tirto.id - Jalanan kampung yang lowong dan penuh gompal disusuri Fadli di pagi hari. Salat Id baru rampung beberapa waktu lalu. Ketupat sudah ludes disantap, rendang tinggal slilit di geraham. Fadli mulai melancarkan misinya.
Ia bertamu ke sejumlah rumah, bersilaturahmi dan saling bertukar maaf, lanjut mengantongi lembaran duit baru dari salam tempel yang diberikan tetangga.
Begitu kira-kira ingatan Fadli, seorang pekerja agensi digital di Jakarta, ketika mengenang masa kecilnya merayakan Idulfitri atau Lebaran di kampung halaman.
Belasan tahun lalu, ketika dia masih bocah di bangku sekolah dasar, Lebaran ibarat panen uang. Lugu dan polos, khas bocah seumurannya kala itu, Fadli tidak malu-malu bertamu ke rumah tetangga untuk bersilaturahmi.
“Biasanya pagi, habis makan di rumah beres salat [Id] langsung keliling kampung ke rumah-rumah. Kalo enggak ditawari makan, ya dikasih duit,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/4/2024).
Sekarang Fadli sudah mapan, bekerja, dan punya penghasilan sendiri, kini giliran dia yang merasa punya kewajiban memberikan duit kepada bocah-bocah di kampungnya pada Lebaran tahun ini.
Sejak lulus sekolah menengah, Fadli tidak lagi diberikan salam tempel oleh keluarga dan kerabat saat Lebaran. Sudah hampir dua tahun belakangan, giliran dia yang memberikan duit kepada anggota keluarga besar yang masih cilik dan beberapa bocah di dekat rumah.
“Kalau besarannya ya nggak banyak, kecuali kayak buat adik sendiri. Yang bocil (bocah kecil) pada girang aje dah, kan biar mereka jajan dah tuh,” ucapnya.
Salam tempel atau biasa disebut angpau Lebaran, merupakan tradisi yang sudah lumrah ditemui di Indonesia. Namanya bisa beda-beda di setiap daerah, ada yang menyebutnya duit fitrah, bonus lebaran, angpau hijau, salam tempel, dan banyak lainnya. Intinya sama, memberikan sejumlah uang di hari Lebaran atau Idulfitri.
Umumnya, si penerima adalah anak-anak kecil hingga remaja yang belum bekerja. Pemberi uang, tentu saja orang dewasa dan sudah punya penghasilan. Meskipun sebetulnya tidak ada kategori yang ajek bagi penerima dan pemberi dalam tradisi ini.
Besarannya pun tidak pernah ditentukan, tidak pernah diwajibkan, namun terus dilestarikan. Kiranya tidak sedikit pun ada niatan meninggalkan tradisi ini. Buktinya, lihat saja di jalan-jalan besar atau di bank, orang-orang berkerumun untuk menukarkan uang.
Mereka menukarnya menjadi pecahan dan lembaran-lembaran duit baru yang kaku dan masih mulus untuk masuk ke dalam amplop. Alasannya, terutama bocah-bocah, lebih senang menerima uang baru.
Firda salah satunya, perempuan yang memiliki seorang putra ini baru saja menukarkan duit baru di bank. Lebaran masih sepekan lagi, namun dia sudah ambil ancang-ancang. Firda mengaku, memang sebagian besar uang yang telah ditukarkan menjadi kinclong itu akan dibagikan sebagai angpau.
Dia sudah menuliskan daftar penerima amplop yang akan diberikannya di hari raya. Mulai dari anak sendiri, keponakan, tetangga dekat, hingga anak yatim di daerah tempatnya tinggal masuk daftar. Menurutnya, dia sudah bertahun-tahun melakukan tradisi ini.
“Uangnya sudah saya siapkan jauh-jauh hari. Dikumpulkan nanti saya tambah pakai uang THR kerjaan sih, nggak pernah banyak-banyak asal ikhlas saja,” kata perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta ini.
Baginya, angpau Lebaran adalah cara dia berbagi kebahagiaan di hari yang bahagia. Momen Lebaran yang ia mau, adalah momen ketika orang-orang yang dijumpainya tersenyum senang. Meski mengaku terkadang cukup berat menyisihkan uang, dia merasa tidak keberatan melakukan tradisi ini setiap tahun.
“Sedekah itu pasti diganti lebih baik, bukan soal besar kecilnya yang saya yakin, tapi soal kerelaannya mungkin yang bikin hati senang aja ngelakuinnya,” tutur Firda.
Sejarah Angpau Lebaran
Kemampuan finansial seseorang dianggap bukan satu-satunya faktor yang mendorong tradisi angpau Lebaran tetap langgeng. Artinya, bukan soal orang itu kaya raya atau biasa-biasa saja, namun banyak faktor lain yang mendorong seseorang tetap memutuskan untuk berbagi amplop pada Idulfitri.
Pendapat ini dikemukakan oleh peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan.
“Tidak selalu didasarkan pada kemampuan finansial, melainkan pada faktor-faktor psikologis dan sosial yang mendorong perilaku berbagi di hari raya. Ada karena norma sosial, altruisme, identitas sosial,” kata Wawan kepada reporter Tirto.
Maka tak mengherankan jika banyak orang rela menyiapkan uang untuk memberikan angpau Lebaran. Lebih dari itu, Wawan menjelaskan, ada semacam efek psikologis yang juga akan dirasakan pemberi duit. Seperti merasakan bentuk penghargaan dan pengakuan sosial yang meningkatkan harga diri dan semakin merasa dihargai.
“Pemberian angpau atau salam tempel tidak harus selalu berupa uang. Hal ini bisa digantikan dengan hadiah simbolis atau ucapan yang tulus. Selain itu, dapat ditekankan bahwa tradisi ini adalah sukarela dan tidak harus dipaksakan,” ujarnya.
Jika ditilik akar sejarahnya, tradisi ini diperkirakan tak murni berasal dari Indonesia. Negara-negara Timur Tengah hingga Asia Tenggara seperti Malaysia dan Brunei, juga memiliki tradisi serupa ketika Lebaran.
Pelaksana Riset dan Advokasi Kebijakan dari Wahid Foundation, Libasut Taqwa, menilai tradisi ini sudah berlangsung berabad-abad lampau di negeri mayoritas berpenduduk Muslim.
“Dalam sejumlah literatur, berbagi sejumlah kelebihan harta ini merupakan adat kebiasaan yang populer di Kekhalifahan Fatimiyah pada abad ke-10 Masehi,” kata Libas, sapaan akrabnya, bercerita kepada reporter Tirto.
Kala itu, khalifah atau pemimpin umat Islam, memberikan makanan, pakaian, uang, atau hadiah lain kepada anggota masyarakat yang lebih tua dan lebih muda untuk menandai hari pertama Idul Fitri.
Kegiatan ini di Timur Tengah umumnya dikenal sebagai Eidiyah yang berasal dari kata “Idulfitri” dan “hadiah”.
Di berbagai negara muslim, hingga kiwari tradisi ini masih dilestarikan. Negara-negara Arab, seperti diteliti Sarah Al-Raeesi dalam tesisnya Unveiling The Structures of Eidiya (2020) menyebut Eidiyah sebagai kebiasaan yang umum terjadi saat Lebaran.
“Tradisi ini juga biasa terjadi di negara-negara Barat. Di Amerika misalnya, dikenal istilah ‘Gift-giving’ atau ‘festive meals’,” sebut Libasut Taqwa.
Di Indonesia, tradisi ini berkelindan dengan kultur tradisi lain seperti Imlek yang dirayakan warga Tionghoa.
Imlek identik dengan pemberian angpau yang biasanya diberikan sebagai harapan akan keberkatan serta hal-hal baik bagi pemberi dan penerima. Penyebutan angpau Lebaran jadi terasa seperti akulturasi budaya antara Islam dan Tionghoa yang sudah saling berdamping sejak lampau.
Di sisi lain, Libas menekankan kegiatan berbagi pada Lebaran turut mencerminkan sikap mulia Nabi Muhammad yang gemar memberi dan menghargai pemberian.
Lain itu, juga mengampanyekan memberi atau posisi tangan di atas merupakan kebaikan bagi umat Islam. Agar dapat konsisten membantu sesama dalam kebaikan dan umat lain dalam semangat kemanusiaan.
Melalui tradisi angpau Lebaran, sakralitas yang tertanam dalam ibadah puasa serta amalan lain di bulan Ramadhan menjadi tak sebatas ritus personal.
Idulfitri atau Lebaran memberikan tempat bagi budaya yang profan, mewujud sebagai ibadah sosial yang nyata. Ada semangat kemanusiaan dan egalitarianisme yang kental. Terbungkus lewat aktivitas berbagi yang menorehkan bahagia di hati sesama.
Berbagi Berkah
Tradisi angpau Lebaran juga diprediksi akan dirasakan berkahnya oleh para pedagang. Hal ini dijelaskan oleh Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Menurut dia, umumnya mereka yang mendapatkan salam tempel berada di kelompok usia tertentu, misalnya anak-anak dan remaja.
Kelompok usia itu cenderung melakukan spending yang cepat. Maka dalam konteks itu, kata dia, yang diuntungkan tentu pelaku usaha lokal yang akan mendapatkan momentum dari aktivitas tersebut.
“Penjualan tentu akan relatif meningkat dan dalam periode waktu yang singkat, karena umumnya salam tempel amplop itu tidak hanya diberikan oleh satu orang saja tetapi juga diberikan oleh berbagai orang,” kata Yusuf kepada reporter Tirto.
Menurut Yusuf, umumnya dampak yang diberikan terhadap daya beli secara keseluruhan memang relatif kecil. Namun, karena penerima angpau Lebaran ada di kelompok usia tertentu, perputaran uang dari aktivitas ini diprediksi relatif cepat karena biasanya langsung dibelanjakan, meskipun tidak menutup kemungkinan ada yang ditabung.
Bagi para pemberi amplop, juga disarankan untuk melakukan persiapan yang matang. Lebaran tahun ini, kata Yusuf, para penderma perlu mempertimbangkan penetapan atau pun aturan tarif pajak baru yang mulai diberlakukan sejak awal tahun ini.
Misalnya, kalau tahun lalu dana yang disediakan untuk angpau lebih banyak, maka tahun ini dana tersebut perlu kembali disesuaikan dengan jumlah penerimanya.
“Tahun lalu karena belum ada aturan yang berlaku, [mungkin] dana yang disediakan menjadi lebih banyak. Tahun ini karena ada potongan tarif efektif rata-rata untuk THR dan bonus, dana yang disediakan tentu perlu disesuaikan dari pendapatan net yang didapatkan calon pemberi,” saran Yusuf.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi