tirto.id - Sejumlah aktivis dari Jogja Corruption Watch (JCW) dan Koalisi Pegiat HAM & Anti Korupsi (KPH Aksi) Yogyakarta melakukan aksi massa agar KPK tidak tebang pilih. Para aktivis ini juga mengirim surat ke komisi antirasuah agar mengusut laporan dugaan gratifikasi yang menyeret putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Aksi massa yang digelar pada Senin (2/9/2024) ini diawali dengan massa berkumpul di sekitar Tugu Pal Putih Yogyakarta. Beberapa aktivis membawa rontek bertuliskan desakan agar KPK mengusut dugaan gratifikasi yang menyeret anak dan menantu presiden.
Koordinator Pengaduan Masyarakat dan Monitoring Peradilan JCW, Baharuddin Kamba, mengatakan, aksi jalan mundur ini sebagai simbol mundurnya KPK sebagai lembaga antirasuah. Kamba tahu dari pemberitaan, KPK mengirim utusan ke Kaesang Pangarep, dalam dugaan gratifikasi jet pribadi.
“Harapannya KPK punya nyali untuk memanggil, jangan utusan. KPK mengirim utusan itu hak istimewa. Bagaimana KPK memanggil ke Gedung Merah Putih,” kata dia kepada wartawan, di lokasi aksi, Senin (2/9/2024).
Oleh sebab itu, melalui surat yang dikirim JCW dan KPH Aksi, Kamba mendesak KPK untuk punya nyali menyeret anak dan mantu Jokowi yang terindikasi melakukan korupsi dan menerima gratifikasi.
“Bila sampai 20 Oktober, KPK tidak memproses hukum, maka kami ingatkan, KPK bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi berganti nama menjadi Komisi Perlindungan Keluarga 'Ratu Iriana', merujuk pada Raja Jawa versi Bahlil,” kata dia.
Kamba juga memaparkan sejumlah kasus korupsi dan gratifikasi yang belakangan menarik perhatian publik. Pertama, kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK), yang dalam fakta persidangan terungkap, kasus pengurusan izin tambang Blok Medan.
Terkait Blok Medan ini, KPK telah memberikan penjelasan. Komisi antirasuah sebut istilah Blok Medan tidak ada dalam penyidikan, melainkan muncul di persidangan. Lebih lengkap bisa dibaca di artikel “KPK Sebut Tak Ada Blok Medan dalam Penyidikan Kasus Abdul Gani.”
Kedua, kasus dugaan gratifikasi berupa jet pribadi yang melibatkan Kaesang Pangarep. Jet ini diduga milik pengusaha asal Singapura. Perusahaan itu diketahui memiliki MoU kerja sama dengan Pemkot Surakarta yang saat itu dipimpin oleh Gibran Rakabuming Raka, kakak kandung Kaesang.
Ketiga, kasus korupsi berupa gratifikasi jet pribadi yang melibatkan Wali Kota Medan, Bobby Nasution.
“Kalau KPK tidak memanggil tapi mengirim utusan, itu merupakan kemunduran KPK sebagai lembaga antirasuah. Kita tahu KPK berani memanggil dan memeriksa pejabat. Harusnya tidak ada keistimewaan bagi keluarga Jokowi untuk KPK memanggil nama-nama yang kami sebutkan,” kata dia.
Respons KPK
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, merespons soal laporan dugaan gratifikasi tersebut. KPK, kata Tessa, akan berhati-hati saat mendalami kasus ini.
Menurut dia, Kaesang sebagai keluarga dari penyelenggara negara bisa melaporkan kepada KPK jika merasa ada benturan kepentingan atau conflict of interes atas jet pribadi yang ia gunakan.
“Jadi bukan wajib ya, catatannya. Bisa melaporkan kalau memang yang bersangkutan merasa 'oh ini saya mendapatkan ini ada conflict of interest’. Bisa melaporkan,” kata Tessa kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK.
Tessa mengatakan, Kaesang tidak memiliki kewajiban untuk melapor pada KPK karena Kaesang bukan seorang penyelenggara negara. Juga, karena keluarga dari penyelenggara negara yang menerima pemberian atau fasilitas tidak wajib melapor ke KPK.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PSI, Raja Juli Antoni, menyatakan bahwa sorotan warganet kepada Kaesang merupakan bagian dari demokrasi. Kendati demikian, ia tidak berkenan berkomentar lebih jauh.
“Saya no comment terhadap itu ya, karena itu urusan personal ya. Saya bukan juru bicaranya Mas Kaesang Pangarep, saya pengurus partai ya," kata Juli di Markas PSI, Minggu (25/8/2024).
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz