tirto.id - Pada 28 Mei 2014, dua jam sebelum matahari terbenam, 10 orang bersenjatakan senapan dan parang yang menumpang sebuah kapal cepat secepat kilat, melompat ke geladak kapal tanker Orapin 4 yang memuat bahan bakar dalam jumlah besar dan sedang berada di perairan antara Singapura dan Pontianak. Mereka langsung mencari awak kapal, menyekapnya di dek bawah dan menonaktifkan sistem komunikasi.
Sepuluh kawanan bersenjata yang ternyata adalah komplotan bajak laut ini menghapus huruf pertama dan terakhir “Orapin” di buritan kapal, sehingga terbaca “rapi” —sebuah usaha untuk membuat tanda pengenal baru di kapal.
Dalam waktu 10 jam sejak aksi pembajakan, para kawanan perompak berhasil menyedot lebih dari 3.700 metrik ton bahan bakar dan memindahkannya ke kapal kedua. Banyaknya minyak yang berhasil dicuri ini membuat insiden Orapin 4 jadi buah bibir.
Ketika gagal menghubungi para awak kapal, pihak perusahaan pemilik kapal Orapin 4 asal Thailand segera melapor bahwa kapal tersebut telah hilang. Peringatan radio segera dikirim keluar meminta kapal lain untuk mengawasi keberadaan Orapin 4. Tetapi tidak ada yang melapor telah melihat kapal tersebut.
Empat hari setelah serangan tersebut, Orapin 4 akhirnya masuk ke pelabuhan asalnya di Sri Racha, Thailand. Sebanyak 14 anggota awak kapal selamat, tetapi tidak muatan bahan bakarnya. Nilai kerugian akibat pencurian minyak menyentuh 1,9 juta dolar.
Perusahaan Thailand pemilik kapal Orapin 4 sudah empat kali mengalami serangan perompak. Serangan pertama terjadi pada Agustus 2013, disusul dua serangan pada Oktober 2013 dan terakhir pada terakhir Mei 2014. Sebelumnya pada 17 April 2014, sebanyak 16 kawanan bajak laut berhasil menyedot 450 metrik ton minyak dari kapal Sri Pangnga dengan modus operandi yang sama.
Banyak pihak menyangka bajak laut hanya beroperasi di Somalia. Namun, kenyataannya justru 41% aktivitas serangan bajak laut dunia antara 1995 sampai 2013 terjadi di Asia Tenggara. Somalia yang berada di Laut Hindia Barat saja hanya menyumpang 28% aktivitas bajak laut dunia, sementara pantai Afrika Barat 18%.
Baca juga: Kekeringan dan Kelaparan Parah di Somalia
Sepanjang rentang tahun 18 tahun itu, 136 orang pelaut tewas setelah bajak laut menyatroni kapal. Jumlah tersebut dua kali lipat dari korban tewas di wilayah perairan Tanduk Afrika, sarang operasi bajak laut Somalia.
Orapin 4 disatroni perompak di wilayah Selat Malaka dan Singapura, yang telah ribuan tahun menjadi jalur lalu lintas dagang kapal-kapal dari berbagai negara.
Kini tiap tahunnya wilayah perairan ini dilintasi lebih dari 120.000 kapal. Jumlah ini sudah mencakup sepertiga dari perdagangan laut dunia. Antara 70 – 80% minyak yang diimpor oleh Cina dan Jepang turut transit di selat ini.
Meski pembajakan Orapin 4 sudah tiga tahun lewat, tetapi secara keseluruhan aksi kejahatan di perairan Asia masih tak banyak berubah. Menurut data rilisan Oceans Beyond Piracy (OCB), selama 2016 terdapat 129 laporan insiden pembajakan laut yang menyebabkan gangguan terhadap 2.283 pelayaran. Kerugian materi mencapai 4.5 juta dollar. Jumlah laporan insiden bajak laut di Asia pada 2016 adalah yang tertinggi di dunia. Sebanyak 95 insiden terjadi di Afrika Barat, 27 di Afrika Timur, 27 di Amerika Latin & Karibia.
Cakupan penelitian OCB terhadap Asia meliputi dari pantai timur India hingga Laut Banda di Indonesia. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa pada tahun 2016 tren perampokan di kapal kargo menurun. OCB hanya menerima 3 laporan insiden, jika dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 12 insiden perampokan kapal kargo. Patroli gabungan dan pengawasan bersama dari para negara-negara pesisir disinyalir ikut menekan angka perampokan di kapal kargo.
Sementara tren pencurian di kapal kargo menurun, aksi penculikan dan penyanderaan justru meningkat. Sebanyak 185 pelaut diculik, 67 pelaut serta nelayan disandera. Dua pelaut dibunuh oleh para penyandera. Salah satunya adalah Jurgen Kantner, warga negara Jerman yang video pemenggalannya beredar di dunia maya. Empat korban lainnya tewas saat insiden serangan bajak laut.
Baca juga: Legenda Bajak Laut Berlanjut
Wilayah Laut Sulu dan Sulawesi yang juga merupakan jalur padat menjadi daerah paling menakutkan dengan ancaman penculikan dan penyanderaan yang kerap terjadi. Membentang dari wilayah Sulu di Filipina selatan dan negara bagian Sabah di Malaysia timur, perairan ini dilintasi lebih dari 13.000 kapal per tahun.
Para pembajak menculik awak kapal yang dianggap senior dan penting, lalu membawanya ke daratan. Negosiasi tebusan dilakukan sebagai syarat keselamatan nyawa korban yang disandera. Sebelum bantuan pihak keamanan tiba, umumnya sandera sudah lepas dari tangan perompak karena mahar tebusan sudah dipenuhi. Belakangan, aksi ini dikaitkan dengan aktivitas kelompok bersenjata di Filipina selatan.
Para pelaut yang melintasi jalur perairan tersebut harus menanggung resiko serangan kelompok organisasi teroris seperti Abu Sayyaf yang berbasis di pulau Jolo dan Basilan selatan. Dengan reputasi sebagai geng penculik dan peminta tebusan, kini mereka menjadi lebih berani untuk menyerang setelah menyatakan kesetiaannya kepada ISIS.
Baca juga: WNI yang Bertempur di Marawi
"Pada awal 2016 mereka menargetkan kapal penangkap ikan dan kapal tunda, namun sejak November lalu telah menargetkan kapal komersial besar seperti bulkers dan containerships," ujar Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robberies against Ships in Asia (ReCAAP) tentang taktik perubahan kelompok ekstremis tersebut.
Kondisi mengerikan seperti ini memicu tindakan kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara. Seperti dilaporkan oleh Asia Times, Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memulai patroli bersama untuk mempersempit ruang gerak para bajak laut yang selama ini meneror kapal-kapal di perairan wilayah Sibutu, Filipina.
Laporan yang dirilis oleh ReCAAP untuk bulan Juli 2017 memang tidak menunjukkan adanya aktivitas penculikan dan penyanderaan di wilayah Laut Sulu dan Sulawesi sejak terakhir terjadi pada bulan Maret 2017 kemarin. Hanya ada dua insiden perampokan bersenjata di daerah South Harbour Filipina. Dibandingkan dengan Juli 2016, terdapat lima insiden.
Baca juga: Mereka Yang Memburu Harta di Dasar Laut
Namun demikian, data ini dinamis, mengingat tidak ada jaminan aksi kejahatan para perompak bakal berhenti. Seperti yang terjadi pada 10 Agustus 2017 lalu, sebuah kapal penumpang disatroni dua pembajak laut di daerah Pulau Nipah, Indonesia. Sepuluh hari berselang, sebuah kapal kontainer pengumpan Jerman dilaporkan diserang di dekat Filipina.
Neil Thompson analis geostrategi dan konsultan bisnis Wikistrat berpendapat bahwa kesuksesan upaya memberangus aksi pembajakan di masa mendatang sebagian bergantung pada hasil pengentasan pelanggaran hukum yang merajalela di Filipina selatan. Keributan disertai kekacauan bersenjata di daerah Filipina selatan itu diyakini turut menyumbang tingkat penculikan dan perampokan di wilayah Laut Sulu dan Sulawesi.
Baca juga: Jejak Tragis Sang Nakhoda R.E. Martadinata
Aksi kejahatan laut di perairan Asia khususnya Asia Tenggara jelas membawa dampak buruk bagi perekonomian di Asia Tenggara dan reputasi keamanan lautnya. Hanya komitmen kuat patroli bersenjata lintas negara Asia Tenggara yang dapat memberi tekanan lebih dalam untuk mempersempit ruang gerak para perompak laut ini.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf