tirto.id - Pemerintah telah mencabut tiga Ketetapan MPR atau TAP MPR untuk memulihkan nama baik mantan-mantan presiden Indonesia. Tiga TAP MPR yang dicabut memuat nama Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pencabutan tiga TAP MPR terkait Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur, dilakukan pemerintah secara bertahap sepanjang September 2024. Ketua MPR Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), menyebut TAP MPR tersebut dicabut agar tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang harus memperoleh hukuman, tanpa proses penegakan yang adil.
“Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu dan terlibat pada berbagai peristiwa kelam pada masa lalu,” ujar Bamsoet pasca Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan 2019-2024, di Kompleks Parlemen, Rabu (25/9/2024), seperti yang dikutip dari Antara.
Seiring dengan pencabutan TAP MPR ini, Bamsoet mengusulkan untuk menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Gus Dur. Bamsoet menilai keduanya berhak mendapat gelar pahlawan atas jasa serta pengabdian mereka selama memimpin Indonesia.
Isi Tap MPR Soekarno, Soeharto, dan Gusdur yang Dicabut
TAP MPR Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur yang resmi dicabut mengandung pasal yang menuduh ketiganya melakukan pelanggaran. TAP MPR terkait tuduhan pelanggaran Soekarno yang dicabut adalah TAP MPR No. 33 Tahun 1967.
Lalu, TAP MPR terkait tuduhan kepada Soeharto yang dicabut adalah TAP MPR No. 11 Tahun 1998. Sementara itu, TAP MPR terkait tuduhan kepada Gus Dur yang dicabut adalah TAP MPR No. 2 Tahun 2001.
Berikut isi TAP MPR Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur yang dicabut pemerintah dalam rangka memperbaiki nama baik ketiga mantan presiden RI:
1. Isi TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967 tentang Soekarno
TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 adalah ketetapan MPR yang memuat pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno. Melalui ketetapan ini, MPR memutuskan bahwa Soekarno diduga tak bisa memenuhi tanggung jawab konstitusional.
Soekarno juga dituduh memberikan perlindungan kepada para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam sejarah Indonesia, peristiwa yang melibatkan partai masa lalu ini terbilang cukup negatif di mata masyarakat.
Tuduhan itu tercantum dalam tujuh pasal dalam TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967, yaitu:
Pasal 1
Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan-jawab konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 2
Menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 4
Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.
Pasal 5
Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).
Pasal 6
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.
Pasal 7
Ketetapan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan dan mempunyai daya laku surut mulai pada tanggal 22 Pebruari 1967.
2. Isi TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Soeharto
Soeharto mendapat tuduhan pelanggaran hukum lewat TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pelanggaran yang dituduhkan kepada Soeharto tercantum dalam 4 pasal TAP MPR tersebut, yang isinya sebagai berikut:
Pasal 1
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia berketetapan untuk
memfungsikan secara proporsional dan benar Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Kepresidenan dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, sehingga penyelenggaraan negara berlangsung sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945.
Pasal 2
- Penyelenggara negara pada Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara.
- Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pasal 3
- Untuk menghindarkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
- Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
- Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.
Pasal 4
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan ini diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
Pasal 6
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3. Isi TAP MPR Nomor 2 Tahun 2001 tentang Gus Dur
Isi TAP MPR Nomor II/MPR/2001 memuat pasal yang menyebut Gus Dur telah meanggar haluan negara. Presiden ke-4 RI ini dituduh menolak bertanggung jawab dalam Sidang MPR RI Tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001.
Berikut isi pasal-pasal dalam TAP MPR Nomor 2 Tahun 2001 yang memuat tuduhan pelanggaran Gus Dur:
Pasal 1
Ketidakhadiran dan penolakan Presiden Republik Indonesia K.H.
Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001, sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
Pasal 2
Memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
Pasal 3
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yonada Nancy & Dipna Videlia Putsanra