tirto.id - Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo dikenal sebagai salah satu tokoh Pahlawan Revolusi yang tewas terbunuh di Yogyakarta. Ia diculik dan dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Brigjen Katamso bukan satu-satunya yang menjadi korban penculikan pada 1 Oktober 1965 dini hari. Dia disekap bersama Letkol Sugiyono, Kepala Staf Korem 72/Pamungkas.
Sejak peristiwa berdarah G30S, profil Brigjen Katamso mulai dikenal masyarakat. Bahkan, namanya dipakai sebagai nama jalan di Yogyakarta, yakni Jalan Brigjen Katamso, membentang dari perempatan Taman Pintar hingga Pojok Benteng Wetan Kidul.
Kolonel Katamso dikenal sebagai tentara yang tegas dan setia terhadap Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dijelaskan biografi Brigjen Katamso, Pahlawan Revolusi korban G30S 1965.
Biografi Brigjen Katamso dan Karier Militer
Katamso Darmokusumo lahir pada 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Ki Sastrosudarmo sedangkan sang ibu bernama Kasiyem Sastrosudarmo.
Menurut buku Katamso (1983) yang ditulis oleh Sagimun M.D., Brigjen Katamso semasa kecil selalu menurut kepada orang tuanya. Terlebih, ia tumbuh di lingkungan keluarga kepolisian. Ayahnya merupakan seorang mantri polisi.
Kendati tumbuh di lingkungan kepolisian, Katamso hanya mengenyam pendidikan hingga Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara SMP. Setelah lulus, ia tidak sempat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi karena saat itu Jepang sudah datang menjajah Indonesia.
Karier militer Katamso dimulai di masa penjajahan Jepang. Saat itu ia mengikuti pendidikan militer pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang ada di Bogor.
Begitu menamatkan pendidikannya di sana, Katamso diangkat menjadi Budanco atau komandan regu di Dai II Daidan (Batalyon 2) di Solo. Pada 1944, pangkat Katamso naik menjadi Shodanco atau komandan peleton.
Setelah Indonesia merdeka, Katamso bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau TKR (sekarang TNI). Ia juga naik pangkat menjadi kapten di tahun 1946 dan sempat menjabat sebagai komandan kompi di Klaten Jawa Tengah.
Katamso Darmokusumo kerap terlibat pertempuran mengusir penjajah, terutama saat masa-masa agresi militer Belanda. Saat itu Katamso memimpin pasukan di Batalyon 351 Brigade V yang kemudian digabung dalam Batalyon 417 Brigade V Resimen Infanteri 15.
Di masa awal-awal kemerdekaan, Indonesia dipenuhi konflik pemberontakan di berbagai daerah. Salah satunya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Saat itu Katamso terlibat dalam Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Operasi ini bertujuan menumpas pemberontakan Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII di Jawa Tengah.
Tahun 1955, Katamso naik pangkat menjadi mayor dan dipercaya menjabat sebagai Wakil Komandan Batalyon 441 Resimen Infanteri 13. Namun, ia sempat dipindahkan ke Batalyon 439 dan Batalyon 436.
Tiga tahun kemudian, 1958, Indonesia mengalami konflik pemberontakan oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Saat itu, Brigjen Katamso diangkat menjadi Komandan Batalyon A Komando Operasi 17 Agustus untuk menumpas PRRI di Sumatra Barat. Operasi militer tersebut dipimpin langsung oleh Kolonel Ahmad Yani dan pemberontakan pun berhasil diredam.
Prestasi Katamso di medan tempur membuat beliau dipercaya menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro di Yogyakarta pada 1963. Tak lama kemudian, tepatnya pada 1 Juli 1964, Katamso dinaikkan pangkatnya menjadi kolonel.
Peristiwa Penculikan dan Pembunuhan Pahlawan Katamso
Berdasarkan buku Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya (2000) tulisan Sri Widyastuti dan Syamsul Arifin, rencana pemberontakan militer yang terafiliasi dengan Dewan Revolusi di Yogyakarta dikoordinasi oleh bawahan Brigjen Katamso, yakni Mayor Mulyono.
Sayangnya, pada 1 Oktober 1965, Brigjen Katamso harus menghadiri rapat di Magelang dan bertemu Pangdam Diponegoro, Brigjen Suryosumpeno. Hal itu membuat pihak yang disebut sebagai Dewan Revolusi semakin leluasa menjalankan rencananya.
Brigjen Katamso yang ketika itu masih sibuk di Magelang sama sekali belum mengetahui pengkhianatan yang dilakukan anak buahnya. Ia baru tahu ketika sudah sampai di Yogyakarta pada sore hari sepulang dari Magelang.
Mengutip dari laman majalah Warta Budaya terbitan Radar Jogja pada 1 Oktober 2019, saat itu Kolonel Katamso dipaksa menandatangani berkas yang menyatakan dukungan terhadap pembentukan Dewan Revolusi. Namun, Brigjen Anumerta Katamso menolak pada waktu itu.
Dari sinilah rencana penculikan dimulai. Menukil dari buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2006) karya John Roosa, Mayor Mulyono dan rekan-rekan militernya mengunjungi Katamso di rumah dinasnya.
Mayor Mulyono bersama pasukannya menculik Katamso dan kepala staf, Letkol Sugiyono, ke daerah Kentungan, tepatnya ke Kompleks Batalyon L.
Berdasarkan buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional, malam hari di markas Batalyon L, beberapa tentara berunding soal rencana eksekusi mati Kolonel Katamso. Pada 2 Oktober 1965 sekitar jam 2 dini hari, mereka melakukan persiapan lain dengan menggali lubang kubur di belakang markas.
Sertu Alip Toyo selaku Komandan Regu Montir 8 Kompi Bantuan ditunjuk sebagai algojo yang akan mengeksekusi Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono. Tak lama setelah itu, sebuah Jeep Gaz yang membawa Letkol Sugiyono datang ke lokasi pembantaian.
Letkol Sugiyono langsung dibunuh, kepalanya dihantam dengan mortir. Tubuhnya dibuang di lubang kubur yang sudah disiapkan. Tak lama setelah eksekusi tersebut, datanglah Jeep Gaz kedua yang membawa Brigjen Katamso.
Kolonel Katamso turun dari mobil dalam kondisi tangan terikat dan matanya ditutup. Ia sempat berjalan beberapa langkah. Lalu, kepalanya dihantam dengan kunci mortir seberat 2 kilogram hingga terjatuh berlumuran darah.
Beberapa versi cerita menyatakan, saat itu Kolonel Katamso masih hidup. Ia juga sempat mengucapkan kata-kata terakhir yang menyatakan bahwa ia masih mencintai Presiden Sukarno.
Melihat targetnya masih bernapas, Sertu Alip Toyo kembali memukul Kolonel Katamso hingga benar-benar tewas. Setelah itu jasadnya dibuang ke lubang yang sama dengan Letkol Sugiyono.
Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono gugur pada 2 Oktober 1965 dini hari. Jenazahnya baru ditemukan pada 12 Oktober 1965. Delapan hari kemudian baru dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.
Berdasarkan SK Presiden No.118/KOTI/1965 tertanggal 19 Oktober 1965, Katamso Darmokusumo diberi gelar Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen).
Keluarga Brigjen Katamso
Brigjen Anumerta Katamso hidup di lingkungan keluarga kepolisian RI. Ayahnya, Ki Sastrosudarmo, pernah menjadi mantri polisi dan terakhir menjabat sebagai komisaris, sekarang sama dengan jabatan kapten. Sementara itu, ibunya bernama Kasiyem Sastrosudarmo.
Brigjen Anumerta Katamso menikah dengan Raden Roro Sri Wulan Murni di Solo. Mereka memiliki tujuh anak, lima laki-laki dan dua perempuan. Umur anak Brigjen katamso yang paling tua baru menginjak 19 tahun ketika ayahnya meninggal pada peristiwa G30S.
Berikut rincian keluarga Kolonel Katamso, termasuk ketujuh anaknya.
Ayah Brigjen Katamso:
- Ki Sastrosudarmo
Ibu pahlawan Katamso:
- Kasiyem Sastrosudarmo
Istri Brigjen Katamso:
- Roro Sri Wulan Murni
Anak Brigjen Katamso dan tanggal lahirnya:
- Putut Kusdarwanto, laki-laki, lahir pada 3 Juli 1946
- Puguh Murtamso, laki-laki, lahir pada 15 Agustus 1948
- Endang Murtaningsih, perempuan, lahir pada 21 April 1950
- Heru Sutoko, laki-laki, lahir pada 10 Oktober 1951
- Ery Muwanto, laki-laki, lahir pada 24 Maret 1953
- Murni Ediyanti, perempuan, lahir pada 12 Maret 1955
- Tamso Muryanto, laki-laki, lahir pada 14 September 1956
Penulis: Erika Erilia
Editor: Dipna Videlia Putsanra
Penyelaras: Fadli Nasrudin