Menuju konten utama

Pejabat Hedonis: Benih Korupsi yang Jagal Kemakmuran Rakyat

Hasil penelitian menemukan kaitan erat antara hedonisme, perilaku konsumtif, & korupsi.

Pejabat Hedonis: Benih Korupsi yang Jagal Kemakmuran Rakyat
Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Indonesia membawa poster saat berunjuk rasa di depan Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kanwil III, Malang, Jawa Timur, Selasa (7/3/2023). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/YU

tirto.id - Gaya hidup sejumlah pejabat teras Kementerian Keuangan RI menuai sorotan akhir-akhir ini. Mereka dicap hedonis atau penganut hedonisme, paham yang akrab dengan perilaku korupsi sekaligus alasan mengapa negara kita tak kunjung makmur.

Borok ini muncul lagi dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio (20), anak kandung Rafael Alun Trisambodo yang saat itu menjabat Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II.

Kasus yang bermula dari penganiayaan keji, melebar lantaran Mario diketahui gemar memamerkan berbagai kendaraan mewah ke media social (medsos), mulai dari motor gede (moge) Harley Davidson hingga mobil mewah Jeep Wrangler Rubicon. Dari sinilah petaka datang menghampiri sang ayah, Rafael.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) teranyar, kekayaan Rafael mencapai Rp56,1 miliar. Angka yang terbilang fantastis bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon III. Karena dianggap “doesn't make sense”, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta otoritas dilakukan pemeriksaan.

Kementerian bergerak cepat mencopot Rafael dari kursi jabatan pada Kamis (23/2/2023). Sehari kemudian, yang bersangkutan melayangkan surat pengunduran diri sebagai ASN pada Jumat (24/2/2023). Tapi belakangan kementerian berencana memecatnya usai mengantongi hasil audit investigasi.

Hasil Investigasi Temukan “Rafael Lain”

Usai investagasi, alih-alih reda, perkara justru meluas. Ternyata, Rafael bukan satu-satunya pejabat DJP yang bergaya hidup mewah. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, juga disorot setelah foto-fotonya mengendarai moge beredar.

Sebelum dihapus, momen Suryo mengikuti konvoi sempat diunggah akun medsos BlastingRijder, komunitas moge yang beranggotakan sejumlah ASN di lingkup DJP. Klub ini kemudian dibubarkan Sri Mulyani karena dianggap melanggar azas publik.

“Bahkan apabila moge tersebut diperoleh dan dibeli dengan uang halal dan gaji resmi; mengendarai dan memamerkan moge bagi pejabat/pegawai pajak dan Kemenkeu telah melanggar azas kepatutan dan kepantasan publik. Ini mencederai kepercayaan masyarakat,” tulis Sri Mulyani pada unggahan akun Instagram resminya pada Minggu (26/2/2023).

Bukan cuma DJP, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan juga kecipratan getah gaya hidup oknum pejabatnya.

Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto ikut menjadi buah bibir lantaran foto-foto dirinya dengan aneka kendaraan mewah beredar di medsos. Serupa Rafael, Eko pun dicopot dari jabatan pada Kamis (2/3/2023). Berdasarkan LHKPN 2022, ia memiliki harta senilai Rp6,72 miliar.

Uniknya, meskipun terkesan garang terhadap jajarannya yang hedonis, Sri Mulyani ternyata juga punya moge dan dicantumkan dalam LHKPN. Bedanya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini tidak pernah pamer di medsos. Moge yang dimaksud adalah Honda Rebel CMX500 2019 seharga Rp145 juta.

Dalam program Kick Andy yang disiarkan Metro TV pada Senin (6/3/2023), Sri Mulyani menjelaskan bahwa kendaraan tersebut dibeli oleh Tonny Sumartono yang tak lain suaminya sendiri. Perempuan berusia 60 tahun ini sadar moge identik dengan kemewahan, sehingga ia melarang Tonny mengendarainya.

“Makanya saya bilang sama suami, boleh beli tapi nggak boleh naik,” ujar Sri Mulyani.

Hedonisme Biang Korupsi

Menurut Henk Ten Napel dalamKamus Teologi Inggris-Indonesia (2011), hedonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu ἡδονή hēdonē yang berarti kesenangan, kebahagiaan atau kenikmatan. Beberapa studi menemukan perilaku ini berkaitan erat dengan tindakan korupsi.

Dalam jurnal berjudul Hubungan Konsumtif dan Hedonis Terhadap Intensi Korupsi (2020), Giska Salsabella Nur Afifah menemukan kaitan erat antara tiga hal; hedonisme, perilaku konsumtif, dan korupsi.

Perilaku konsumtif merupakan kecenderungan konsumsi tiada batas, contohnya membeli sesuatu yang berlebihan secara tidak terencana. Sementara itu, hedonisme adalah gaya hidup yang memandang kesenangan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan utama. Perilaku konsumtif atau konsumsi berlebihan menyebabkan hedonism, begitu pula sebaliknya.

Masalahnya, tidak semua penganut hedonisme punya kantong yang benar-benar tebal. Kondisi finansial tak selalu mampu memenuhi keinginan mereka, sehingga pada saat tertentu kerap berujung menghalalkan segala cara. Termasuk melakukan korupsi.

“Perilaku konsumtif juga mempengaruhi para ASN untuk memiliki gaya hidup hedonism,” tulis Giska.

Hasil penelitian Giska tak jauh berbeda dengan temuan Yosefo Gule dalam Studi Teologi-Etis Hubungan Perilaku Korupsi sebagai Dampak Sikap Hidup Hedonis (2021).

Yosefo menyimpulkan bahwa korupsi merupakan dampak gaya hidup hedon yang berawal dari keinginan pribadi. Hedonis tidak kuasa mengontrol hasrat untuk mendapatkan sesuatu.

“Dorongan bermewah-mewah sebagai sikap hedonisme merupakan pemicu perilaku korup para pejabat,” tulis Yosefo.

Perilaku korupsi tersebut acap kali melekat pada instansi pemerintahan, terutama DJP. Bahkan, pada 2017 silam, hasil survei Global Corruption Barometer (GBC) menyebutkan bahwa 45% responden menobatkan DJP sebagai lembaga terkorup keempat di Indonesia.

Penilaian buruk publik terhadap instansi perpajakan bahkan melebihi kepolisian, kementerian dan pengadilan.

Jika dikaji ke belakangan, stigma DJP tak lepas dari ulah sejumlah orang dalam. Pada 2010, publik geger dengan aksi Gayus Halomoan P. Tambunan alias Gayus Tambunan, ASN Golongan IIIA DJP yang memiliki harta mencapai Rp74 miliar.

Kesaktian dompet tebal Gayus tak diragukan lagi setelah mampu berpelesiran ke luar negeri walau berstatus tahanan kasus korupsi. Ia pernah tertangkap kamera saat menonton tenis di Bali dan juga melancong ke Singapura.

Kaum hedonis tidak hanya menjamur di Kementerian Keuangan, cap glamor sudah lebih dulu melekat pada diri sejumlah mantan pejabat publik.

Sebagai contoh adalah kasus penangkapan mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip tahun 2019.

Kala itu petugas menyita uang tunai Rp500 juta, tas Channel seharga Rp97 juta dan tas Balenciaga seharga Rp32 juta. Selain itu juga ada jam tangan Rolex seharga Rp224 juta serta anting dan cincin berlian Adelle yang masing-masing seharga Rp32 juta dan Rp76 juta.

Dalam kasusnya, Sri Wahyumi ketahuan meminta fee berupa barang-barang branded kepada kontraktor pemenang tender proyek. Perempuan berpenampilan modis ini bahkan punya ketentuan tersendiri. Ia hanya mau menerima suap tas mewah yang belum dimiliki oleh satu pun pejabat lain di daerahnya.

Selain Sri Wahyuni, pejabat lainnya termasuk mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, istri mantan Gubernur Bengkulu Lily Martiani Maddari, serta mantan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud.

Tak semua dari mereka gemar pamer di medsos, tapi ujungnya sama-sama berakhir di jeruji besi.

Infografik Pejabat Hedonis

Infografik Pejabat Hedonis. tirto.id/Quita

Tidak sebatas pejabat, gaya hidup mewah juga dilakoni oknum-oknum aparat penegak hukum sampai menarik perhatian Presiden Joko Widodo.

“Saya ingatkan yang namanya Kapolres, yang namanya Kapolda yang namanya seluruh pejabat utama perwira tinggi ngerem total masalah gaya hidup. Jangan gagah-gagahan merasa punya mobil bagus atau motor gede yang bagus. Hati-hati!” ujar Jokowi.

Korupsi Jagal Kemakmuran

Berdasarkan survei Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat 34 poin pada 2022, merosot 4 poin dibanding 2021 sehingga menjadi penurunan paling drastis sejak 1995.

Bersama Bosnia and Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal serta Sierra Leone, negara kita duduk di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. IPK Indonesia terpaut jauh di bawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing ada di peringkat 5 dan 61.

Buruknya persepsi korupsi Indonesia tercermin dari setumpuk kasus tipikor di negeri ini. Sepanjang 2022 saja, KPK telah menggelar 10 kali Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan menetapkan 60 orang tersangka.

Itu masih yang terjaring OTT KPK, belum termasuk para tersangka kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dan kepolisian.

Berdasarkan catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2022 terdapat 579 kasus korupsi. Total jumlah tersangka mencapai 1.366 orang dan potensi kerugian negara tembus Rp42,7 triliun.

Menurut Tri Wahyu Widiastuti dalam jurnal berjudul Korupsi dan Upaya Pemberantasannya (2009), praktik korupsi tidak hanya sebatas merugikan keuangan negara. Tetapi juga merenggut hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Termasuk mengancam kemakmuran. Praktik korup membahayakan bermacam aspek, mulai dari stabilitas, keamanan, sosial, ekonomi hingga politik.

“Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur,” tulis Widiastuti.

Nah, ngomongi kemakmuran, mari ingat kembali ucapan Presiden Jokowi pada periode pertamanya menjabat orang nomor satu di republik ini pada tahun 2017 silam.

"Kemakmuran yang berkeadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah tantangan besar yang kita hadapi. Dan sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, terus kita perjuangkan," ujar Jokowi.

Enam tahun berlalu. Bagaimana realitanya?

Perekonomian Indonesia memang mampu tumbuh 5,31% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2022. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita juga digolongkan tinggi oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada 2021, yaitu senilai 0,705 dan duduk di peringkat 114 dari 191 negara.

Namun faktanya, saat ini, masih ada 26,36 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Pada September 2022, jumlahnya setara 9,57% dari total penduduk.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), orang miskin bertambah 0,20 juta atau 0,03% dibanding Maret 2022. Mereka adalah saudara sebangsa yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp535.547 per kapita per bulan.

Selain hidup melarat, ada pula 8,4 juta penduduk Indonesia yang berstatus pengangguran pada Agustus 2022. Menurut data BPS, jumlahnya tercatat 5,86% dari total angkatan kerja nasional. Pengangguran terbanyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yaitu 2,54 juta orang atau setara 30,12% dari total pengangguran di negara ini.

Kemudian, pendapatan per kapita rata-rata warga Indonesia cuma Rp71,0 juta atau US$4.783,9 per tahun. Dengan kata lain, penghasilan rata-rata warga sekitar Rp5,9 juta per bulan. Meski Produk Domestik Bruto (PDB) konsisten meningkat dalam satu dekade terakhir, tapi nilainya tetap jauh di bawah kategori negara maju.

Rakyat Indonesia belum sepenuhnya Makmur. Pejabat publik dan ASN sepatutnya berperilaku sederhana dan menunjukkan empati, serta tak lupa mengupayakan kesejahteraan masyarakat.

Baca juga artikel terkait DJP atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas