tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan alasan implementasi program mandatori biodiesel B50 (campuran 50 persen bahan bakar nabati ke dalam BBM jenis solar).
Keputusan tersebut telah disetujui dalam rapat terbatas (ratas) bersama Presiden Prabowo Subianto. Bahlil menjelaskan, konversi dari B40 ke B50, yakni campuran 50 persen bahan bakar nabati (BBN) ke dalam solar akan menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor, memperkuat kedaulatan energi nasional, dan membuka lapangan pekerjaan.
"Sudah diputuskan di ratas kemarin, kita akan melakukan konversi dari B40 ke B50. Sekarang Ibu Prof. Eniya (Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi/EBTKE) sudah melakukan hitungan tes mesin, direncanakan semester kedua 2026 itu mulai kita implementasikan,” kata Bahlil saat pemaparan dalam acara Penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Sinergi Tugas dan Fungsi di Bidang Energi, Sumber Daya Mineral, dan Statistik oleh Menteri ESDM dan Kepala BPS, di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Menurutnya, melalui program tersebut, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor solar. Saat ini, total kebutuhan solar nasional mencapai 4,9 juta kiloliter yang sebagian masih dipenuhi dari impor.
“Kalau kita konversi ke B50, kita sudah tidak impor lagi. Devisa kita bisa kita tahan di dalam negeri,” ujar Bahlil.
Selain efisiensi devisa, program B50 juga diyakini dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor hulu, khususnya industri kelapa sawit. Peningkatan kebutuhan bahan baku biodiesel akan berimbas pada naiknya permintaan CPO (Crude Palm Oil).
“Berapa pencipta lapangan pekerjaan Terhadap sawit karena pasti Kita nambah CPO. Kalau nambah CPO, hukumnya cuma dua, bikin kebun baru atau intensifikasi,” jelas Bahlil.
Presiden Prabowo juga meminta agar harga biodiesel di dalam negeri dapat ditetapkan secara “pas dan kompetitif”, sehingga dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah produsen sawit.
Dalam kesempatan yang sama, Bahlil juga menyinggung rencana pemerintah untuk mengembangkan program bahan bakar campuran etanol (E10) dari bahan baku tebu dan singkong. Ia menyebut, keberhasilan biodiesel di Indonesia menjadi contoh bagi pengembangan energi terbarukan lain di masa depan.
“Kita belajar dari biodiesel. Tahun 2015 baru 10 persen, sekarang sudah B40 dan menuju B50. Harga petani naik, impor solar turun. Ke depan kita terapkan di etanol agar bensin kita juga bisa lebih mandiri,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, PT Pertamina (Persero) angkat suara terkait rencana pemerintah, yang akan mengimplementasikan program mandatori biodiesel B50 (campuran 50 persen bahan bakar nabati ke dalam BBM jenis solar) di tahun depan.
Menurut Roberth MV Dumatubun Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, mengatakan bahwa pihaknya akan mengikuti arahan dan kebijakan dari pemerintah.
"Kami prinsipnya mengikuti arahan dan kebijakan pemerintah," kata Roberth saat dihubungi Tirto, Selasa (14/10/2025).
Roberth menambahkan bahwa sebagai perusahaan plat merah, segala kebijakan yang menjadi rencana pemerintah akan segera ditindaklanjuti dan masuk ke dalam pemabahasan.
"Pertamina sebagai BU Milik Negara pasti akan mengikuti kebijakan dan arahan pemerintah. Ke depannya, apabila ada hal yang perlu disiapkan maka akan dibahas untuk tindak lanjutnya," paparnya.
Saat ditanya mengenai kapasitas kilang dan bahan baku yang tersedia, Roberth tidak menjawab secara gamblang karena pembahasan B50 masih menunggu hasil final.
"Kita nunggu ketok palunya," ungkapnya.
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































