Menuju konten utama

BMKG Didirikan Bukan untuk Keperluan Perang dan Ekonomi

Berbeda dengan Jepang dan Inggris yang memanfaatkan pengetahuan cuaca untuk perang dan ekonomi, Belanda pada awalnya justru hanya untuk pengembangan sains.

BMKG Didirikan Bukan untuk Keperluan Perang dan Ekonomi
Header Mozaik BMKG Hindia Belanda. tirto.id/Tino

tirto.id - "Dikisahkan secara apik oleh 'Jenderal Lumpur' dan 'Jenderal Musim Dingin' di garis terdepan Rusia, cuaca adalah musuh sekaligus sekutu terpenting dalam tiap-tiap peperangan," tutur J. O. M. Broek dalam "Weather and the War" (Far Eastern Survey, 1944).

Ya, pengetahuan tentang cuaca merupakan keterampilan yang harus dikuasai sebelum berperang, persis seperti yang diperagakan Jepang dalam rencana menguasai Asia Pasifik pada 1940-an.

Dalam melaksanakan rencananya, Jepang menunggu angin monsun bekerja merendahkan tekanan udara di daratan Asia Pasifik, "sebagai waktu yang paling menguntungkan, yang memungkinkan pasukannya bergerak mudah melalui hutan, jalan berbatu, dan sawah yang mengering," lanjut Broek.

Namun, pengetahuan tentang cuaca tentu tak hanya wajib dikuasai sebelum berperang. Dipaparkan Fiona Williamson dalam "Weathering the Empire" (British Society for the History of Science, 2015), cuaca merupakan kunci Inggris dalam mengeruk kekayaan di Asia, Amerika, dan Afrika.

Pengetahuan tentang cuaca digunakan sebagai petunjuk bagi kapal-kapal kolonial menjelajah "dunia baru". Selain itu, juga dimanfaatkan sebagai petunjuk utama musim tanam dan musim panen yang dilakukan di wilayah jajahan.

Hal inilah alasan utama Inggris langsung membentuk kantor observasi cuaca setelah pos kolonial di gerbang Selat Malaka di Singapura dibangun pada 1819. Selanjutnya membangun kantor serupa di St. Helena (1827), Toronto (1839), dan Tasmania (1840).

Uniknya, tak menjadikan perang maupun keuntungan ekonomi sebagai alasan, Belanda membangun kantor observasi cuaca di Hindia Belanda justru dengan tujuan berbeda, yakni murni pengembangan ilmu pengetahuan.

Alasan ini menjadi landasan utama, karena sebagaimana dipaparkan Lewis Pyenson dalam buku Empire of Reason (1988), Belanda hendak menjauhkan citra buruk yang melekat pada diri mereka sebelum abad ke-19, khususnya tentang sains.

Kala itu, Inggris memiliki "gentleman" sebagai konsep yang diberikan kepada rakyatnya yang mengabadikan hidup demi perkembangan ilmu pengetahuan lewat harta pribadi. Sementara Belanda sebagai salah satu kekuatan kolonial dunia dianggap "anti-sains", bangsa barbar yang tak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.

Ini, misalnya, dapat dilihat dari sikap Belanda yang hanya mau menduplikat, alih-alih membangun kantor observasi cuacanya sendiri, hasil survei atau penelitian geofisika dari Madras di India hingga Kalimantan yang dilakukan Charles M. Elliot dari Kerajaan Inggris.

Namun, menurut Lewis Pyenson, sejak etika akademik Jerman masuk dalam dunia pendidikan Belanda pada dekade keenam abad ke-19, "Belanda melihat keluar dari dunianya via asimiliasi kaum cendikiawannya terhadap karya-karya akademik yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman."

Peran Bergsma dalam Pembentukan Kantor Observasi Cuaca

Belanda akhirnya tersadar tentang pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Mereka kemudian membangun kantor observasi cuaca di Hindia Belanda setelah Charles Ferdinand Pahud terpilih sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1856.

Kala itu, sebelum pergi ke Jawa untuk berkuasa, Pahud bertamasya ke Jerman dan tak sengaja bertemu dengan Alexander von Humboldt, warga Jerman yang menjadi inisiator kampanye pembentukan kantor observasi meteorologi di seluruh dunia. Mereka kemudian berdialog tentang pentingnya kantor observasi cuaca.

Humboldt menjanjikan bahwa ia akan membantu pembentukan kantor observasi cuaca di Batavia. Ia bersedia menyediakan peralatan serupa yang dimiliki Inggris di kantor obervasi mereka di Singapura via ahli meterorologi Inggris bernama Edward Sabine.

Saat tiba di Hindia Belanda, Pahud bergegas membentuk kantor observasi cuaca di Batavia dengan menggandeng profesor meteorologi asal Universiteit Utrecht, C. H. D. Buys Ballot.

Enggan meniru kantor observasi cuaca milik Inggris, Ballot meyakinkan Pahud bahwa Belanda sanggup membangun kantor observasi cuaca secara mandiri, dengan bantuan departemen yang dipimpinnya di Utrecht, dengan biaya yang lebih murah.

Didukung Pieter Mijer sebagai bos Pahud di Kementerian Koloni, Ballot bergerak membangun kantor observasi cuaca di Hindia Belanda. Ia meminta ahli astronomi Belanda sebagai kepala teknik Kantor Geografis bernama J. A. C. Oudemans untuk menjadi pelaksana lapangan.

Namun, karena merasa tak menguasai meteorologi, Oudemans menolak. Terlebih, di pelbagai kantor-kantor geografis yang hendak dipimpinnya, seperti di Bogor, Cilacap, dan Banyumas, tak ada yang mengerti bagaimana melakukan observasi cuaca. Beruntung, di departemennya sendiri di Utrecht, Ballot memiliki anak buah bernama Pieter Adriaan Bergsma.

POTENSI HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK

Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memantau monitor citra satelit cuaca di gedung BMKG, Jakarta, Jumat (10/1/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.

Bergsma bersedia melaksanakan pembentukan kantor observasi cuaca di Hindia Belanda dengan satu syarat, yakni diizinkan terlebih dahulu menimba ilmu sipil di Technische Universiteit Delft. Alasannya, ia khawatir tak mengerti tata cara menjadi pamong negara, mengurusi tetek bengek kantor observasi cuaca. Ballot meluluskan permintaannya.

Bergsma lulus sebagai fungsionaris kelas dua di ilmu dinas koloni di Delft pada 1858. Setahun kemudian ia dikirim ke Hindia Belanda dengan gaji sebesar 6.000 gulden per tahun atau setara dengan Rp1,2 miliar dengan kurs saat ini. Ia membawa peralatan observasi cuaca senilai 13.000 gulden atau hampir setara Rp2,7 miliar dengan kurs saat ini.

Dalam dua tahun pertamanya, Bergsma hanya mengutak-atik melakukan kalibrasi alat yang dibawanya, serta selalu gagal menetapkan lokasi pendirian kantor observasi cuaca.

Padahal, tak lama usai menginjakkan kakinya di Hindia Belanda, Bergsma diberikan tanah untuk dijadikan kantor pusat observasi cuaca di lingkungan Kebun Raya Bogor. Hal ini membuat para petinggi Belanda berang.

Bahkan, dalam salah satu publikasi lokal Belanda, Bergma dituduh hanya menghambur-hamburkan uang negara. Ia dianggap layak diganti atau seluruh aktivitas pembentukan kantor observasi dihentikan karena kembali mengutip paparan Pyenson, "pengamatan meterologi tak memiliki manfaat praktis."

Bergsma tak terima dengan kritikan tersebut. Ia menjelaskan bahwa membentuk kantor observasi cuaca di Hindia Belanda tak mudah dilakukan karena wilayahnya sangat luas. Selain itu, lembaga yang dipimpinnya pun diberi tugas mengukur medan magnet bumi Nusantara. Hal itulah menurut Bergsma via surat yang dikirimkan kepada Menteri Koloni di Belanda, yang membuat pekerjaannya jalan di tempat.

"Di sini, seperti di tempat-tempat lain, pegawai negeri yang ditugaskan sebagai anak buah saya untuk pengamatan meteorologi dilatih untuk melakukan hal-hal yang sangat berbeda," tambahnya.

Bergsma dibela Pieter Mijer selaku Menteri Koloni yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1870. Setelah itu, tekanan dan kritikan kepadanya berkurang.

Setelah dibantu tambahan dana senilai 159.000 gulden, pembatasan wilayah observasi, serta bantuan dalam rupa "gentleman" ala Belanda bernama Elie van Rijckevorsel, Magnetisch en Meteorologisch Observatorium akhirnya lahir di Hindia Belanda.

Elie van Rijckevorsel bersedia membantu melakukan observasi dengan dana pribadi atas statusnya sebagai anak bangsawan Belanda yang ingin mencari pembuktian diri di bidang sains,

Sebagai catatan, buku karangan Lewis Pyenson senada dengan buku yang ditulis Pieter Johannes Smits (1909), menyebut awal mula pembentukan Magnetisch en Meteorologisch Observatorium terjadi pada 1875. Sementara di laman resmi BMKG, Magnetisch en Meteorologisch Observatorium didirikan pada 1866.

Infografik Mozaik BMKG Hindia Belanda

Infografik Mozaik BMKG Hindia Belanda. tirto.id/Tino

Catatan Penelitian Paling Mengesankan

Pada awal kemunculan kantor observasi cuaca di Hindia Belanda, sebagaimana dipaparkan G. P. Konnen dalam "Pre-1866 Extensions of the Southern Oscillation Index Using Early Indonesian and Tahitian Meteorological Readings" (American Meteorological Society, 1998), data yang dihasilkan mencurigakan alias tak bisa dijadikan patokan untuk menelaah cuaca.

Hal ini menurut Konnen, kemungkinan terjadi karena para petugas yang melakukan observasi mayoritas tak memiliki minat terhadap dunia meteorologi.

"Data palsu lumrah dikirim petugas-petugas saat itu. Kemungkinan, masalah ini terjadi karena petugas yang melakukan observasi berasal adalah para pekerja medis dalam dinas militer yang dipaksa oleh petinggi mereka dengan tambahan honor tertentu," ungkapnya.

Ini diamini oleh Ballot yang mengatakan, "di semua negara beradab, bahkan di Spanyol, data observasi yang dihasilkan lebih lengkap dan akurat [dibandingkan data milik Hindia Belanda]."

Setelah para petinggi di Belanda sadar bahwa observasi meteorologi maupun magnetik bumi penting bagi kapal-kapal yang membawa hasil bumi Nusantara, alias tak sekadar nafsu ilmuwan dalam mengembangkan sains, dukungan yang lebih besar segera datang.

Lembaga yang dipimpin Bergsma kemudian berkembang. Ia tak hanya mengurusi cuaca, melainkan segala rupa observasi kebumian.

Hal tersebut menurut publikasi jurnal Nature pada 23 November 1882 berjudul "Meteorology of the Malay Archipelago", membuat lembaga ini menjadi "observatorium terbaik yang pernah ada. Melakukan pengamatan mumpuni setiap jam, dari tekanan atmosfer, suhu, kelembapan, hujan, angin, dan awan yang diterbitkan secara ekstensif."

Atau, kembali merujuk publikasi Pyenson, Magnetisch en Meteorologisch Observatorium merupakan "kantor observasi yang memiliki catatan penelitian paling mengesankan [di seluruh dunia]."

Setelah Belanda hengkang--melalui proses berganti-ganti nama--lembaga ini akhirnya menjadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Dituturkan Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Mulyono Rahadi Prabowo, pada Tirto di akhir 2017, BMKG memberikan informasi cuaca melalui 180 kantor observasi yang dimilikinya di seluruh penjuru Indonesia dan diperkuat dengan pelbagai kerja sama dengan instansi lain.

Menurut Mulyono, tingkat keakuratan prakiraan cuaca yang dipublikasikan BMKG berada di titik 80 persen, dengan titik absolut keakuratan (100 persen) di area-area khusus, misalnya bandar udara.

Baca juga artikel terkait BMKG atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi