tirto.id - Hilirisasi menjadi harga mati bagi Presiden Joko Widodo. Kepala Negara itu tak ingin sejarah Indonesia mengekspor bahan mentah terulang kembali. Indonesia sebelumnya kerap mengekspor bahan mentah serta mengimpornya kembali saat menjadi barang jadi atau setengah jadi.
Hilirisasi dilakukan saat ini dalam bentuk larangan ekspor bahan tambang mentah terutama nikel, bauksit, timah hingga aluminium. Jokowi ingin hasil tambang harus berupa barang jadi atau setengah jadi. Hilirisasi diklaim strategis karena akan mampu memberikan nilai tambah terhadap komoditas tambang Indonesia.
“Sejarah lama itu tidak boleh terulang lagi, jadi jangan ekspor bahan mentah. Jadi tolong diingatkan pemimpin ke depan jangan ekspor bahan mentah, rakyat harus berani mengingatkan mengenai itu,” kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Jokowi menyebut, ekspor bahan mentah yang dilakukan oleh Indonesia telah berlangsung sejak zaman VOC Belanda, yakni sudah lebih dari 400 tahun. Dia menilai hal tersebut tidak memberikan nilai lebih terhadap Indonesia.
“Kita ini selalu mengekspor bahan mentah, sejak VOC, kirim bahan mentah, kirim bahan mentah. Ya kita dapat, dapat uang, tapi sangat kecil sekali,” kata dia.
Oleh karenanya, saat ini pemerintah terus menggaungkan program hilirisasi untuk memberikan nilai tambah terhadap penghasilan negara. Jokowi pun memberikan contoh nyata dalam hal tersebut, yakni nilai ekspor yang melompat setelah memberhentikan ekspor nikel mentah.
Jokowi menyebut ketika pemerintah menyetop ekspor nikel ore di 2020, investasi hilirisasi nikel tumbuh pesat. Bahkan kini telah ada 43 pabrik pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar.
Saat nikel diekspor dalam bentuk bijih atau bahan mentah, nilai yang diperoleh negara hanya sekitar Rp17 triliun. Namun, setelah dilakukan hilirisasi dan industrialisasi terhadap produk nikel tersebut, nilainya melonjak menjadi Rp510 triliun sehingga secara otomatis juga meningkatkan pendapatan negara melalui pajak.
Berdasar hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun, jika hilirisasi digalakkan pendapatan per kapita RI akan capai Rp153 juta (10.900 dolar AS). Dalam 15 tahun, pendapatan per kapita RI akan capai Rp217 juta (15.800 dolar AS). Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp331 juta (25.000 dolar AS).
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memahami, proses hilirisasi ini memang pahit bagi pengekspor bahan mentah. Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pahit bagi pendapatan negara jangka pendek. Namun, kata Jokowi, jika ekosistem besarnya sudah terbentuk dan pengolahannya sudah beroperasi akan menjadi keuntungan bagi Indonesia.
"Saya pastikan ini akan berbuah manis pada akhirnya. Terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia," kata Jokowi.
Dikritik Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar
Keinginan Jokowi untuk melanjutkan program hilirisasi justru mendapat tentangan dari calon presiden dan wakil presiden nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau AMIN. Wakil Kapten Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin (AMIN), Thomas Lembong, menilai kebijakan hilirisasi dijalankan Jokowi justru memiliki tiga masalah besar.
Pertama, kata Lembong, kebijakan Jokowi dinilai sangat terobsesi dengan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik yaitu nikel. Obsesi tersebut, kata Lembong, membuat kebijakan pemerintah semakin sempit.
"Kami melihat fokus yang berlebihan kepada sektor nikel khususnya dan sektor baterai itu membuat kebijakan pemerintah yang terlalu sempit. Pemerintah ngomong baterai terus,” kata Lembong, di Gedung Pakarti Center, Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Lembong mengatakan, pemerintah saat ini terlalu fokus pada kebijakan nikel saja. Seharusnya, kata dia, kebijakan yang lebih luas ke sektor lain. Apalagi industri nikel, baterai dan mobil termasuk industri padat modal, bukan padat karya.
“Yang bekerja robot. Mekanisme otomatisasi, sehingga sedikit sekali manusia yang bekerja di situ," kata Lembong.
Menurut Lembong, 90 persen sumber daya manusia (SDM) mulai tergantikan dengan robot dan pada akhirnya berdampak pada lapangan pekerjaan yang minim. “Mungkin ke angka ekonomi lumayan, tapi ini tidak berujung pada perbaikan lapangan pekerjaan,” ucap dia.
Masalah besar kedua, kata Lembong, kebijakan hilirisasi industri yang dijalankan pemerintah saat ini tidak berorientasi pada pasar. “Pemerintah kemarin melihat harga nikel bagus banget karena permintaan nikel tinggi sekali untuk pembuatan baterai kendaraan listrik dan harganya tinggi,” kata dia.
Menurut Thomas, industri bakal mencari bahan baku lain ketika bahan baku nikel mahal dan pasokannya tidak stabil. Ia memberi contoh produksi Tesla, yang beralih menggunakan baterai lithium ferro phosphate (LFP).
"Prinsip dasar ekonomi, kalau harga tinggi menyebabkan substitusi,” kata dia.
Masalah ketiga, lanjut Lembong, dampak lingkungan. Eks Kepala BKPM ini berujar, standar lingkungan hidup di sektor pertambangan maupun smelter jauh dari yang diperlukan. Ia menyoroti kebutuhan tanah yang besar untuk menggali nikel dan dampaknya.
"Setelah nikel dikeluarkan, itu tanah jadi toksik. Dampak emisi rumah kacanya juga bikin parah krisis iklim,” kata dia.
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana, mengatakan bahwa jika pemerintah terjebak dan fokus kepada hilirisasi nikel saja, maka akan berdampak. Sebab, nikel sendiri sangat mudah disubstitusi.
"Padahal sekarang paling besar perkembangannya lFP tanpa nikel. Hanya litium dan itu sangat murah jadi itu yang potensi sekarang," kata Andri saat dihubungi Tirto, Kamis (7/12/2023).
Andri memperkirakan, nilai tambah didapatkan Indonesia dari hilirisasi nikel ke depan juga akan berkurang. Sebab, harga terjadi saat ini sudah mulai turun akibat permintaan pasar bergeser ke LFP.
"Apabila memang ingin ditujukan kepada mobil listrik itu sudah tidak se-prospek sebelumnya karena sekarang itu LFP," ujar dia.
Nilai Tambah Hilirisasi Nikel Tak Dinikmati Masyarakat
Di sisi lain, Andri juga meragukan masalah nilai tambah yang sering disebut-sebut Jokowi dari hasil hilirisasi nikel. Menurut dia, nilai tambah yang didapat tidak dinikmati oleh masyarakat setempat di area pertambangan.
“Bagaimana permasalahan sosial dan lingkungan terjadi itu sangat merugikan bagi masyarakat setempat. Jadi yang diuntungkan nilai tambah ini para investornya atau pemilik modalnya," ujar dia.
Melalui booklet tambang nikel 2020, Kementerian ESDM menghimpun sejumlah provinsi yang memiliki daerah tambang nikel. Sedikitnya ada tujuh provinsi tempat berdirinya tambang nikel berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikantongi perusahaannya. Di antaranya Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Dari beberapa wilayah itu, hampir seluruh provinsi pertambangan yang disebutkan di atas mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022-Maret 2023, jika dilihat melalui laporan kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023.
Hanya ada dua provinsi dengan penurunan presentase kemiskinan, yakni Papua Barat dan Papua. Persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2022 sebesar 21,43 persen, turun menjadi 20,49 persen pada Maret 2023.
Sementara persentase penduduk miskin di Papua pada September 2022 sebesar 26,8 persen, turun tipis menjadi 26,03 persen pada Maret 2023.
Lima provinsi lainnya justru mengalami peningkatan. Provinsi yang naik cukup tinggi adalah Maluku, dari 16,23 persen pada September 2022 menjadi 16,42 persen pada Maret 2023 atau naik 0,19 poin.
Selain itu, Sulawesi Tenggara, dari 11,27 persen pada September 2022 menjadi 11,43 persen pada Maret 2023, naik 0,16 poin. Sisanya, terlampir pada grafik.
BPS menyebut, penduduk dikategorikan sebagai miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan pada Maret 2023 tercatat sebesar Rp550.458/kapita/bulan. Komposisinya, garis kemiskinan makanan sebesar Rp408.522 (74,21 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp141.936 (25,79 persen).
“Jadi dibilang nilai tambahnya sangat besar dibandingkan sebelum ada smelter nikel segala macam, nilai tambah itu yang nikmati ya bukan masyarakat. Harapannya kita kalau hilirisasi membesarkan yang banyak nikmati nilai tambah masyarakat bukan hanya di pemodal saja,” kata dia.
Ekonom Senior, Faisal Basri, menyebut angka-angka yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per dolar AS.
Ia juga mempertanyakan dari mana angka Rp510 triliun. Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah pada 2022 sebesar 14.876 per dolar AS nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.
“Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," kata Faisal Basri.
Hilirisasi Jadi Amanat Undang-Undang
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan kebijakan hilirisasi adalah amanat Undang-Undang Minerba tahun 2009 dan mendapatkan akselerasi di era Jokowi. Kebijakan hilirisasi tidak hanya pada nikel, tapi juga bahan tambang lainnya, bauksit, alumunium, tembaga dan lain-lain.
“Memang yang jadi primadona adalah nikel," kata Fabby kepada Tirto, Kamis (7/12/2023).
Data dari Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 31/2022 tentang Rencana Pengelolaan Mineral dan Batu Bara Nasional Tahun 2022-2027 menunjukkan, nikel memiliki sumber daya yang begitu besar. Total sumber daya nikel mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam, dengan cadangan 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam.
Indonesia bahkan menduduki peringkat satu untuk cadangan komoditas nikel dunia. Volumenya setara dengan 23 persen cadangan dunia. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan cadangan mineral dan batu bara dunia lainnya.
“Permintaan komoditas mineral khususnya nikel semakin kuat seiring dengan peningkatan permintaan baterai berbasis nikel,” demikian bunyi beleid tersebut.
Fabby mengatakan, kebijakan hilirisasi memang baik untuk meningkatkan nilai tambah bahan tambang dan pengembangan industri domestik. Oleh karena itu, dia mendorong agar pemerintah tidak berhenti di pengolahan bahan mentah jadi bahan baku, tapi lanjut ke industri pemanfaatannya atau manufaktur.
“Misalnya nikel, tidak berhenti di produksi nikel matte dan NPI, tapi juga industri baterai, stainlesssteel, dan produksi kendaraan listrik," kata Fabby.
Fabby meminta, hilirisasi digencarkan Jokowi bisa ditingkatkan ke industri hilir dan juga industri pengolahan turunan bahan-bahan mineral lainnya. Khususnya untuk substitusi impor.
Sementara itu, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, meminta kepada para pengkritik jangan sampai hanya terpaku pada nikel saja. Menurut Bahlil, hilirisasi itu ada banyak, mulai dari bahan stainless steel yang menjadi bahan baku sendok, hingga baja.
“Jadi pikirannya itu jangan sempit gitu loh. Jadi saya kadang-kadang bingung ketika orang berpandangan bahwa hilirisasi itu hanya bagian satu produk, seperti ekosistem baterai mobil, itu kan cuma satu bagian aja," ujar Bahlil di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Kendati begitu, Bahlil smempersilakan pihak lain untuk mengkritik kebijakan tersebut. Sebab hilirisasi ini dibuat juga untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
"Ya enggak apa-apa dikritik-kritik saja. Risiko dari sebuah negara demokrasi kan harus kita menghargai pikiran orang," kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz