Menuju konten utama

Anomali Data Angkatan Kerja BPS dan Lonjakan Pekerja Informal

Data Sakernas BPS dinilai meragukan imbas penurunan signifikan pada penambahan angkatan kerja.

Anomali Data Angkatan Kerja BPS dan Lonjakan Pekerja Informal
Penjaga stan perusahaan memberikan informasi kepada pencari kerja saat bursa kerja bertajuk Grand Career Exhibition di Gedung Muladi Dome Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/6/2025). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/nym.

tirto.id - Data ketenagakerjaan Indonesia per Agustus 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memantik keraguan ekonom. Sejumlah indikator—mulai dari penambahan angkatan kerja, penurunan jumlah pengangguran, hingga ketidaksesuaian antara serapan tenaga kerja versi BPS dan BKPM—mulai dipertanyakan laiknya rilis pertumbuhan ekonomi triwulan II lalu.

Dalam taklimat bersama media, BPS mengumumkan bahwa jumlah angkatan kerja, yakni mereka yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan, mencapai 154 juta orang. Sementara itu, 64,17 juta orang termasuk dalam kategori bukan angkatan kerja (BAK) seperti pelajar, ibu rumah tangga, dan kelompok lain di luar pasar kerja. Dari total angkatan kerja tersebut, 146,54 juta orang tercatat bekerja, sedangkan 7,46 juta orang dikategorikan sebagai penganggur.

Menurut Ahmad Heri Firdaus, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), tambahan angkatan baru yang hanya sebesar 1,89 juta orang—dibanding 4,4 juta pada Agustus 2024—itu tak lazim. Sebab, biasanya, angkatan kerja kita tiap tahun bisa mengalami kenaikan antara 3 hingga 4 juta orang. Terlebih, penduduk usia kerja Indonesia naik 2,8 juta menjadi 218,17 juta orang dibandingkan Februari 2025.

“Ini menjadi pertanyaan besar: ke mana lulusan-lulusan baru yang seharusnya masuk angkatan kerja? Penduduk usia kerja juga meningkat, tapi pertumbuhan angkatan kerjanya justru melambat,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Tanggapan atas Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III-2025” yang digelar INDEF, Kamis (6/11/2025).

Tak hanya data angkatan kerja, penambahan tenaga kerja sebanyak 1,9 juta orang juga memicu keraguan. Sebab, jumlah tersebut tidak sepadan dengan rilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada pertengahan Oktober lalu. Dalam laporan realisasi investasi kuartal III 2025, tutur Ahmad, BKPM menyebut bahwa sepanjang Januari–September 2025, proyek-proyek investasi telah menyerap 1,95 juta tenaga kerja baru.

“Angka ini tentu saja berasal dari sektor-sektor yang tercatat di BKPM, karena tidak semua investasi di Indonesia tercatat di sana,” jelas Heri. “Tapi kalau dibandingkan, penyerapan tenaga kerja menurut BKPM justru sedikit lebih tinggi daripada angka peningkatan penduduk bekerja versi BPS,” imbuhnya.

Perbedaan data antara dua lembaga negara itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai konsistensi metodologi dan pencatatan. BPS menghitung tenaga kerja berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang berbasis rumah tangga, sementara BKPM bersumber dari laporan perusahaan penerima izin investasi.

Hemat Heri, angka serapan tenaga kerja dari BKPM seharusnya lebih kecil, sebab cakupan datanya terbatas pada investasi yang tercatat secara resmi. Adapun berdasarkan data BPS, penambahan 1,9 juta tenaga kerja terdiri atas 200 ribu pekerja penuh, 1,66 juta pekerja paruh waktu, dan 40 ribu pekerja setengah pengangguran.

“Jadi, ada ketidaksinkronan antara data BKPM dan BPS. Menurut saya, di sini ada anomali besar dalam rilis ketenagakerjaan Agustus 2025—entah ada yang belum tercatat, atau mungkin ada kesalahan pencatatan,” kata Heri.

Di luar persoalan sinkronisasi data, struktur ketenagakerjaan Indonesia per Agustus 2025 juga dinilai mengkhawatirkan. Pasalnya, kenaikan serapan tenaga kerja terbesar justru terjadi pada kelompok pekerja paruh waktu, yang bertambah 1,66 juta orang, jauh melampaui pertumbuhan pekerja penuh yang hanya sekitar 200 ribu orang.

Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran lapangan kerja dari sektor formal ke pekerjaan informal, di mana jam kerja lebih sedikit dan tingkat perlindungan sosial rendah. Dengan kata lain, kenaikan jumlah tenaga kerja sebesar 1,9 juta orang tidak sepenuhnya mencerminkan perbaikan kualitas kerja.

Dalam beberapa tahun terakhir, proporsi pekerja informal memang masih mendominasi. Data BPS sebelumnya mencatat sekitar 58 persen pekerja di Indonesia berada di sektor informal—meliputi usaha mikro, pedagang kecil, hingga buruh lepas—sementara pekerja formal hanya sekitar 42 persen.

“Kalau data ini benar, dengan asumsi produktivitas tenaga kerja masih sama seperti tahun sebelumnya, maka ada ancaman penurunan output,” ujar Heri.

“Dulu, dengan tambahan 3-4 juta pekerja, output-nya sekian. Sekarang tambahan pekerjanya tinggal separuhnya. Artinya, output bisa menurun di periode berikutnya, kecuali produktivitas tenaga kerja meningkat dua kali lipat. Tapi rasanya hal itu belum terjadi dalam setahun terakhir,” imbuhnya.

Pun demikian, bagi Heri, anomali dalam data angkatan kerja hanya satu dari banyak persoalan struktural yang dihadapi ekonomi Indonesia. Padahal, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, ia menilai pemerintah harus membenahi berbagai dimensi yang saling terkait, mulai dari stabilitas politik dan makroekonomi, perizinan, regulasi, infrastruktur, hingga kualitas kelembagaan.

“Dalam berbagai dimensi, kita masih belum beres. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, seluruh dimensi tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu,” tuturnya.

Kecemasan serupa juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Dalam acara Investortrust Economic Outlook 2026 di Jakarta, Rabu (5/11/2025), ia mengungkapkan bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam penciptaan lapangan kerja formal.

Menurut Shinta, kondisi ini disebabkan oleh fenomena deindustrialisasi prematur, di mana investasi kini lebih banyak mengalir ke sektor padat modal dan jasa, alih-alih ke sektor padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Situasi tersebut, kata dia, berpotensi menggerus peluang Indonesia memanfaatkan bonus demografi, bahkan dapat berubah menjadi beban ekonomi.

"Ada premature deindustrialization. Kenapa? Karena kontribusi manufaktur terhadap PDB itu terus menurun. Dan ini yang saya rasa kita lihat selama satu dekade terakhir, 9 dari 15 subsektor manufaktur itu justru menyusut," ujarnya.

Tak hanya di kuartal III 2025, kata Shinta, gejala ini sudah tampak pada data kuartal-kuartal sebelumnya—di mana sektor jasa tumbuh pesat di atas 8 persen, sementara sektor padat karya seperti tekstil hanya tumbuh 4,3 persen dan furniture bahkan mengalami kontraksi.

Pola investasi pun mengikuti tren ini dengan konsentrasi tertinggi pada mesin dan peralatan sebesar 28,8 persen serta pertambangan 10 persen. "Nah, sektor manufaktur ini kan penyerap tenaga kerja terbesar ya, 61 persen. Itu untuk formal ya, saya gak bilang informal. Nah, jauh lebih tinggi dibandingkan pertanian cuma 12 persen atau akomodasi dan makanan itu cuma 29 persen," ujarnya.

Dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja sangat terasa. Dia menyebut, 10 tahun lalu investasi Rp1 triliun berkontribusi pada penyerapan 4.000 tenaga kerja, saat ini hanya seribuan. "Kalau kita lihat dari investasi yang masuk, itu 10 tahun terakhir dari Rp1 triliun investasi, sekarang penyerapan tenaga kerjanya itu sudah turun hampir seperempatnya. Tadinya Rp1 triliun bisa menyerap 4 ribuan, sekarang Rp1 triliun cuma 1.200an,” jelasnya.

Akibatnya, terjadi lonjakan pekerja informal yang kini mencapai 60 persen tenaga kerja Indonesia. “Makanya masalah kita ini sebenarnya bukan di bekerjanya saja, tapi jenis pekerjaannya. Karena kita sekarang sudah masuk yang besarnya itu 60 persen di industri, di informal," tandas Shinta.

Yang Muda yang Menganggur

Parahnya lagi, 67 persen pengangguran berasal dari Generasi Z. Data BPS menunjukkan persaingan memperebutkan lowongan kerja semakin ketat, di mana satu lowongan kini diperebutkan oleh 16 pencari kerja, jauh meningkat dari sebelumnya yang hanya 2 orang.

Ini dikonfirmasi oleh data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) BPS per Agustus 2025, di mana penduduk kelompok umur muda (15–24 tahun) berada di posisi tertinggi, yaitu mencapai 16,89 persen. Sementara itu, TPT penduduk kelompok umur tua (60 tahun ke atas) merupakan yang paling rendah, yaitu sebesar 1,71 persen. TPT menurut kelompok umur tersebut, menurut BPS, memiliki pola yang sama sejak Agustus 2023.

"Makanya kita selalu menggaungkan sekarang itu kalau demografi, bonus demografi ini bisa menjadi liability. Kenapa? Karena masalahnya kita gak bisa cukup menyiapkan lapangan kerja formal," ucapn Shinta.

Untuk dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar, menurut Shinta perlu menarik investasi yang lebih banyak, sembari membenahi industri padat karya nasional yang sedang terseok-seok. Perkaranya jelas: selama ini, sebagian besar investasi mengalir ke sektor yang padat teknologi atau infrastruktur, di mana kontribusi terhadap serapan tenaga kerja relatif kecil.

“Bagaimana kita bisa menciptakan lebih banyak di formal? Nah, tadi dikatakan investasi, ya betul investasi memang harus lebih banyak masuk,” tuturnya.

Dari sisi pemerintah, angka TPT yang dirilis BPS juga menjadi perhatian Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Pasalnya, secara keseluruhan, TPT Agustus 2025 sebesar 4,85 persen mengalami kenaikan dibandingkan 4,76 persen padan Februari 2025.

Meski demikian, menurutnya, hal tersebut tak lepas dari faktor musim panen yang berlangsung pada Februari telah berakhir, serta peningkatan jumlah angkatan kerja baru yang lebih besar pada Agustus.

Adapun secara keseluruhan, momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia telah berdampak pada penciptaan lapangan kerja sebesar 1,9 juta orang. Ini terlihat dari jumlah pengangguran yang turun 4 ribu orang menjadi 7,46 juta dibandingkan Agustus 2025. Adapun jika dibandingkan Agustus 2024, angka TPT turun dari 4,91 persen di Agustus 2024.

"Ke depan, Pemerintah terus mendorong agar mesin pertumbuhan ekonomi berjalan lebih cepat. Kebijakan fiskal, sektor keuangan, dan iklim investasi yang sehat akan terus disinergikan untuk menciptakan pertumbuhan tinggi. Tidak hanya tinggi, namun juga stabil dan dapat menciptakan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan," jelas Purbaya.

Baca juga artikel terkait BADAN PUSAT STATISTIK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria & Qonita Azzahra
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana