tirto.id - Seperti melihat sebuah anomali, DPR RI belakangan terkesan bekerja “benar” dengan menggenjot Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA. Salah satu poin yang menjadi titik panas pembahasan RUU tersebut adalah cuti melahirkan selama 6 bulan.
Terlepas dari politik pencitraan menuju 2024, inisiatif memperpanjang cuti melahirkan di Indonesia perlu mendapat apresiasi. Selama ini, berdasarkan UU Ketenagakerjaan No.13/2003, pekerja perempuan memperoleh cuti 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Angka ini masih lebih rendah dibanding rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (ILO), yakni 14 minggu.
Usulan untuk memperpanjang cuti melahirkan itu bukan tanpa hambatan. Kita tentu bisa menebak rintangan datang dari kubu yang mana. Ya, tentu pengusaha. Jika DPR pada akhirnya mengetok palu atas RUU ini, hitung-hitungan untung-rugi di kepala para pengusaha tentu jomplang di neraca laba.
Bayangkan mereka harus membuang gaji selama setengah tahun tak hanya bagi satu pekerja perempuan yang cuti, tapi dua pekerja jika beban pekerjaannya harus dialihkan ke pekerja sementara. Itu belum dikali jumlah pekerja perempuan di perusahaan mereka. Pada akhirnya, pengusaha boleh jadi enggan merekrut pekerja perempuan usia subur.
Namun, benarkah prediksi kerugian itu demikian adanya, atau hitung-hitungan rugi tersebut hanya ketakutan para kapitalis belaka?
Mari kita telaah lewat negara-negara yang sudah lebih dulu menerapkan cuti melahirkan sesuai anjuran ILO. Ada lebih dari 120 negara yang memberikan cuti hamil berbayar. Negara-negara dengan durasi cuti hamil berbayar paling lama antara lain Republik Ceko (28 minggu), Hungaria (24 minggu), Italia (5 bulan), Kanada (17 minggu), serta Spanyol dan Rumania (masing-masing 16 minggu).
Sebuah penelitian bertajuk “Is Parental Leave Costly for Firms and Coworkers?” (Januari 2020, PDF) menganalisis faktor-faktor ketakutan para pemberi kerja ketika menerapkan jatah panjang cuti melahirkan. Peneliti mengambil Denmark yang menerapkan cuti hamil 18 minggu sebagai contoh.
Penelitian ini menggunakan data administrasi dari perusahaan dan pekerja di Denmark pada periode 2001-2013. Hasilnya menunjukkan bahwa cuti melahirkan tak berdampak negatif pada output perusahaan, laba kotor, penutupan, atau kenaikan hari sakit pada pekerja yang lain.
“Peningkatan beban biaya tambahan sangat minimal. Ketika ada 1 persen pekerja yang melahirkan dan cuti, jam kerja rekan lainnya meningkat, Namun, itu hanya sebesar 0,10 persen pada tahun kejadian.”
Perusahaan biasanya akan mengambil pekerja sementara atau menaikkan jam kerja pada pekerja lain. Namun, tidak ada peningkatan signifikan terhadap total tagihan upah atau penurunan kinerja perusahaan.
Sederet Alasan Memperpanjang Masa Cuti Melahirkan
Perempuan pekerja di era kiwari bukan cuma sebagai “pelengkap” finansial keluarga. Mereka juga penggerak ekonomi negara. Perempuan menanggung sekitar 30 persen pendapatan utama dari seluruh rumah tangga di dunia. Di Eropa, 59 persen perempuan pekerja berkontribusi menanggung lebih dari setengah pendapatan rumah tangga mereka.
Di Amerika Serikat, angkanya sedikit lebih rendah, tapi tetap saja mereka mengambil porsi tinggi, yakni sekitar 55 persen. Hal semacam itu bukan hanya terjadi di negara-negara maju, tapi juga di negara berkembang. Di India, misalnya, diperkirakan terdapat 60 juta orang tinggal di rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan.
“… 80 persen dari semua perempuan di negara industri dan 70 persen secara global bekerja di luar rumah selama masa subur mereka,” demikian tulis ILO.
Masa cuti melahirkan di Indonesia selama ini (dengan skema 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan paska kelahiran) hanya memfasilitasi 25 persen kehadiran ASI ekslusif dari ibu selama 6 bulan. Padahal, American Academy of Pediatrics (AAP) baru-baru ini mengeluarkan rekomendasi kebijakan baru terkait menyusui, yaitu menyusui selama dua tahun atau lebih.
Jangankan dua tahun, target pemberian ASI ekslusif selama enam bulan saja belum tuntas di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan mengungkap bahwa pemberian ASI ekslusif pada tahun 2021 hanya mencapai 71,6 persen. Kondisi ini kemudian menjadi faktor penyebab dari beragam beban ekonomi dan kesehatan negara.
Menurut laporan Asian Development Bank (2020), Indonesia saat ini berada di peringkat kedua dalam jumlah kejadian stunting balita di Asia Tenggara. Negara ini juga menanggung biaya ekonomi tinggi (sekitar USD1,5-9,4 miliar per tahun—tertinggi di ASEAN) akibat angka cakupan menyusui yang rendah.
Biaya ini merupakan beban yang dikeluarkan terhadap berbagai penyakit yang dipicu rendahnya angka menyusui, seperti diare, stunting, berbagai infeksi saluran pernapasan, gizi buruk/gizi kurang, serta tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Jika mau menimbang dengan bijak, memperpanjang durasi cuti melahirkan artinya akan memperpanjang pula waktu menyusui ekslusif sehingga bayi lebih sehat dan sejahtera. Implikasinya tak cuma ke negara, bagi perusahaan pun sebenarnya juga menerima dampak positif. Jika bayi sehat atau jarang sakit, ibu sebagai pekerja perempuan pun akan lebih produktif dan absensi karyawan berkurang.
Seperti kata Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) di salah satu kanal media sosialnya, perusahaan pun bisa menekan biaya-biaya yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, mempertahankan karyawan berprestasi, serta meningkatkan citra positif sebagai daya saing rekrutmen tenaga kerja.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi