Menuju konten utama

Bagaimana Pertebal Dompet Negara saat Tarif Pajak Tak Berubah?

Intensifikasi pajak hingga peninjauan ulang tax expenditure bisa jadi strategi tingkatkan pendapatan tanpa perlu kerek tarif.

Bagaimana Pertebal Dompet Negara saat Tarif Pajak Tak Berubah?
Sri Mulyani membungkukkan badan saat dipanggil Presiden Prabowo Subianto dalam pengumuman jajaran menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/app/Spt.

tirto.id - “Kebutuhan negara dan bangsa begitu banyak, maka pendapatan negara terus ditingkatkan tanpa ada kebijakan-kebijakan baru.” Kalimat itu meluncur dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Selasa (2/9/2025).

Di hadapan anggota dewan, ia menegaskan pemerintah tak akan menempuh jalan pintas dengan menaikkan tarif pajak. “Sering dalam hal ini dari media disampaikan seolah-olah upaya untuk meningkatkan pendapatan, kita menaikkan pajak. Padahal, pajaknya tetap sama,” ujar Sri Mulyani.

Pertanyaanya, bagaimana mungkin target pendapatan negara tahun 2026 dipatok naik nyaris 10 persen menjadi Rp3.147,7 triliun, jika hampir tiga perempatnya—Rp2.357 triliun—sepenuhnya digantungkan pada penerimaan pajak yang sumbernya tak berubah?

Pengamat Pajak Prianto Budi menilai jalan yang tersedia masih lewat strategi intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi dapat ditempuh dengan memperketat pengawasan dan uji kepatuhan, seperti penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) atau pemeriksaan pajak yang bisa menelusuri kewajiban lima tahun ke belakang.

Sementara ekstensifikasi digarap dengan program bersama instansi lain untuk menggali potensi pajak dari praktik ekonomi bayangan atau shadow economy atau underground economy.

Praktik underground economy ini beragam, mulai dari transaksi yang dilaporkan sebagian (underreported), tidak dilaporkan (unreported), tidak tercatat (unrecorded), hingga transaksi UMKM.

"Praktik underground economy itu beragam dan bisa berbentuk legal atau illegal transactions. Untuk illegal transactions, aparat penegak hukum menjadi pihak yang berkepentingan sepanjang praktik ilegal tersebut berkaitan dengan pelanggaran pidana," ucapnya.

Di sisi lain, Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai langkah Kementerian Keuangan dalam UU HPP dengan mengenakan pajak atas natura dan menaikkan tarif PPh Orang Pribadi untuk lapisan tertinggi sudah tepat. Namun, menurutnya, itu belum cukup untuk mengoptimalkan penerimaan kas negara.

Ia mengusulkan penerapan pajak minimum bagi orang super kaya atau ultra-high-net-worth individuals seperti yang diusulkan ekonom Gabriel Zucman dalam KTT G-20.

“Proposal tersebut tidak hanya berbicara soal niat baik namun juga cara agar orang super kaya dapat dipajaki dengan efektif. Salah satunya menitikberatkan pada koordinasi antar negara,” kata Fajry kepasa Tirto.

Pajak kekayaan konvensional, menurutnya, terbukti gagal mengurangi ketimpangan di beberapa negara. Sebaliknya, dalam skema pajak minimum, berapapun skema penghindaran yang dilakukan, jika tarif efektifnya di bawah tarif minimum, akan dikenakan pajak tambahan (top up tax).

“Mekanisme tersebut memang ampuh untuk mengatasi berbagai skema penghindaran,” ujarnya.

Meski proposal Zucman sempat ditolak dalam G-20, Fajry melihat peluang tetap terbuka. Pemerintah Indonesia bisa mendorongnya kembali dalam forum internasional lain dengan dukungan negara berkembang dan beberapa negara Eropa.

Peran Pertumbuhan Ekonomi dan Deregulasi

Lebih jauh Fajry menegaskan, bahwa kunci penerimaan pajak adalah pertumbuhan ekonomi. “Kinerja penerimaan pajak kita pro-cyclical. Ketika ekonomi tumbuh tinggi, penerimaan pajak akan tumbuh lebih tinggi lagi,” jelasnya.

Oleh karena itu, ketika opsi kebijakan pajak terbatas, langkah yang harus dilakukan adalah mendorong basis pajak, yaitu ekonomi. Caranya dengan deregulasi.

“Berikan ruang bagi pelaku usaha seluas-luasnya untuk menggerakan ekonomi,” tambahnya.

Ia mengingatkan resep sukses era Ali Wardhana dan Radius Prawiro di tahun 80-an. Saat harga minyak anjlok, peran pemerintah digantikan swasta melalui deregulasi. Bersamaan dengan itu, Reformasi Perpajakan pertama dilahirkan yang akhirnya melepas ketergantungan pada penerimaan minyak dan gas.

Namun begitu, ia pesimis target penerimaan pajak 2026 dapat dicapai. Pasalnya, target tersebut kelewat tinggi. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun atau tumbuh 13,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Apalagi, target sebesar itu hendak dicapai tanpa peningkatan pungutan perpajakan sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Meski demikian, kalau dari kacamata pragmatis saya, target penerimaan pajak tahun depan terlalu tinggi dan sulit untuk dicapai,” ucap Fajry.

Namun, jika ekonomi tumbuh sesuai prediksi pemerintah sebesar 5,4 persen, target penerimaan pajak sangat mungkin tercapai. “Kuncinya adalah pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu perbaikan struktural,” tutur Fajry.

Review Belanja Pajak

Sementara itu, Peneliti INDEF, Mohammad Reza, menambahkan bahwa pemerintah perlu meninjau ulang belanja perpajakan atau tax expenditure yang mencapai Rp563 triliun di RAPBN 2026.

Pasalnya, insentif yang dikeluarkan pemerintah lewat belanja pajak ini kerap salah alamat dan berkontribusi minim dalam upaya memutus ketimpangan.

“Saya khawatir insentif yang diberikan tidak tepat sasaran dan cenderung dinikmati oleh free rider,” ujarnya saat dihubungi Tirto.

Ia juga mendorong optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor non-migas, terutama komoditas unggulan, dan perluasan barang kena cukai yang berdampak buruk bagi kesehatan.

“Terakhir, untuk mengurangi beban fiskal karena penerimaan yang mungkin saja seret, maka belanja yang tidak produktif harus disetop agar defisit tidak kian melebar. Ya seperti aspirasi yang mengemuka akhir-akhir ini,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Nanda Aria

tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana