tirto.id - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali melempar isu. Kali ini, Hasto menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi ingin merebut kursi Ketua Umum PDIP yang kini diduduki Megawati Soekarnoputri. Hasto menuding Jokowi akan mempertahankan kekuasaannya dengan memegang Partai Golkar dan PDIP.
Awalnya, Hasto menyebut Jokowi mengutus seorang menteri dengan kategori powerful untuk menjembatani pengambilalihan kursi ketum PDIP. Menteri powerful ini ditugaskan menemui pakar politik dan pemerintahan, Ryaas Rasyid guna membujuk Megawati menyerahkan kepemimpinan PDIP ke Jokowi.
"Ini ditugaskan untuk bertemu Ryaas Rasyid oleh Presiden Jokowi. Pak Ryaas Rasyid ditugaskan untuk membujuk Bu Mega agar kepemimpinan PDI Perjuangan diserahkan kepada Pak Jokowi. Jadi dalam rangka kendaraan politik untuk 21 tahun ke depan," kata Hasto dalam forum diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).
Hasto menilai upaya Jokowi ini demi mempertahankan kekuasaan hingga 21 tahun ke depan. Hasto pun meminta semua pihak, tak hanya internal PDIP, untuk waspada terhadap langkah politik yang akan diambil Jokowi usai berakhirnya masa jabatan sebagai presiden.
Hasto menilai kejadian ini serupa dengan kejadian kecurangan Pemilu 1971. Kala itu, Presiden ke-2 RI Soeharto berupaya melanggengkan kekuasaan dengan cawe-cawe di Pemilu 1971.
Hasto pun membuka informasi bahwa Jokowi tengah mengupayakan pembangunan koalisi besar.
"Sekarang ada gagasan tentang koalisi besar permanen seperti ada barisan nasional," klaim Hasto.
Pernyataan Hasto langsung dibantah oleh Jokowi. Presiden Jokowi berdalih dirinya tak mungkin melakukan hal seperti yang dituduhkan banyak pihak saat ini, yaitu menguasai partai-partai besar di Indonesia.
"Katanya mau ngerebut Golkar, katanya mau ngerebut. Masa mau diambil semua? Jangan seperti itu, jangan seperti itu," kata Jokowi di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/4/2024).
Salah satu kelompok relawan Jokowi, Projo tak terima dengan tudingan Hasto. Sekjen Projo, Handoko, menegaskan bahwa pernyataan Hasto berpotensi hoaks. Menurutnya, Jokowi sudah dua periode menjadi presiden, sehingga tak mungkin memiliki hasrat menjadi ketua umum partai.
Handoko menganggap pernyataan Hasto tidak masuk akal, lantaran Jokowi selama ini sangat menghormati PDIP dan Megawati.
"Wong Pak Jokowi sudah jadi presiden RI, kok disebut mau jadi ketum partai. Gimana sih?" tegas Handoko kepada Tirto, Rabu (3/4/2024).
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno memastikan hubungan Jokowi dengan PDIP dan Megawati baik-baik saja.
"Baik-baik saja," kata Pratikno saat ditanya usai pelantikan pejabat di lingkungan Kemensetneg di Jakarta, Rabu (3/4/2024).
Pesan Lain dari Pernyataan Hasto
Wacana Presiden Jokowi merebut kursi ketua umum PDIP bukan kali pertama muncul. Pada 2023 lalu, sejumlah senior PDIP, salah satunya politikus senior PDIP, Panda Nababan, sempat menyebut Jokowi ingin mengambil kursi Ketua Umum PDIP.
Ada pula tokoh yang mendorong agar Jokowi menjadi ketua umum partai, yakni Guntur Soekarnoputra. Pada saat perayaan HUT TNI, 5 Oktober 2023 lalu, Jokowi membantah dan menyatakan ingin kembali ke Solo bila selesai dari jabatannya sebagai presiden.
"Saya mau pensiun pulang ke Solo," kata Jokowi kala itu.
Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai wajar jika ada isu Jokowi mau merebut kursi ketua umum. Namun, hal itu menandakan sinyal internal PDIP tengah bergejolak.
"Sebatas itu tentu ini menjadi sah-sah saja, artinya ini muncul mungkin menjadi tanggapan bahwa di dalam internal PDIP pun juga terjadi dinamika," kata Arifki, Rabu (3/4/2024).
Arifki menduga kehadiran Jokowi bisa menjadi angin segar bagi mereka yang tersingkir di PDIP saat ini. Kader yang sebelumnya dipinggirkan oleh pengurus pusat partai di kepemimpinan Mega bisa masuk kembali untuk merebut kursi strategis partai.
Arifki menilai, Jokowi pun mungkin merebut kursi ketua umum partai demi menjaga posisi di kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Posisi PDIP di bawah Jokowi akan menguntungkan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran karena didukung suara parlemen besar.
"Tapi secara kerugian ini akan negatif bagi Jokowi karena memang dinamika di internal PDIP makin rumit dan ini juga akan memperkecil baju Jokowi sebagai mantan presiden nantinya usai Oktober ketika harus mengambil langkah politik untuk kursi Ketua Umum PDIP," kata Arifki.
Di sisi lain, Arifki juga melihat pesan Hasto tidak bisa dianggap remeh. Ia beralasan, Hasto berbicara dalam kapasitas sebagai Sekjen PDIP. Namun, posisi tersebut tidak akan kuat karena Ketua DPP PDIP Puan Maharani jauh lebih berkuasa lantaran dekat dengan berbagai pihak, termasuk Jokowi.
Arifki tidak memungkiri ujaran Hasto adalah manuver politik untuk menjaga posisinya di elite partai.
"Saya kira eksistensi Hasto tetap ada jika Mega tetap jadi ketum. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun jika Mbak Puan ketum, sirkulasi elite PDIP juga berubah," kata Arifki.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, melihat aksi Hasto dengan sejumlah pesan.
Pertama, pernyataan Hasto dinilai sebagai strategi untuk mengingatkan kader PDIP adanya upaya mengambil alih partai yang dilakukan Jokowi. Tak hanya untuk kader PDIP, Hasto juga mengingatkan kepada partai politik lain terkait adanya cawe-cawe politik yang dilakukan Jokowi.
Pesan kedua, Hasto tengah membangun konfrontasi politik dengan Jokowi agar mantan Wali Kota Surakarta itu tidak bergerak leluasa ke faksi-faksi politik internal PDIP.
"Kita harus lihat bahwa realitas politiknya bahwa pasti ada faksi-faksi politik di dalam sebuah partai politik, termasuk PDIP dan sangat mungkin Pak Jokowi memanfaatkan beberapa faksi politik ini," kata Kunto, Rabu (3/4/2024).
Di sisi lain, Hasto tengah memanaskan tensi politik Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kritik keras Hasto mulai soal putusan MK hingga hak angket.
Ia ingin membuat PDIP berada di posisi berhadap-hadapan dengan Jokowi. Ia pun menilai, aksi Hasto adalah aksi serangan terukur demi menjaga PDIP tidak diambil Jokowi dan kelompoknya.
Lantas apakah mungkin Jokowi merebut kursi Ketua Umum PDIP?
Menurut Kunto, bisa. Apalagi, Jokowi bisa memanfaatkan sejumlah faksi di internal PDIP untuk merebut kursi Ketua Umum PDIP. Di sisi lain, banyak tokoh petahana yang gagal lolos parlemen. Para non-petahana yang baru masuk tentu akan memiliki daya tawar.
Lalu apa ada keuntungan jika Jokowi menjadi ketua umum atau permainan narasi tersebut?
Kunto menilai, Jokowi akan lebih banyak menerima keuntungan. Salah satu keuntungan besar adalah tidak perlu perubahan asosiasi Jokowi. Publik sudah tahu Jokowi dengan PDIP dan lebih mudah mendapat dukungan publik.
Hal ini lebih baik daripada Jokowi bergeser ke Partai Golkar karena harus mengubah asosiasi politik dan membangun citra dari awal.
Namun, upaya Jokowi mengambil alih kepemimpinan PDIP juga tak gampang, karena harus berhadapan dengan loyalis-loyalis Megawati.
"Karena dari awal tampaknya mereka yang loyal kepada Bu Mega sudah pasang badan dan pasang ancang-ancang untuk menghalau segala bentuk intervensi," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto