Menuju konten utama
Aturan Cuti Melahirkan

Aturan Maternity Leave di Indonesia: Cuti Hamil Berapa Lama?

Bagaimana hak maternity leave di Indonesia? Cuti melahirkan berapa lama, baik untuk ibu maupun suami?

Aturan Maternity Leave di Indonesia: Cuti Hamil Berapa Lama?
Ilustrasi cuti melahirkan atau maternity leave. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Cuti melahirkan merupakan salah satu hak pekerja perempuan. Masing-masing perusahaan punya kebijakan berbeda terkait maternity leave, tetapi tetap harus merujuk pada undang-undang keluaran pemerintah. Lantas, aturan cuti melahirkan di Indonesia berapa lama?

Kebijakan terkait maternity leave telah menjadi perhatian dunia sejak awal abad 20. Tepatnya pada 1919, Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) membuat standar global pertama terkait perlindungan pekerja perempuan melalui Konvensi Persalinan Bersalin.

Setelah direvisi pada 1952, ILO menetapkan cuti minimal 12 minggu, meskipun sebenarnya cuti 14 minggu lebih direkomendasikan.

Lebih kurang empat dekade setelah standar waktu maternity leave itu ditetapkan, ILO merilis laporan bahwa sudah ada 119 negara yang mematuhinya.

Bahkan, dalam siaran pers ILO bertajuk "More than 120 Nations Provide Paid Maternity Leave" pada Februari 1998 menyebutkan, terdapat lebih dari 120 negara di seluruh dunia memberikan cuti hamil berbayar dan tunjangan kesehatan. Artinya, negara-negara itu memberikan tunjangan, sekaligus membayar biaya bersalin karyawan yang mengambil cuti melahirkan.

Lalu, bagaimana aturan cuti melahirkan di Indonesia? Berapa lama seorang pekerja perempuan boleh mengambil cuti hamil?

Aturan Cuti Melahirkan di Indonesia sesuai Undang-Undang

Aturan cuti melahirkan untuk buruh perempuan telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak lama. Salah satunya terwujud dalam undang-undang cuti melahirkan Nomor 39 Tahun 1999.

Pasal 49 ayat (2) undang-undang tersebut menyebutkan, perempuan berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan/atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi manusia.

Perlindungan khusus yang dimaksud berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Maka, hal itu menjadi hak khusus yang melekat pada diri perempuan, dijamin dan dilindungi hukum.

Aturan terkait pemenuhan hak perempuan selanjutnya diejawantahkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam regulasi tersebut, undang-undang cuti melahirkan termuat dalam Pasal 79, 81, 82, dan 83.

Kemudian, pada 31 Maret 2023, pemerintah Indonesia resmi menetapkan UU Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 menjadi undang-undang. Beberapa pasal terkait cuti pekerja mengalami perubahan. Walakin, ketentuan maternity leave Indonesia, yang termuat dalam pasal 82, tidak mengalami perubahan.

Dalam pasal 82 ayat (1) dijelaskan, pekerja perempuan berhak beristirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan, ditambah 1,5 bulan sesudah melahirkan, sesuai perhitungan dokter kandungan atau bidan.

Berapa Lama Cuti Sakit karena Gugur Kandungan?

Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak mendapat waktu istirahat. Masa cutinya adalah 1,5 bulan atau disesuaikan dengan surat keterangan dokter kandungan. Ketentuan itu termuat dalam pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Apa Perbedaan Cuti Tahunan dan Cuti Melahirkan?

Berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, cuti tahunan dan cuti melahirkan berbeda. Sederhananya, cuti tahunan diperuntukkan bagi pekerja secara umum. Sementara itu, maternity leave diberlakukan khusus untuk perempuan yang hendak melahirkan.

Regulasi terkait pemberian cuti pekerja secara umum termuat dalam pasal 79 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan. Namun, aturan tersebut mengalami perubahan, yang mewujud dalam UU Cipta Kerja pasal 81 angka 23. Berikut hasil perubahannya:

  • Istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

  • Istirahat mingguan, 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu;

  • Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus; dan

  • Istirahat panjang dapat diberikan perusahaan tertentu yang pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Cuti tahunan diberikan sebab pekerja telah menjalani pekerjaan selama 12 bulan berturut-turut. Itu berlaku bagi semua pekerja, sesuai kebijakan perusahaan.

Sementara itu, aturan maternity leave diperuntukkan bagi pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan. Jangka waktunya dapat dibagi menjadi dua periode, yakni ketika hamil atau sebelum melahirkan serta pasca-bersalin.

Cuti hamil dapat diambil selama 1,5 bulan sebelum saatnya bersalin. Setelahnya, pekerja perempuan dapat mengambil waktu istirahat lagi selama 1,5 bulan setelah melahirkan. Jadi, total waktu maternity leave yang berhak diperoleh pekerja perempuan adalah 3 bulan.

Jangka waktu cuti melahirkan bisa diperpanjang jika ada surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.

Apakah Cuti Melahirkan dapat Mengurangi Cuti Tahunan?

Peraturan perundang-undang tidak mengatur secara rinci terkait apakah cuti melahirkan dapat mengurangi cuti tahunan atau tidak? Walakin, berdasarkan poin dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja tentang cuti melahirkan, dapat dipahami bahwa pekerja yang menggunakan hak maternity leave tetap mendapatkan cuti tahunan.

Apakah saat Cuti Melahirkan dapat Gaji?

Pekerja perempuan tetap berhak menerima gaji meskipun sedang dalam masa cuti melahirkan. Hal itu sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yang kemudian direvisi menjadi UU Cipta Kerja.

Regulasi terkait gaji pekerja yang mengambil hak cuti melahirkan diatur dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. Aturan gaji cuti melahirkan kemudian diubah dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja Bagian Kedua Bab Ketenagakerjaan.

Dalam perubahan tersebut disebutkan, setiap pekerja yang menggunakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud Pasal 79 ayat (2) huruf b, ayat (3), Pasal 80, dan Pasal 82, berhak mendapat upah penuh.

Berdasarkan ketentuan tersebut, artinya, pekerja yang mengambil istirahat mingguan, istirahat tahunan, istirahat dalam rangka ibadah, dan cuti melahirkan, tetap berhak mendapat gaji penuh dari perusahaan.

Cuti Melahirkan Suami Berapa Hari?

Selain maternity leave yang diperoleh sang istri ketika melahirkan, suami juga berhak mendapatkan waktu istirahat untuk menemaninya. Cuti melahirkan suami diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (4) huruf e. Sederhananya, ketentuan tersebut mengatur tentang parental leave alias cuti sebagai orang tua.

Isi ketentuan dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja sehingga tetap diberlakukan. Suami yang menemani istrinya melahirkan dapat diberikan cuti selama dua hari, dan perusahaan tetap membayar penuh upahnya.

Secara lengkap parental leave dalam Pasal 93 ayat (4) menjelaskan bahwa perusahaan tetap wajib membayar upah pekerja yang mengambil cuti dengan kategori:

  1. Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 hari;

  2. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 hari;

  3. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 hari;

  4. Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 hari;

  5. Istri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 hari;

  6. Suami/istri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,

    dibayar untuk selama 2 hari; dan

  7. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk

    selama 1 hari.

Syarat Cuti Melahirkan di Indonesia

Sebagaimana dijelaskan di atas, pekerja perempuan berhak mengambil cuti melahirkan atau maternity leave. Jangka waktunya disesuaikan dengan kebijakan perusahaan, yang mengacu pada peraturan perundang-undangan terbaru. Dalam hal ini UU Cipta Kerja.

Cuti melahirkan hanya dapat diambil oleh pekerja perempuan yang hamil dan hendak melahirkan. Secara rinci, syarat pengajuan cuti melahirkan disesuaikan dengan kebijakan perusahaan.

Masing-masing perusahaan atau lembaga pemerintahan memiliki kebijakan berbeda terkait pengajuan maternal leave.

Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, misalnya, menetapkan beberapa persyaratan untuk pengajuan cuti melahirkan, meliputi:

  • Surat pengantar dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD);

  • Lembar usulan cuti yang sudah ditandatangani atasan langsung;

  • Surat Keputusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)/Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi PNS dan SK Pengangkatan (bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja/PPPK);

  • Surat Keterangan Persalinan dari Bidan atau Dokter;

  • Bukti Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN) untuk pejabat eselon IV;

  • Bukti Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi pejabat eselon III dan II.

Baca juga artikel terkait NEW TIMELESS atau tulisan lainnya dari Fadli Nasrudin

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Fadli Nasrudin
Editor: Iswara N Raditya