguncang di sekelilingnya.
Perceraian kedua orang tunya, Frederick William Kinsinger dan Lilliana Anna Richter, membuat ia mati rasa terhadap lingkungan. Rumah tangga yang dibangun sejak 15 juli 1881 itu ambruk pertama kali pada tahun 1892, saat Margaret Rose Kinsinger, kakaknya, baru lahir.
Orang tuanya sempat rujuk dan melahirkan Charles, namun perceraian lagi-lagi terjadi.
Kepiluannya kian menjadi saat ia mengetahui kolom nama keluarga di akta kelahirannya tak pernah diisi. Itulah yang dijadikan alasan oleh ibunya saat memutuskan tinggal kembali di rumah orang tuanya di Pasadena, California, Amerika Serikat, dengan membawa anak-anaknya dan mengganti nama keluarga Kinsinger menjadi Richter.
Tumbuh dalam keluarga broken home, sebagaimana dipaparkan Susan Elizabeth Hough dalam Richter’s Scale (2007), membuat Charles Francis Richter tak memiliki kepercayaan diri dalam menjalani masa mudanya. Ia memilih menyendiri dengan sibuk membaca buku dan mengamati benda-benda langit.
Di kemudian hari, tepatnya pada 1984, seluruh koleksi bukunya disumbangkan kepada California Institute of Technology Pasadena. Dan sejak 1911, ia selalu mengirim laporan pengamatan langit kepada American Association of Variable Star Observers.
Saat ia mengikuti jejak kakaknya, kuliah di Stanford University, perasaan mindernya tak hilang, malah kian menjadi-jadi. Ini, misalnya, dapat dilihat dari keputusan Richter untuk meninggalkan jurusan pertamanya, Kimia.
"Saya selalu gugup mengerjakan tugas-tugas Kimia,” ujarnya. Ia kemudian memilih bidang Fisika.
Padahal, dalam laporan tentang prestasi akademik mahasiswa tahun 1919, Richter mendapat nilai A untuk mata kuliah Kimia, sementara studi fisika hanya memperoleh nilai C.
Masalah mental yang merundungnya digambarkan Richter sebagai “kebingungan remaja” yang membuatnya “hampir pecah”. Ia berusaha memperbaiki. Mula-mula Richter meminta bantuan gurunya saat duduk di sekolah menengah bernama Howard Leslie Hunt. Nahas, Richter hanya diberi wejangan untuk mencari jawaban dari Kitab Suci. Jawaban ini tak pernah diamalkan karena ia seorang agnostik.
Setelah menyelesaikan jenjang sarjana, atas saran ibunya, Richter memperoleh bantuan untuk mengatasi masalahnya dari seorang profesional, yakni psikiater bernama Dr. Ross Moore.
Atas bantuan dokter ini, tulis Susan Elizabeth Hough dalam Richter’s Scale (2007), “Richter mendapatkan kembali pijakan emosionalnya."
"Bahkan, pada 1922, Richter berhasil mengatasi ketidakpercayaan dirinya dengan berani lebih jauh keluar dari lingkungan nyamannya, yakni bekerja untuk pertama kalinya sebagai pengirim surat di Los Angeles County Museum. Dari sana, Richter lantas bekerja sebagai juru tulis di sebuah perusahaan pembuat perangkat keras," imbuh Elizabeth.
Perubahan positif ini membuat Richter memiliki cukup uang untuk melanjutkan studinya. Ia tidak kembali ke Stanford, tetapi ke California Institute of Technology (Caltech) di Pasadena.
"[Kampus ini] harus saya jadikan tempat untuk mengakhiri semua kegelisahan. Tidak seperti Stanford yang membuat saya kian menjadi pribadi buruk,” ujar Richter.
Pada masa awal menjalani pendidikannya di Caltech, untuk pertama kalinya Richter memiliki teman, yakni seorang mahasiswa pasca-doktoral bernama Frank Reed. Nahas, jalinan pertemanan ini justru membuatnya kembali galau.
Pasalnya, Reed tak berteman dengannya tanpa sebab, melainkan untuk mendekati kakaknya, Margaret, bahkan ibunya. Ini Mmemercik bayang-bayang dalam pikiran Richter bahwa Reed dapat menghancurkan keluarga yang "telah hancur" itu.
Di tengah kegalauan itu, Carnegie Institute di Washington mendirikan institusi baru, yakni sebuah laboratorium penelitian kegempaan bernama Seismology Lab yang dibangun di California sebagai tempat di AS yang mengalami gempa bumi terbanyak.
Sebagai institusi baru dengan bidang studi baru, Carnegie tak memiliki sumber daya manusia yang cukup, terlebih lokasinya berada jauh dari markas besar mereka. Maka itu, Carnegie segera mencari talenta-talenta peneliti kegempaan muda dari segala penjuru AS, terutama dari California. Richter, atas kegemarannya mengirim data pengamatan langit kepada American Association of Variable Star Observers, terpilih.
Terlebih, Wood pun merupakan pengajar di Caltech dan mengenal Richter. Dari sinilah hidup Richter yang terganggu guncangan jiwa sejak belia diganti dengan gangguan dari guncangan Bumi.
Seismograf Wood-Anderson
"Gempa bumi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Amerika Serikat, bahkan sebelum negara ini menjadi negara,” tulis Richard Monastersky dalam "Abandoning Richter" (Science News, Vol. 146 1994),
Sebelum abad ke-20, misalnya, paling tidak terdapat tiga gempa bumi dahsyat di AS, yakni pada 1812, 1857, dan 1872. Memasuki abad ke-20, gempa bumi kian menjadi-jadi, terutama di California sebagai "negara gempa bumi", tulis Susan Elizabeth Hough dalam Richter’s Scale (2007),
Berbeda dengan Jepang yang juga rutin dilanda gempa, AS hampir tak punya penelitian komprehensif tentang kegempaan. Padahal, di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, California sebagai “negara gempa bumi” itu tengah dilanda “golden rush” yang mendorong pertumbuhan penduduk menjulang di negara bagian yang kini tercatat paling kaya di seantero AS.
"Pertumbuhan penduduk yang eksplosif berarti peluang bisnis yang eksplosif pula [...] Tentu, peluang bisnis ini, seperti dijabarkan ahli-ahli ekonomi, tidak menyukai adanya ancaman, terutama ancaman dari alam seperti gempa bumi,” tulis Monastersky.
Ancaman yang kala itu muncul saban tahun, menciptakan kerugian senilai $1,5 juta (sekitar $55 juta dengan kurs saat ini) dari pelbagai properti yang rusak. Dan hal ini tak pernah diungkap oleh pemerintah.
Berdasarkan laporan yang ditulis George Davidson pada 1906 selaku petugas di San Francisco yang bekerja mengumpulkan data kerusakan akibat gempa bumi, hal tersebut tidak diungkap karena akan merusak prospek komersial San Francisco.
Keadaan mulai berubah setelah gempa bumi mengguncang San Francisco pada 18 April 1906. Sejak saat itu, tulis Monastersky, Pemerintah AS sadar bahwa gempa bumi adalah masalah serius.
Sebelum gempa dahsyat tersebut, urusan kegempaan di AS hanya dijalankan seadanya oleh Biro Cuaca (US Weather Bureau), dengan bantuan seadanya pula dari Biro Survey Geologi (US Geological Survey)--biro ini lebih fokus memetakan kekayaan mineral AS.
Setelah itu, Pemerintah AS mengalihkan wewenang urusan kegempaan kepada lembaga lain yang sedikit lebih peduli soal gempa bumi, yakni Biro Survei Pantai dan Geodesi (US Coast and Geodetic Survey).
Didirikan pada 1807 oleh Kongres, Biro Survei Pantai dan Geodesi rutin mencatat fenomena kegempaan di seantero AS, terlebih karena biro ini memiliki alat yang tak dimiliki biro-biro lain, yakni alat-alat seismologi. Namun, peralatan seismologi yang digunakan Biro Survei Pantai dan Geodesi berukuran raksasa dan tidak terlalu sensitif.
Seturut catatan Yasumoto Suzuki dalam "Kiyoo Wadati and the Path to Discovery of the Intermediate-Deep Earthquake Zone" (History of Geology, 2001), “peralatan seismologi sebelum era 1910-an tidak dapat mengukur energi kegempaan dari titik asal gempa [...] Alat hanya mampu mendeteksi energi yang telah terdegradasi seiring perjalanan getaran menuju alat seismologi berada.”
Kondisi ini mendorong pemerintah untuk memiliki alat seismograf yang lebih baik. Setelah mengalihkan wewenang kegempaan dari Biro Cuaca dan Biro Survey Geologi ke Biro Survei Pantai dan Geodesi, Pemerintah AS kemudian mendorong institusi pendidikan untuk mengadakan penelitian soal kegempaan, terutama soal penelitian menciptakan alat baru pendeteksi gempa bumi.
Per 1910, University of California di Berkeley membentuk laboratorium seismologi untuk menciptakan alat baru bernama Wood-Anderson Torsion Seismometer. Laboratorium ini dipimpin Harry Oscar Wood dan rekannya seorang astronom bernama John Anderson,
Alat pendeteksi gempa bumi super sensitif ini berhasil diciptakan dengan meminjam teknologi pendeteksi getaran kapal selam, buah dari kerja Anderson yang sebelumnya bekerja sebagai ilmuwan pada Perang Dunia I untuk militer AS.
Setelah membuat Wood-Anderson Torsion Seismometer, Harry Oscar Wood terusir dari University of California karena tak memiliki titel PhD. Ia lantas direkrut Carnegie Institute di Washington untuk membangun pusat penelitian kegempaan serupa yang baru terwijud pada 1922 dan dinamai Seismology Lab.
Di Seismology Lab, Wood menempatkan Wood-Anderson Torsion Seismometer di banyak titik di AS, terutama di California. Penelaahan dan penyajian data kemudian dilakukan karena informasi kegempaan bukan hanya domain peneliti atau ilmuwan, tapi juga masyarakat umum--misalnya dalam konteks antisipasi atau bertindak kala gempa bumi terjadi.
Sebelumnya, tidak ada format yang baik dan mudah dimengerti masyarakat tentang gempa bumi, padahal Wood-Anderson Torsion Seismometer berhasil mendeteksi 300 gempa bumi saban tahunnya di California.
Ini, misalnya, dapat dilihat dari pelbagai pemberitaan soal gempa bumi, seperti San Francisco Examiner yang menyebut gempa dahsyat pada 1910 sebagai "tendangan ke pantat yang sangat keras". Mereka tidak menggunakan frasa atau angka yang bisa dijadikan patokan yang jelas.
Skala Richter
Setelah kembali ke bangku kuliah, Richter menjadi jawaban Wood dalam menjalankan kepentingan baru ini.
Dalam urusan kegempaan, Richter tak punya peran apapun soal penciptaan alat pendeteksi gempa. Bahkan terhadap dunia kegempaan yang membuat namanya terkenal pun tidak murni diciptakan Richter.
Namun, kegemarannya sejak belia mengirim data pengamatan langit kepada American Association of Variable Star Observers serta statusnya sebagai mahasiswa pasca sarjana di bidang Fisika, menjadi bukti bahwa ia terampil soal data.
Maka, dipaparkannya dalam "An Instrumental Earthquake Magnitude Scale" (Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 25 1935), keyakinan Wood pada Richter dibuktikan dengan menciptakan konsep kegempaan bernama "magnitude", yang menggiring kelahiran "Richter Scale" atau "Skala Richter".
Memanfaatkan penelitian yang dilakukan Kiyoo Wadati yang berhasil mengungkap perbedaan ukuran kekuatan gempa dengan membandingkan jarak antar seismograf, Richter menciptakan indeks gempa bumi yang hanya mencatat energi yang dilepas dalam kurun waktu 0.1 hingga 3.0 detik di dalam perut bumi/inti gempa. Lalu indeks tersebut dibandingkan dengan skala logaritmik (kelipatan 10 atau 10 pangkat "n"), maka lahirlah Skala Richter.
Lewat gagasan Richter, ayunan Wood-Anderson Torsion Seismometer seperseribu kali ditetapkan sebagai gempa bumi berkekuatan 1.0. Karena memanfaatkan skala logaritmik, maka gempa bumi berkekuatan 2.0 yang timbul atas ayunan Wood-Anderson Torsion Seismometer 10 kali lebih banyak dibandingkan 1.0, begitu pula seterusnya.
Secara teoretis, ini artinya gempa berskala 8.0 terjadi karena alat seismograf berayun 10 juta kali lebih besar dibandingkan berskala 1.0. Angka yang menurut Monastersky "sembrono". Sebab, terangnya, jika gempa bumi berkekuatan 7.0 terjadi (dalam konteks Skala Richter), maka semua manusia di bumi akan musnah karena kekuatan tersebut terlalu besar.
Dalam paper yang menemani kelahiran Skala Richter, Richter sadar bahwa skala pengukuran kegempaan buatannya memang tidak akurat. Bahkan, tulisnya, “presisi bukanlah tujuan dari skala ini.”
Sementara menurut Monastersky, "[Skala Richter] hanyalah usaha peneliti-peneliti kegempaan di AS untuk membungkam para jurnalis yang sering bertanya tentang kekuatan gempa bumi yang terjadi dengan memberikan jawaban yang mudah dimengerti mereka.”
Sadar skala buatannya tak akurat, Richter mencoba memperbaikinya dengan mengubah sumber data indeks gempa bumi, dari energi yang dilepas dalam kurun waktu 0.1 hingga 3.0 detik di dalam perut bumi (kemudian dikenal sebagai local magnitude), menjadi data gelombang di permukaan kerak bumi dengan periode sekitar 20 detik (dikenal sebagai seismic magnitude).
Pada 1970, Hiroo Kanamori (seismolog Jepang) memperbarui lagi. Ia mengubah sumber data indeks gempa bumi dengan memanfaatkan data dari total energi gelombang seismik yang ditimbulkan gempa bumi. Ini kemudian dikenal sebagai moment magnitude.
Editor: Irfan Teguh Pribadi