tirto.id - Sesar Lembang merupakan salah satu sesar aktif di Jawa Barat. Lokasi jalur sesar ini terletak sekitar 10 km arah utara Kota Bandung dengan panjang sesar sekitar 25-30 km, berarah barat-timur.
Hasil kajian para ahli menunjukkan bahwa sesar aktif ini memiliki magnitudo tertarget 6,8. Mengenai kapan gempa kuat akan terjadi, tidak seorang pun ada yang tahu. Keaktifan sesar ini diindikasikan dengan adanya aktivitas gempa-gempa kecil yang masih terjadi di sepanjang jalur Sesar Lembang.
Pada 28 Agustus 2011, terjadi gempa dengan magnitudo 3,3 dengan kedalaman yang sangat dangkal hingga mengakibatkan dampak signifikan, merusak 384 rumah warga di Kampung Muril, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Gempa dirasakan juga pernah terjadi pada 14 dan 18 Mei 2017 dengan magnitudo 2,8 and 2,9 yang dampaknya dirasakan dalam skala intensitas II-III MMI, tetapi tidak menimbulkan kerusakan.
Upaya monitoring Sesar Lembang oleh BMKG sudah dilakukan sejak lama. Pada 1 Januari 1963 BMKG mulai memasang dan mengoperasikan Seismograph WWSSN (World Wide Standardized Seismograph Network) pertama kali di Lembang. Jenis seismograf ini adalah Benioff Short Period 3 Komponen dan Sprengneter Long Period 3 Komponen.
Selain untuk memonitor gempa di wilayah Indonesia, seismograf ini juga dapat memonitor aktivitas Sesar Lambang.
Aktivitas gempa di jalur Sesar Lembang sejak 2008 mulai dapat dimonitor secara lebih baik. Hal ini karena BMKG mulai mengoperasikan jaringan monitoring gempa digital (digital seismic network) menggunakan sensor gempa dengan kawasan frekuensi lebar (broadband).
Sebelum 2008, bukan berarti Sesar Lembang tidak terdapat aktivitas gempa. Jarangnya aktivitas gempa saat itu disebabkan karena sensor gempa belum sebanyak seperti sekarang, sehingga beberapa aktivitas gempa lokal dengan magnitudo kecil tidak terekam dengan baik.
Sementara itu, progres monitoring dan kajian gempa di Sesar Lembang kini sudah semakin maju. Berdasarkan penelitian Supendi dkk. (2018) yang dipublikasikan di Jurnal Geoscience Letters, dengan menggunakan jaringan sensor gempa regional milik BMKG, selama periode 2009-2015, telah mengidentifikasi 4 kejadian gempa di sepanjang jalur Sesar Lembang, hasil mekanisme sumbernya menunjukkan sesar geser mengiri (left-lateral faulting).
Selain itu, penelitian Nugraha dan Supendi (2018) yang dipublikasikan di Journal of Physics juga menunjukkan adanya 2 kejadian gempa pada 14 dan 18 Mei 2017 yang terjadi di sesar Lembang, keduanya juga memiliki mekanisme sesar geser mengiri.
Penelitian yang dilakukan Afnimar dkk. (2015) juga menunjukkan adanya aktivitas gempa di jalur Sesar Lembang. Penelitian tersebut menggunakan data seismik yang terekam oleh 4 stasiun seismik temporer milik BMKG selama periode Mei 2010 hingga Desember 2011 yang berhasil mencatat sebanyak 9 kali gempa di Sesar Lembang.
Pada 2019, BMKG kembali memasang sebanyak 16 sensor seismik periode pendek (short period seismograph) secara lebih rapat untuk melengkapi 19 seismograf broadband yang sudah terpasang sebelumnya di Jawa Barat dan Banten.
Sensor gempa yang baru dipasang 2019 ini sengaja dipasang “mengepung” jalur Sesar Lembang, Cimandiri, dan Baribis. Instalasi sensor baru ini bukan saja untuk tujuan operasional tetapi untuk tujuan kajian sesar aktif. Keberadaan sensor gempa yang makin rapat ini diharapkan dapat memonitor aktivitas sesar aktif di Jawa Barat secara lebih akurat.
Data hasil monitoring gempa di Sesar Lembang ini sangat penting untuk mengetahui tingkat keaktifan gempa, distribusi zona aktif gempa, mekanisme sumber gempa, studi strukur bawah permukaan bumi melalui teknik tomografi dan lain-lain.
Upaya ini dalam arti luas merupakan bagian dari meningkatkan pelayanan mitigasi gempa bumi di wilayah jalur Sesar Lembang khususnya dan di Jawa Barat pada umumnya.
Editor: Iswara N Raditya