tirto.id - Ketentuan pesangon dan pensiun sebagai objek pajak penghasilan dengan tarif progresif digugat ke Mahkamah Konstitusi. Beleid yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu dinilai telah menggerus hak ekonomi rakyat kecil yang seharusnya dilindungi negara.
Mengutip laman Tracking Perkara di situs resmi MK, gugatan ini teregistrasi dengan Nomor Perkara 186/PUU-XXIII/2025. Permohonan uji materi itu diajukan pada 9 Oktober 2025 oleh sepuluh pemohon, antara lain Aldha Reza Rizkiansyah, Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, dan Cahya Kurniawan.
Berkas permohonan telah diterima dan diregistrasi pada 10 Oktober 2025, serta disampaikan kepada DPR, Presiden, DPD, MPR, dan Mahkamah Agung pada 13 Oktober 2025. Jika tak ada aral melintang, sidang pendahuluan dijadwalkan pada 20 Oktober 2025 pukul 15.00 WIB.
Dalam gugatannya, para pemohon memfokuskan uji materi pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 17 UU HPP Tahun 2021 terkait pesangon dan pensiun sebagai objek pajak penghasilan dengan tarif progresif.
Para pemohon menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja yang telah mengabdi puluhan tahun.
Dalam posita permohonan, pemohon berpendapat bahwa secara normatif, ketentuan itu mengimplikasikan bahwa pesangon dan pensiun—yang seharusnya menjadi hak normatif pekerja setelah masa kerja panjang—diperlakukan sama dengan tambahan penghasilan baru yang lahir dari aktivitas ekonomi.
“Secara filosofis dan sosiologis, pesangon dan pensiun sama sekali tidak dapat disamakan dengan keuntungan usaha atau laba modal, melainkan merupakan bentuk ‘tabungan terakhir’ hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya,” tulis para pemohon dalam berkas permohonan.
Selain telah menggerus hak ekonomi rakyat kecil yang seharusnya dilindungi negara, pemohon juga menilai bahwa pemotongan pajak terhadap pesangon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil, serta Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu.
Menurut pemohon, negara justru “mengambil kembali” sebagian manfaat jaminan sosial ketika mengenakan pajak terhadap pesangon dan pensiun, padahal dana tersebut merupakan hasil potongan dan tabungan selama bertahun-tahun.
“Ketika negara membebani pajak atas pesangon dan pensiun, maka pekerja yang sudah tidak produktif justru ditempatkan sama dengan kelompok produktif. Hal ini mencederai prinsip keadilan sosial-ekonomi,” ujar pemohon.
Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak sejalan dengan asas keadilan substantif sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pajak atas pesangon dianggap sebagai bentuk negara mengambil kembali “hasil jerih payah” rakyat yang telah dikorbankan untuk menopang kehidupan di masa tua.
“Pemungutan pajak atas pesangon dan pensiun sama artinya dengan mengambil bagian hidup terakhir rakyat, memotong sisa-sisa tenaga yang telah habis dikorbankan,” tulis pemohon dalam berkas permohonannya.
Dalam perspektif moral dan sosiologis, lanjut pemohon, kebijakan itu seolah menjadikan negara bukan pelindung rakyat yang lemah, tetapi justru memperberat penderitaan mereka. Para pemohon juga mengutip teori keadilan distributif dari Aristoteles hingga John Rawls, yang menekankan perlindungan bagi kelompok rentan dan menuntut negara untuk tidak memperlakukan pekerja pensiunan seperti pelaku ekonomi produktif.
"Oleh karena itu ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan pasal 17 UU PPH jo UU PPH 2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak hanya melanggar prinsip legalitas dan kepastian hukum, melainkan juga merobek jantung keadilan sosial, serta mengabaikan mandat konstitusional negara untuk melindungi segenap bangsa," tutup para pemohon.
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































