Menuju konten utama

Cerita Aiman Witjaksono Pilih Berpolitik & Dilaporkan ke Polisi

Aiman Witjaksono bercerita soal keputusan terjun ke politik, risiko yang dihadapi hingga terkait pelaporan dirinya ke Polda Metro Jaya.

Cerita Aiman Witjaksono Pilih Berpolitik & Dilaporkan ke Polisi
Header Wansus Aiman Wicaksono. tirto.id/Tino

tirto.id - Aiman Witjaksono, memilih untuk meninggalkan zona nyamannya sebagai seorang jurnalis. Setelah hampir sekitar 20 tahun lebih tampil di layar kaca, Aiman baru-baru ini justru memutuskan terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Perindo. Aiman terdaftar sebagai caleg DPR RI dari dapil Jakarta Timur.

Tidak lama setelahnya, ia bahkan didapuk menjadi salah satu juru bicara Tim Pemenangan Nasional atau TPN Ganjar-Mahfud. Aiman bertugas menjadi penyambung lidah untuk menyampaikan gagasan dari pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD kepada publik. Mulai dari kelebihan, cita-cita, visi misi, termasuk juga apa yang menjadi kekhawatiran mereka berdua.

“Dan ini kan bicara soal nilai gagasan bukan sekadar misalnya angan-angan pendek, bukan sekadar misalnya gimik. Gimik boleh, tapi tidak sekadar itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk diketahui publik,” kata Aiman dalam acara Podcast For Your Pemilu di kantor Tirto, beberapa waktu lalu.

Namun, di tengah memanasnya politik menjelang Pemilu 2024, Aiman justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas pernyataannya tentang dugaan ketidaknetralan aparat.

“Jadi saya sampaikan, saya dapat info dari teman kepolisian soal A, B, C. Di ujungnya kan saya bilang mudah-mudahan informasi yang saya terima ini salah. Jadi di mana unsur pidananya?” kata dia mempertanyakan.

Kepada Tirto, Aiman menjelaskan tentang bagaimana padangannya terhadap dunia politik hingga tanggapannya atas risiko yang harus dihadapinya saat ini, salah satunya terkait pelaporannya ke Polda Metro Jaya.

Berikut petikan wawancara Tirto bersama Aiman Witjaksono dalam Podcast For Your Pemilu:

Masuk caleg itu di luar prediksi waktu pindah dari Kompas TV ke MNC?

Jadi gini, kan, ada yang bilang saya pindah ke MNC itu ada kontrak harus masuk politik. Tidak ada, ini sukarela. Bahkan saya memutuskan itu bukan pada saat pindah, tidak.

Sekarang gini, orang baru dapat, ibarat promosi karena sebelumnya manager di Kompas TV kan, terus pemred. Kan lagi nikmatin jabatan baru, promosi. Terus tiba-tiba pindah, kan, tidak masuk logika, kan.

Oleh karena itu, saya itu punya prinsip kalau mau masuk politik dia harus calling, dia harus panggilan. Panggilan apa? Untuk memperbaiki, untuk memberikan manfaat, untuk melawan kezaliman dan seterusnya.

Ketika itu, kemudian terintenalisasi ke dalam nilai-nilai jiwa saya, baru saya berani mengatakan iya dan meninggalkan semua yang nyaman-nyaman di belakang. Termasuk jabatan tadi, pemred itu.

Ada momen tidak yang benar-benar 'Oke ini waktunya tahun ini gua mau terjun ke politik' gitu?

Tidak juga. Bahkan sempat berpikir ingin punya panggilan, tapi kapan waktunya. Nah, ketika melihat 2023, pertengahan tahun ini, salat istikharah dulu. Kemudian bismillah, jalan udah gitu aja. Sesederhana itu. Jadi tidak punya saya harus jadi ini, jadi itu enggak, yang penting saya mau memberikan warna di dunia politik Indonesia.

Masak sih kita mau politik gini-gini terus, masak sih kita mau politik ini orang melihatnya kotor terus. Kemudian kapan politik nurani itu bisa menjadi hal yang paling utama di politik Indonesia? Meskipun orang bilang 'ah mustahil terlalu mimpi lu man'. Tidak apa-apa, wajar kan kalau orang punya mimpi. Tinggal bagaimana kemudian melaksanakannya. Seberapa jauh dia bisa mengubah itu takdir Tuhan. Tapi yang terpenting adalah dia konsisten dia jalanin.

Mas Aiman punya platform sudah besar sebenarnya, dan jabatan pula. Tapi memilih jadi caleg itu tidak dipertimbangkan?

Saya tidak pernah nyaman dengan zona nyaman. Jadi bagi saya bukan zona nyaman yang penting. Kenapa? Karena zona nyaman itu melalaikan. Bagi saya di dunia itu enggak boleh nyaman. Karena dunia itu tempat berlelah-lelah. Nyamannya di mana? Nanti setelah kehidupan dunia kalau kita lulus, kalau kita lolos.

Saya tidak pernah berpikir sekarang nyaman dan sebagiannya. Orang yang sekarang nyaman dan sebagiannya hatinya belum tentu nyaman kok. Apakah orang, apakah orang-orang yang punya kekuasaan yang besar kekuasaannya hati nyaman? Belum tentu. Apakah orang-orang yang punya harta yang berlimpah dan sebagiannya hatinya nyaman? Belum tentu.

Kenyamanan itu, kan, ada di keinginan untuk melakukan kebaikan dan rasa syukur. Hanya itu.

Setelah memutuskan untuk jadi caleg dan terjun ke politik ngomong sama siapa pertama kali? Keluarga atau Pak Hari Tanoe?

Pertama, ke ibu. Yang kedua baru ke istri dan juga anak saya. Anak saya masih di bawah umur, SMP dan SD, tapi mereka cukup paham dan mereka semua mendukung. Meskipun ibu, ya namanya ibu ya 'nanti ini, nanti itu'. Bismillah mam.

Setelah dapat restu baru ke Pak Hari Tanoe atau ke kantor dulu?

Iya, setelah itu kan mohon izin ke ketua umum ya dalam hal ini Pak Hary Tanoe, Partai Perindo. Saya kebetulan Dapil Jakarta Timur ya caleg DPR RI. Nah, setelah ke Pak Hary Tanoe dan kemudian setuju, iya lalu kemudian disiapkan untuk pencalegan.

Soal dapil kan bukan domisil Mas Aiman kan?

Dapil itu, kan, tidak harus domisili, tapi saya lahir di Jakarta Timur. Di rumah sakit kecil di Rumah Sakit Restu, Cililitan itu sekarang masih ada.

Ada strategi apa yang ingin diubah di dapil setelah nantinya jadi anggota legislatif?

Jelas yang pertama saya ingin menyampaikan kepada mereka bahwa politik itu mulia untuk mengubah apa yang sebelumnya tidak baik menjadi baik. Apa yang sebelumnya biasa-biasa saja menjadi sebuah lompatan yang luar biasa. Apa yang sudah baik diperbaiki lagi.

Contohnya apa? Misalnya soal paling kecil di Jakarta Timur itu, jadi saya riset juga dan ternyata saya dapat info misalnya dari data itu ada banyak kecelakaan tertinggi itu di Jakarta Timur. Tingkat kematian dan kecelakaan itu paling tinggi di sana.

Ada banyak istri-istri yang ditinggalkan suaminya, janda. Jadi harus membesarkan anaknya yang masih sekolah SD, SMP, dan SMA. Ada beberapa dari mereka, misalnya, tidak dapat kartu Jakarta Pintar yang sebenarnya dari sisi kemampuan mereka harusnya dapat.

Hal-hal seperti itu yang kemudian coba cari tahu dan lihat dan ternyata ini masalahnya. Lalu, seberapa jauh kita bantu, kita bantu. Bukan bantu uang ya, tapi bantu 'oh ini bu langkahnya ke sini-sini'. Kita bantu mereka untuk kemudian mendapatkan haknya. Nah, itu yang paling kecil. Itu kan politik, mulia.

Ada banyak lagi hal-hal lain yang bisa dilakukan yang penting karena saya dasarnya wartawan selalu bicara dengan data. Ketika melihat seperti itu 'oh seperti ini datanya'. Lalu, kemudian kita coba perbaiki, kita coba bantu dengan jalan yang benar sesuai aturan, itu yang dilakukan. Itu yang saya katakan sebagai politik mulia dari nurani bukan sekadar datang ke dapil bagi-bagi uang terus kemudian politik pragmatis, lalu pilih saya ya, bukan seperti itu.

Pendekatan keluarga secara personal batin dan mereka merasa terbantu. 'Man, tapi kan itu lama, lu bisa menang enggak'. Loh menang atau kalah itu soal takdir Tuhan, yang penting kita ikhtiar. Yang penting kita ikhtiar, ikhtiar itu apa? Yang membantu memberikan manfaat. Kan sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat juga untuk orang lain.

Aiman Witjaksono

Aiman Witjaksono. tirto.id/andhika krisnuwardhana

Politik itu kan juga soal ngomongin logistik pasti butuh biaya. Mas Aiman merasa tidak kepopuleran seorang Aiman itu membantu untuk menurunkan biaya logistik?

Katanya sih gitu. Jadi kan orang ketika memperkenalkan diri, dia datang A, B, C. Kalau saya alhamdulillah karena ada sebagian yang sudah tahu, jadi tidak perkenalkan. Tapi minimal tahu misalkan kalau saya di Dapil Jakarta Timur dari Partai Perindo nomor urut 2 yang kertasnya kuning.

Dari situ kemudian tinggal mereka 'oh Aiman nyaleg di sini ya?' Nah sebagian mereka yang saya tanya mereka sudah tahu rekam jejak saya. Itu yang menguntungkan menurut saya.

Kadang-kadang orang, kan, nanya 'siapa orang yang datang nih?' Oh tidak dikenal, mereka tidak ngumpul. Tapi ketika 'Oh Aiman datang' banyak tuh yang datang minimal mereka mau foto segala macam. Oke tidak apa-apa, itu kan hak mereka. Tapi di situ saya juga bisa sekalian untuk menyampaikan, berdiskusi, berdialog dengan mereka. Itu yang saya lakukan.

Boleh tahu tidak sekarang sudah habis berapa untuk alat peraga kampanye?

Saya beruntung karena dibantu, jadi sistem reimburse. Jadi misalnya saya mau bikin baliho baru, dibikin oleh DPP Perindo. Lalu, kemudian untuk pemasangannya kalau tidak dipasangkan oleh DPP misalnya, ada petugasnya kita pasang sendiri, kita dikasih biaya pemasangannya.

Terus kemudian untuk turun ke dapil misalnya, kita bisa sistem reimburse karena, kan, minimal ada makanan, tidak besar sih kalau makanan gitu kemarin sejuta lah.

Tadi kan sebagai caleg, sekarang Mas Aiman juga akhirnya ditunjuk sebagai juru bicara TPN Ganjar-Mahfud, ceritanya gimana?

Jadi awalnya saya di jubir Partai Perindo. Nah, jubir Partai Perindo itu juga otomatis jadi jubir tim pemenangan nasional Ganjar Mahfud. Jadi jubir Perindo, ya juga TPN. Saya pikir semuanya meskipun ada beberapa di layer satu, kalau ada apa-apa dia maju terus, dia diutamakan, dan ada beberapa yang mungkin yang lebih pasif. Nah, saya kebetulan yang di layer satu yang kemudian diajukan terus untuk juru bicara.

Ada tugas khusus tidak sebagai jubir?

Jelas, jubir itu punya tugas khusus untuk menyampaikan gagasan dari capres kita Ganjar Mahfud. Apa yang menjadi kelebihan mereka, apa yang menjadi cita-cita mereka, apa yang menjadi visi misi mereka, termasuk juga apa yang menjadi kekhawatiran mereka. Itu harus kita sampaikan. Dan ini, kan, bicara soal nilai gagasan bukan sekadar, misalnya angan-angan pendek, bukan sekadar misalnya gimik. Gimik boleh, tapi tidak sekadar itu ada hal yang jauh lebih penting untuk diketahui publik.

Tapi tidak apa-apa publik harus diedukasi bahwa kita punya gagasan seperti ini. Tinggal bagaimana juru bicara itu menyederhanakan dari visi misi gagasan. Nah, itu penting.

Ngomong-ngomong kekhawatiran, kekhawatiran apa yang sebenarnya dari tim Ganjar Mahfud harus dikomunikasikan?

Jelas kita tidak berada di ruang hampa bahwa ada proses di awal yang cacat, itu kita harus akui. Ini ngomongin soal MK. Dengan keputusan MKMK, ada pelanggaran berat, sehingga mengharuskan ketua MK-nya Anwar Usman dipecat dari ketua MK, dicopot jabatannya.

Proses itu menghasilkan Mas Gibran menjadi cawapres. Kemudian ada juga proses-proses yang lain yang kita lihat. Kayak misalnya, soal bagaimana suara-suara baliho yang diturunkan dan hanya Ganjar Mahfud, pasangan lain tidak. Nah, ini kan hal yang menggelitik kita semua. Ada apa di balik ini semua?

Oleh karena itu, suara-suara ini harus terus disampaikan. Jadi kalau seandainya kita menyuarakan secara kritis itu mengingatkan. Jangan berujung laporan dong.

Ini termasuk yang kejadian kemarin itu ya, bagaimana awalnya?

Jadi saya sampaikan, saya dapat info dari teman kepolisian soal A, B, C. Di ujungnya, kan, saya bilang mudah-mudahan informasi yang saya terima ini salah. Jadi di mana unsur pidananya? Kalau sampai kemudian itu dilaporkan, kemudian sampai laporan dan surat panggilan disampaikan tengah malam, ini kan bagi saya hal yang menjadi pertanyaan besar.

Jadi saya juga kok kenapa mesti malam-malam, saya tanya. 'Supaya enggak rame mas'. Ah siang pun enggak akan ramai dan saya bukan di pusat kota, saya bukan di kantor media.

Anak istri saya juga sempat kaget kok ada jam 12 malam mereka kebangun gitu ya, ada apa ini? Kok ada bel malam-malam. Ternyata surat panggilan saya ke Polda. Tapi itu bagian dari perjuangan saya untuk mengingatkan.

Kemarin, kan, sempat 'Aiman sebut saja siapa komandannya' di video saya itu, saya tidak menyebut komandan. Saya bilang komandannya tidak disebutkan di pusat atau di daerah, kan, komandannya, tidak disebutkan. Tapi bahwa ada bawahan dari komandan itu, ada merasa keberatan untuk dikatakan dia diminta untuk mendukung pasangan tertentu. Itu fakta yang mereka sampaikan kepada saya, lebih dari satu orang. Komandannya siapa? Mereka tidak sebutkan. Dan saya juga tidak berusaha mencari tahu.

Tapi di ujungnya, sekali lagi saya katakan, digaris bawahi nih, mudah-mudahan informasi yang saya terima itu salah. Kan jelas dan saya tidak pernah menyebutkan institusi. Kalaupun ada seperti itu, itu oknum saya sampaikan juga. Dan saya yakin institusi kepolisian Polri itu bisa menjaga netralitas, itu saya sampaikan juga. Jadi pertanyaannya sekali lagi di mana unsur pidananya? Itu yang kami semua bingung.

Saya bukan orang hukum. Tapi saya 22 tahun liputan di lingkungan Polri, jadi saya sedikit banyak paham soal hukum. Dan juga tim hukum di TPN itu juga bertanya-tanya di mana unsur pidananya?

Artinya percaya diri ketika dipanggil klarifikasi, bahwa ini tidak ada unsur pidana?

Sangat percaya diri. Kecuali nanti kalau ada pemaksaan saya tidak tahu ya, tapi yang jelas kami itu meyakini tidak ada unsur pidana di situ.

Dari detail surat panggilan itu apa saja? Pasal?

Pasalnya semua yang dikenakan ke saya di atas 5 tahun penjara. Atas tuduhan ujaran kebencian, ada UU ITE, dan peraturan hukum pidana. Kemudian SARA. Saya bingung SARA-nya di mana ya? Terus kemudian juga pasal ujaran kebencian lain di peraturan pidana hukum yang lain.

Jadi ada dua Undang-Undang, ITE dan peraturan hukum pidana dan dua-duanya ujaran kebencian. Dan penyebaran berita bohong terkait dengan SARA.

Lalu, kemudian ancaman hukumannya semua di atas 5 tahun. Artinya apa? Ketika saya diperiksa katakanlah misalnya terus kemudian ditetapkan tersangka, bisa langsung ditahan. Padahal tidak ada unsur pidananya. Jadi saya bingung juga, ini kok bisa sejauh ini, ada apa?

Di TPN bagaimana menanggapi ini?

Mereka bingung semua. Karena mereka kan bikin skrip-nya detail. Videonya mereka pelajari semua mengatakan tidak ada unsur pidana. Semua mengatakan demikian. Tidak ada satupun 'oh ini ada poin di sini nih bisa kena' enggak. Semuanya satu suara tidak ada unsur pidana, jadi semuanya juga bingung di mana?

Sampai Ibu Megawati Soekarnoputri kemarin juga mungkin mendapat laporan juga dari internal PDI Perjuangan, juga menyampaikan 'Aiman jangan takut. Jangan dipikir saya tidak tahu kondisi di sana diginiin, di situ diginiin. Jangan takut Aiman.’

Itu mengucapkan sendiri ke Mas Aiman?

Iya, waktu itu saya datang ke rakornas relawan Ganjar Mahfud di JIExpo, Senin kemarin, 27 November 2023, saya kebetulan duduk di depan, dan Bu Mega langsung menunjuk saya dan memberikan pesan seperti itu.

Mas Ganjar dan Pak Mahfud juga mengatakan bahwa maju terus, saya yakin kamu benar.

Aiman Witjaksono

Aiman Witjaksono. tirto.id/andhika krisnuwardhana

Tadi ngomongin soal ada gangguan-gangguan dialami oleh Ganjar Mahfud soal baliho, memang ada merasa ada penjegalan?

Iya, ini harus dilihat sebagai sesuatu yang janggal. Bahwa di beberapa daerah di Bali, di Sumatera Utara, dan daerah lain juga itu hanya baliho kami yang dicabut. Ini juga tentu menjadi sebuah pertanyaan.

Sudah diinvestigasi siapa yang melakukan?

Iya, alasannya karena tidak pada tempatnya, menyalahi tempat. Tapi ada baliho yang lain tidak dicabut tuh di tempat yang lain juga. Kalau mau dianggap tempatnya, kok nggak dicabut? Kenapa baliho Ganjar Mahfud yang dicabut, itu pertanyaan. Ini sebuah fakta yang harus disampaikan kepada publik agar menjadi proses pembelajaran demokrasi.

Saya selalu mengatakan jangan sampai karena pemilu ini orang bilang siklus 5 tahunan kembali ke Orde Baru, saya tidak percaya ya. Tapi kita jaga jangan sampai pemilu kali ini justru menggerus demokrasi atau meruntuhkan demokrasi. Tapi sebaliknya, pemilu kan pesta demokrasi, dia harus menumbuhkembangan demokrasi.

Karena kalau kita kembali ke Orde Baru yang bisa berkuasa hanya kelompok-kelompok golongan tertentu yang dekat dengan kekuasaan, keluarga kekuasaan, apakah kita mau kembali ke masa itu? Mungkin masyarakat yang belum lahir dan sebagainya, mungkin tidak pernah merasakan, tapi saya yakin mereka juga belajar.

Saya waktu itu sudah mahasiswa dan saya ikut turun ke jalan. Saya merasakan betul bagaimana kemudian penindasan saat intimidasi itu dilakukan.

Tapi, kalau sekarang melihatnya dari konteks sekarang, apakah kita sudah mengarah kembali ke Orde Baru? Bahkan ada yang bilang lebih buruk dari Orde Baru dilihat dari nepotismenya.

Tanda-tandanya ada, kita tidak bisa menafikan itu. Ada, misalnya soal ketua umum partai yang baru dapat KTA 2 hari langsung jadi ketua umum partai. Bahkan untuk menjadi ketua umum partai itu lebih mudah dari anak OSIS.

Lalu, kemudian misalnya menjadi cawapres dari lompatan yang luar biasa dari wali kota misalnya. Tapi ternyata dibuktikan dengan proses yang cacat di Mahkamah Konstitusi pelanggaran berat etik. Ini, kan, juga hal yang luar biasa. Jadi ini saya harus mengatakan ini menyedihkan.

Jadi kalau ditanya apakah Orde Baru itu ada sekarang? Jangan sampai itu terjadi karena tanda-tandanya itu sudah mengarah ke sana.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz