tirto.id - Pertengahan Maret 2017, Persib Bandung mengejutkan publik sepakbola nasional. Bayangkan, Persib sanggup memboyong sosok tenar sekelas Michael Essien, mantan bintang Chelsea, Real Madrid, dan AC Milan asal Ghana itu.
Tim Maung Bandung kemudian melanjutkan kejutannya tak lama setelah mendaratkan Essien. Kali ini eks bomber West Ham United dari Inggris, Carlton Cole, yang didatangkan ke Kota Kembang.
Baca:Persib dan Masalah Baru Bernama Carlton Cole
Gebrakan Persib dengan mengontrak Essien dan Cole disikapi serius oleh PSSI. Federasi sepakbola Indonesia itu langsung merumuskan konsep tentang marquee player. Diputuskanlah setiap klub peserta kompetisi Liga 1 2017 boleh memiliki marquee player dan tidak dihitung sebagai jatah pemain asing.
Segera kemudian klub-klub lain mulai ambil ancang-ancang untuk mengekor langkah Persib Bandung.
Madura United yang pertama turut berburu marquee player. Peter Odemwingie, mantan striker tim nasional Nigeria yang malang-melintang di Liga Primer Inggris, berhasil digaet. Fenomena ini terus berlanjut. Para pengolah bola yang diklaim sebagai marquee player pun berdatangan.
Masalahnya, tidak semua pemain yang digadang-gadang sebagai marquee player ini memenuhi kriteria yang sebelumnya telah dirumuskan oleh PSSI.
Redefinisi Marquee Player versi PSSI
Sebenarnya, apa sih marquee player itu? Kata “marquee” ialah perpaduan “market” (pasar) dan “value” (nilai/harga). Dengan demikian, marquee player boleh saja dimaknai sebagai pemain (sepakbola) dengan harga atau nilai yang tinggi di pasaran, melampaui harga atau nilai normal/standar yang sedang berlaku.
Baca: Mahal, Terkenal, dan Ternyata Gagal
Harga atau nilai ini bisa merujuk banderol atau nilai kontrak si pemain, juga nominal gaji plus pelbagai klausul bonus, dan tentu saja berbanding lurus dengan kualitas. Maka, tidak sembarang pemain sepakbola bisa dikategorikan ke dalam golongan marquee player yang memang seharusnya super istimewa.
Interpretasi istilah marquee player kemudian agak meluas. Salah satu pemaknaannya menyebut marquee player adalah pemain (sepakbola) yang mampu menarik minat besar di luar kebiasaan, baik dalam konteks mendatangkan penonton maupun sponsor. Ini tentu terkait pemasukan klub sebagai efek menghadirkan pemain berstatus marquee player.
Nah, PSSI tampaknya punya rumusan sendiri terkait marquee player ini. Meskipun bermunculan beberapa versi yang berbeda, namun uraian dari pelaksana tugas Sekjen PSSI Joko Driyono sangat bisa untuk dijadikan acuan.
Menurut Joko Driyono, PSSI tidak menilai marquee player semata-mata dari sisi finansial, kendati itu juga penting. Selain bernilai nominal besar, seorang marquee player juga wajib punya kualitas di atas rata-rata pemain asing di Indonesia, apalagi pemain lokal.
Indikator kualitas yang dimaksud PSSI merujuk pada beberapa kriteria. Yang utama, pemain tersebut harus pernah atau masih memperkuat tim nasional negaranya serta sempat bermain di putaran final Piala Dunia.
”Di periode kapan? Di Piala Dunia di tiga seri terakhir,” tegas Joko Driyono.
Joko Driyono menyebut marquee player di Liga 1 2017 harus pernah merumput di kompetisi elite di negara-negara mayor Eropa, seperti Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, Perancis, Belanda, Turki, dan sejenisnya, dalam delapan musim terakhir.
Lantas, apakah para marquee player yang berdatangan ke Indonesia sesuai dengan kriteria PSSI itu?
Marquee Player yang Sebenarnya
Jika dicermati, hanya segelintir pemain asing di Liga 1 yang pantas dikategorikan sebagai marquee player sesuai rumusan PSSI. Michael Essien (Persib Bandung/ Ghana), Peter Odemwingie (Madura United/ Nigeria), Didier Zokora (Semen Padang/ Pantai Gading), dan Shane Smeltz (Borneo FC/ Selandia Baru) masuk kategori itu.
Khusus untuk Essien tak perlu dibahas lagi. Ia jelas memenuhi syarat marquee player ala PSSI. Sedangkan rekan Essien di Persib, Carlton Cole, memang sengaja tidak dimasukkan ke dalam kategori marquee player. Kendati sempat dipanggil ke Timnas Inggris dua kali pada 2010 silam, tetapi ia belum pernah mencicipi Piala Dunia.
Selanjutnya adalah Peter Odemwingie. Ia pernah merumput di Liga Primer Inggris bersama Stoke City, Cardiff City, dan West Bromwich Albion (WBA). Di awal kariernya, ia sempat memperkuat Lille (Liga 1 Perancis) serta raksasa Rusia, Lokomotiv Moskow. Untuk timnas, Odemwingie pernah tampil di Piala Dunia 2014 bareng Nigeria dengan 4 kali penampilan dan 1 gol.
Didier Zokora juga begitu. Eks gelandang Tottenham Hotspur, Sevilla, dan Saint-Etienne ini ikut ke Brasil untuk unjuk gigi di Piala Dunia 2014. Bahkan, Zokora masih menjadi pemain dengan caps terbanyak di tim nasional Pantai Gading. Koleksi 123 caps-nya melampaui nama-nama beken lain macam Kolo dan Yaya Toure atau Didier Drogba.
Adapun Shane Smeltz memang lebih banyak melewatkan kariernya di A-League Australia, meski sempat merumput di klub Liga Super Turki, Genclerbirligi, musim 2010/2011. Namun, striker Selandia Baru ini mampu membobol gawang Italia di putaran final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Selain Essien, Odemwingie, Zokora, dan Smeltz, lalu siapa lagi? Sejauh ini belum ada yang benar-benar sesuai kriteria PSSI. Jika mau disebut yang nyaris memenuhi syarat PSSI, bolehlah menyinggung Mohamed Sissoko (Mitra Kukar/ Mali) dan Juan Pablo Pino (Arema/ Kolombia).
Nama Mohamed “Momo” Sissoko di level klub memang cukup mentereng. Ia pernah berseragam Valencia, Liverpool, Juventus, Fiorentina, Levante, hingga Paris Saint Germain (PSG). Namun, di Timnas Mali ia hanya mentok di babak kualifikasi Piala Dunia, belum sampai ke putaran final.
Nasib serupa juga dialami Juan Pablo Pino. Karier di Eropa bersama AS Monaco, Galatasaray, hingga Olympiakos cukup lama dijalaninya. Tapi untuk level tim nasional, gelandang Kolombia ini cuma main di kualifikasi Piala Dunia, itu pun hanya selama 24 menit saat menghadapi Peru pada 11 Juni 2009.
Marquee Player Abal-abal?
Selain nama-nama itu, tampaknya belum ada lagi pemain asing di Liga 1 2017 yang layak dikategorikan sebagai marquee player sejati, meskipun klub-klub yang merekrut mereka sudah menyematkan label marquee player.
Ada Jose Coelho (Persela Lamongan/Portugal), Bruno Lopes (Persija Jakarta/Brasil), Wiljan Pluim dan Marc Klok (PSM Makassar/Belanda), Nick van der Velden (Bali United/ Belanda), Paulo Sergio Goncalves (Bhayangkara FC/ Portugal), Anmar Almubaraki (Persiba Balikpapan/ Irak), hingga Tijani Belaid (Sriwijaya FC/ Tunisia). Siapa pula mereka ini?
Okelah, orang-orang ini memang pernah mencicipi kasta tertinggi di kompetisi domestik Eropa, meski bukan di klub papan atas. Kalaupun di klub mapan, mereka cuma numpang lewat alias jarang dimainkan, bahkan cuma sampai di tataran akademi atau tim junior.
Tapi, untuk memenuhi syarat sebagai marquee player seperti yang telah ditentukan oleh PSSI, mereka ini jelas tidak masuk kriteria karena nihil memperkuat tim nasional senior negaranya—kecuali Tijani Belaid yang telah mengemas 18 caps bersama Tunisia—alih-alih tampil di Piala Dunia.
Kembali ke definisi semula, marquee player bukan sekadar itu; mereka adalah orang-orang khusus, pesepakbola dalam kategori istimewa ditinjau dari pelbagai aspek. Bahkan, seperti kata Joko Driyono, mereka tidak hanya bernilai nominal tinggi tetapi harus punya kualitas super, bukan KW.
Indikasi yang muncul kemudian justru mengarah pada dugaan praktik akal-akalan. Klub-klub Liga 1 berupaya mencari pemain yang sebisa mungkin mendekati kriteria marquee player. Itu dilakukan agar klub bisa tetap menambah pemain asing tanpa melanggar kuota 2+1 (dua pemain asing non-Asia + satu pemain asing Asia).
Regulasi yang longgar membuat hal itu bisa terjadi. Syarat bermain di tiga Piala Dunia terakhir dan bermain di liga top Eropa di delapan musim terakhir ini syarat opsional. Salah satu syarat terpenuhi, maka sah masuk kategori marquee player. Inilah yang membuat klub-klub relatif mudah memenuhi persyaratan. Karena mudah itulah maka gampang saja kuota marquee player dimanfaatkan. Dampaknya: marquee player bisa hanya status di atas kertas.
Baca: Menguji Klaim PT Liga PSSI soal Marquee Player
Paulo Sérgio Moreira Gonçalves yang bermain untuk Bhayangkara, misalnya. Dia memang pernah bermain di liga-liga top Eropa. Namun pengalaman di liga teratas itu terakhir terjadi pada musim 2013-2014 saat bermain di Primeria Liga Portugal bersama Arouca. Namun, setelahnya dia bermain di level lebih rendah. Dua musim terakhir ia malah bermain untuk Brunei DPMM yang berlaga di Liga Singapura.
Marquee player yang "didatangkan" dari Bandar Seri Begawan. Itulah Paulo Sergio. Ironis, bukan?
Akan lain ceritanya jika syarat marquee player dibuat lebih ketat sehingga lebih serius. Misalnya: bermain di dua Piala Dunia terakhir (2010 dan 2016) atau bermain di level teratas kompetisi top Eropa pada tiga musim terakhir atau boleh di level kedua kompetisi tapi harus di musim terakhir saja. Jika ingin lebih serius lagi, batasan caps atau menit bermain juga bisa dimasukkan sebagai persyaratan. Agar tidak terjadi hal lucu semacam, misalnya, hanya bermain tiga menit saja dalam Piala Dunia tetapi disebut marquee.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Fahri Salam