tirto.id - Joseph Guardiola barangkali merayakan ulang tahun ke-46 pada 18 Januari 2016 kemarin dengan sedikit rasa sesak di dada. Tiga hari sebelumnya, Manchester City dibantai 4 gol tanpa balas oleh Everton. The Citizen pun terlempar dari jajaran 5 besar Premier League 2016/2017. Apakah karma untuk Guardiola mulai berlaku?
Karmapala (karmaphala) adalah salah satu keyakinan dalam ajaran Hindu. Istilah tersebut berasal dari dua kata, yakni karma yang bermakna “perbuatan” dan pala/phala yang berarti “buah”. Dengan demikian, karmapala bisa diartikan dengan makna “buah dari hasil perbuatan”. Dan itulah yang sedang membayangi Guardiola saat ini.
Lantas, apa yang sebelumnya dilakukan oleh Guardiola sehingga layak mendapatkan karmapala? Banyak! Manajer asal Spanyol itu menerapkan beberapa kebijakan yang justru menjadi blunder bagi dirinya sendiri.
Kendati peluang juara City musim ini belum sepenuhnya tertutup, namun menjadi sebuah ironi manakala “arogansi” Guardiola belum membuahkan hasil maksimal hingga separuh putaran kompetisi. Selisih 12 poin dari Chelsea di puncak klasemen pastinya bukan menjadi pekerjaan yang ringan bagi Guardiola untuk membalikkan arah hembusan angin.
Guardiola tiba di Etihad Stadium pada awal musim ini dengan sambutan penuh puja-puji dan harapan yang melambung tinggi. Maklum, 24 trofi yang diraihnya bersama Barcelona dan Bayern Munchen merupakan jejak rekam yang luar biasa bagi seorang pelatih, masih muda pula.
Ada sejumlah kebijakan Guardiola di City yang paling memantik kontroversi. Salah satunya adalah kengototannya mendatangkan Claudio Bravo dan tega menyingkirkan Joe Hart yang notabene adalah calon legenda Manchester Biru.
Didatangkan dari Barcelona dengan mahar 19,9 juta euro, Bravo justru menjadi salah satu titik lemah City musim ini. Langsung berperan sebagai kiper utama, gawang pria asal Chile itu sudah kebobolan 31 kali dalam 22 pertandingan di Premier League dan Liga Champions.
Sebaliknya, Joe Hart yang dibuang dari habitat aslinya setelah mengabdi selama 10 tahun justru tampil relatif lebih baik di tanah pembuangan di Italia sana. Diasingkan ke Torino, kiper Inggris ini turut membawa klub semenjana tersebut menembus 10 besar teratas klasemen sementara Serie A.
Tentang tersingkirnya Joe Hart dari Manchester City dapat dibaca selengkapnya dalam artikel: Senyum Torino dan Calon Legenda yang Terbuang.
Ada lagi sebab-akibat kebijakan Guardiola yang berbalik kurang baik ke arahnya. Bernasib serupa seperti Joe Hart, Samir Nasri dan Eliaquim Mangala juga tidak lagi dibutuhkan sejak Guardiola berkuasa sehingga harus hengkang kendati hanya sebagai pemain pinjaman. Keduanya diasingkan ke Spanyol, Nasri ke Sevilla sedangkan Mangala ke Valencia.
Guardiola terbukti salah menyingkirkan Nasri. Gelandang Prancis ini selalu dimainkan sebagai starter dalam 17 laga Sevilla di semua ajang. Sevilla pun tampil luar biasa dengan menempati posisi 2 di klasemen sementara kasta tertinggi La Liga, berjarak 1 poin lebih sedikit dari Real Madrid di pucuk, dan unggul 1 poin lebih banyak dari Barcelona yang berada di peringkat ke-3.
Mangala? Kompatriot sebangsa Nasri ini memang belum mampu membangkitkan kejayaan Valencia yang hingga kini masih terbenam nyaris di papan bawah. Namun, peran Mangala sangat dibutuhkan oleh klub berlogo kelelawar itu, 15 pertandingan sudah dilakoni hingga tengah musim ini.
Coba bandingkan dengan dua punggawa anyar Manchester City pilihan Guardiola yang diboyong untuk menggantikan Nasri dan Mangala. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah İlkay Gundogan yang direkrut dari Borussia Dortmund dengan 27 juta euro serta mantan bek Everton seharga 55,6 juta euro, John Stones.
Torehan 3 gol memang telah dilesakkan Gundogan dalam 10 penampilannya bersama City di Premier League musim ini. Namun, kontribusi gelandang Jerman ini tereduksi karena cedera parah yang didapatnya dalam laga kontra Watford pada pertengahan Desember 2016 lalu. Hingga kini, Gundogan masih berkutat dengan perawatan.
Stones lebih miris lagi. Digaet mahal-mahal dari Everton, bek berusia 22 tahun ini justru kerap kali memainkan andil sebagai biang keladi kekalahan City, termasuk di pertandingan kontra bekas klubnya lalu, setali tiga uang dengan Bravo.
Tentang alasan Guardiola ngotot merekrut Bravo dapat dibaca pada artikel: Bangkitnya Tradisi Kiper Gaek Manchester City.
Dua dari dua pasang Everton yang menggetarkan gawang Bravo beberapa waktu lalu mutlak berawal dari kesalahan fatal yang dilakukan Stones. Legenda sepakbola Inggris yang kini berkarier sebagai pundit, Alan Shearer, bahkan mengaku kasihan dengan pemain belakang dengan tinggi badan 188 cm itu.
“Saya tidak akan berkomentar miring terhadapnya (John Stones), saya hanya bisa prihatin. Ia mengalami mimpi buruk (di City). Ia masih sangat muda dan sudah banyak tampil di Premier League, sementara seluruh dunia mengatakan kepada saya bahwa ia akan menjadi pesepakbola hebat,” ucap Shearer kepada Daily Mail.
Satu lagi karmapala yang berlaku pada Guardiola terkait sikap kuasanya terhadap pemain, yakni soal Yaya Toure. Menjadi sosok paling penting di lini tengah City sejak 5 musim terakhir, nama gelandang asal Pantai Gading ini tiba-tiba dicopot dari skuad The Citizen di Liga Champions.
Keputusan Guardiola itu menyulut murka agen Toure, Dimitri Seluk. Si agen yang tidak terima pun melontarkan rentetan kecaman yang dijawab oleh Guardiola dengan membekukan Toure. Sang pelatih memaksa Toure untuk meminta maaf. Jika tidak, kelar sudah hidupnya di City.
Beruntung, kebutuhan akan gelandang tambahan lantaran cederanya Gundogan membuat Guardiola mau tidak mau memanggil Toure kembali. Apalagi Toure sudah melayangkan permohonan maaf kepada sang bos besar dari Spanyol itu.
Kasus Joe Hart, Nasri, dan Mangala kontra Bravo, Gundogan, dan John Stones ditambah perkara Toure tak pelak memicu olok-olok bagi Guardiola yang dilancarkan oleh kaum pembenci City. Guardiola yang menganggap dirinya adalah raja di Etihad pun dibuat gusar bahkan nyaris depresi.
“Akhir perjalanan karier saya telah tiba. Saya meyakini itu meskipun saya masih akan berada di sini untuk 3 musim lagi atau lebih. City barangkali akan menjadi tim terakhir yang saya tangani. Saya rasa, proses perpisahan itu sudah dimulai," ucap Guardiola dengan nada frustasi kepada NBC Sports.
Kendati pada akhirnya Guardiola memberikan klarifikasi terkait pernyataannya yang mengejutkan itu, namun tetap saja ada kesan putus asa yang sangat kentara dalam ucapan pertamanya tersebut.
Guardiola saat ini hanya bisa terus bekerja sembari berharap karma-karma selanjutnya tidak datang lagi, tidak menjadi kenyataan yang mungkin saja bakal membunuhnya di akhir musim nanti, atau bahkan bisa saja lebih cepat terjadi.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS