tirto.id - Alan Shearer mengucapkan kata-kata dengan nada kepasrahan itu kepada BBC usai Inggris kalah memalukan dari Islandia di fase 16 besar Piala Eropa 2016 dengan skor 1-2. Mantan bomber The Three Lions yang telah mempersembahkan 30 gol untuk negaranya ini mengecam habis pelatih Inggris, Roy Hodgson, yang disebutnya tak becus menukangi tim nasional.
"Dia (Hodgson) tidak punya sebuah sistem, dia tidak tahu pemain terbaiknya, dia nihil ilmu strategi!” tukas peraih sepatu emas alias pencetak gol terbanyak di Piala Eropa 1996 ini.
Hodgson sudah selayaknya turun tahta setelah skuatnya dipecundangi Islandia. Ditunjuk sebagai juru taktik sejak 6 tahun silam untuk menggantikan Fabio Capello yang undur diri, bekas pelatih Liverpool ini selalu terkapar setiap kali mengawal Inggris di turnamen besar.
Capaian Hodgson paling lumayan adalah mengantarkan Inggris ke perempatfinal Euro 2012. Namun, dua tahun berselang, Wayne Rooney dan kawan-kawan tampil buruk di Brazil, terdepak lebih cepat lantaran gagal lolos dari fase grup Piala Dunia 2014. Piala Eropa 2016 akhirnya memungkasi karier sang pelatih bersama tim Tiga Singa.
Opta mencatat, kinerja Hodgson selama menukangi Inggris jauh dari memuaskan. Dia hanya mengumpulkan persentase kemenangan sebesar 58,9 persen, lebih rendah dari Capello yang digantikannya (66,7 persen). Hodgson cuma sedikit lebih baik dari pelatih Inggris era 1946-1962, Walter Winterbottom, yang mengoleksi 56,1 persen kemenangan.
Efektivitas Islandia
Inggris sesungguhnya lebih dominan dari Islandia dalam duel 16 besar Piala Eropa 2016 lalu. Statistik yang dipaparkan Soccerway menunjukkan, pasukan elit Britania itu unggul jauh dalam penguasaan bola, yakni 73 persen berbanding dengan 27 persen yang dimiliki lawannya tersebut.
Jumlah peluang Inggris juga jauh lebih besar. Islandia hanya mampu melepaskan 6 tembakan, sementara Inggris punya 16 tembakan, 11 di antaranya mengarah ke gawang. Tapi, dari banyaknya kans tersebut, hanya satu yang menjadi gol. Itupun lewat penalti Rooney pada menit ke-4.
Sebaliknya, Islandia bermain efektif. Skuat besutan Lars Lagerback memang nyaris kalah segala-galanya dari Inggris, tapi tidak untuk urusan mencetak gol saat kedua tim yang sebenarnya beda kasta ini bersua. Kiper sekelas Joe Hart pun hanya bisa meratap usai duo pesepakbola antah-berantah, Ragnar Sigurosson dan Kolbeinn Sigborsson, bergantian membobol gawangnya dalam tempo kurang dari 20 menit.
Islandia memang datang ke Prancis tanpa pasukan mewah, hanya berbekal rekam jejak si gaek Eidur Gudjohnsen yang pernah cukup lama berkarier di kompetisi papan atas Eropa, termasuk Liga Utama Inggris.
Ramuan jitu Lars Lagerback, yang berpengalaman menukangi tim nasional negaranya, Swedia, selama hampir satu dekade, juga turut menentukan kegemilangan Islandia meskipun dengan modal seadanya.
Ngomong-ngomong soal Lagerback, pria Skandinavia ini selalu menjadi mimpi buruk bagi Inggris, belum pernah kalah dari si raja singa di sepanjang karier melatihnya. Saat masih membesut Swedia sekurun 2000-2009, Lagerback merengkuh dua kemenangan dari total enam perjumpaan dengan Inggris, sementara empat laga lainnya berakhir imbang. Kini, giliran Islandia yang dibawanya memperpanjang rekor pribadi tersebut.
Rincian aksi Islandia selama putaran final Euro 2016 sendiri sejatinya biasa-biasa saja. Dari empat laga yang telah dijalani, yakni tiga pertandingan fase grup dan satu duel di 16 besar, armada dari negeri yang sangat dekat dengan Kutub Utara ini nyaris selalu kalah dalam penguasaan bola.
Menurut catatan Squawka, penguasaan bola rata-rata Islandia dalam empat laga putaran final Piala Eropa 2016 sejauh ini cuma 39 persen. Akurasi passing-nya paling banter juga hanya menyentuh 62 persen. Bandingkan dengan Inggris yang menembus angka 86 persen.
Barangkali berkat kuasa Tyr –dewa perang berlengan satu dalam kepercayaan bangsa Islandia– Aron Gunnarsson dan kawan-kawan sukses mengukir catatan paling gemilang dalam riwayat persepakbolaan Islandia dengan melaju ke 8 besar Euro 2016 di penampilan debutnya.
Hebat dan berkesannya lagi, lawan yang mereka singkirkan adalah Inggris, negara yang acapkali diklaim sebagai pencetus sepakbola modern sekaligus gudangnya pemain top dengan kompetisi termahal di alam semesta.
Liga Termegah Nir Faedah
"Kita dibutakan oleh Premier League. Kita pikir itu adalah tempat pemain terhebat di dunia, (padahal) tidak. Kita tidak sebagus apa yang kita pikirkan," demikian cibir Alan Shearer, masih dikutip dari BBC.
Ya, kompetisi domestik di Inggris dengan Premier League-nya memang dikenal sebagai liga termegah se-jagat raya. Gemerlap klub-klub tajir beserta deretan pemain kenamaan yang dibungkus dengan mewahnya kemasan dari sisi bisnis membuat Premier League menjadi liga yang paling digemari oleh penikmat sepakbola dari berbagai penjuru bumi.
Menurut The Richest, jumlah kehadiran rata-rata penonton dalam setiap pertandingan Premier League alias Liga Utama Inggris di stadion pada musim 2015/2016 sebesar 35,931 orang, memang masih kalah dengan Bundesliga (Liga Utama Jerman) yang per laganya dihadiri oleh 42,421 orang. Namun, untuk urusan hak siar televisi, Inggris masih yang paling tinggi. Ini tentunya sangat terkait dengan jumlah pemirsa yang menonton dari layar kaca.
Reuters melaporkan, hak siar televisi Premier League untuk tiga musim ke depan telah terjual 5,136 miliar poundsterling atau setara dengan 100,9 triliun rupiah! Nominal ini naik 68 persen dari nilai kontrak selama tiga musim sebelumnya yang “hanya” 3,018 miliar poundsterling.
Adapun Bundesliga harus puas berada di posisi ketiga karena hak siar televisi kompetisi tertinggi di Jerman itu cuma bernilai 4,036 miliar poundsterling, masih lebih kecil dari La Liga Spanyol di urutan kedua dengan 4,766 miliar poundsterling. Di posisi keempat ada Ligue 1 Prancis yang hak siar televisinya bernilai jual 3,894 miliar poundsterling.
Namun, yang termahal belum tentu yang terbaik. Ini dibuktikan dengan pencapaian tim nasional Inggris yang terbilang payah di setiap turnamen besar resmi agenda FIFA, yakni Piala Eropa dan tentunya Piala Dunia.
Inggris memang pernah menjadi kampiun Piala Dunia 1966. Nama-nama legendaris macam Bobby Charlton, Gordon Banks, Bobby Moore, atau Geoff Hurst, kala itu membawa Inggris menjadi juara dunia untuk pertamakalinya usai mengandaskan Jerman Barat di partai puncak.
Namun, sejak merengkuh Piala Dunia 1966 yang digelar di negeri sendiri itu, Inggris tidak mampu lagi berbicara banyak di ajang yang sama hingga saat ini. Paling jauh, Inggris mencapai peringkat keempat sebagai semifinalis Piala Dunia 1990 yang dilangsungkan di Italia.
Di tataran Piala Eropa, Inggris lebih miris lagi. Dengan suplai pemain top yang selalu tersedia dari generasi ke generasi, mereka sama sekali belum pernah mencicipi nikmatnya mengangkat trofi turnamen antarnegara paling bergengsi di benua biru itu.
Torehan terbaik Inggris di Piala Eropa adalah peringkat ketiga pada edisi 1968 di Italia. Hanya saja, saat itu Piala Eropa masih menggunakan format lama dan cuma diikuti oleh empat tim. Itu artinya, Inggris menjadi tim terbaik ketiga dari empat peserta!
Inggris sekali lagi menempati posisi ketiga di Piala Eropa 1996 yang dihelat di negara sendiri –sama ketika menjuarai Piala Dunia 1966. Satu-satunya hiburan bagi publik Inggris setelah gagal juara saat itu adalah dinobatkannya Alan Shearer sebagai pencetak gol terbanyak dengan 5 gol di ajang tersebut.
Lagi-lagi mengutip keluhan Shearer, Liga Inggris tidak sebagus apa yang orang pikirkan. Terdepaknya skuat Roy Hodgson di fase awal Piala Dunia 2014, yang berlanjut dengan akhir memalukan di Piala Eropa 2016, menjadi bukti keprihatinan salah satu penyerang tersubur yang pernah dimiliki Britania Raya itu. Dengan kata lain, sepakbola Inggris adalah omong kosong belaka dengan segala kemegahannya.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti