Menuju konten utama
Edusains

Agnotologi: Mereproduksi Keraguan, Memanipulasi Ketidaktahuan

Kiwari, ketidaktahuan bukan lagi berkah dan keraguan bukan lagi senjata melawan hegemoni. Ia kerap dimanipulasi dan direproduksi demi kepentingan politis.

Agnotologi: Mereproduksi Keraguan, Memanipulasi Ketidaktahuan
Ilustrasi agnotologi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 2011, Donald Trump membuat klaim yang mengguncang publik dengan berkali-kali menyebut Barack Obama mungkin bukan warga negara Amerika Serikat.

“Aku ingin dia menunjukkan akta kelahirannya. Ada sesuatu di akta kelahiran itu yang tidak dia sukai,” ujarnya, dilansir olehABC News. Ia pun menuntut akta kelahiran Presiden ke-44 itu, meski dokumen resminya sudah lama diverifikasi.

Meskipun kemudian Obama merilis akta kelahirannya, Trump tetap meragukan keasliannya, bahkan menyatakan dokumen itu bisa saja palsu. Ia sama sekali tak menunjukkan bukti atas klaimnya. Senjata yang ia pakai bukan bukti, melainkan keraguan.

Trump tidak perlu membuktikan Obama lahir di Kenya. Ia hanya perlu membuat publik bertanya-tanya. Itu pun sudah cukup membuat orang mengikuti narasinya. Media ikut memutar ulang sehingga narasi konspirasi tumbuh subur.

Konspirasi "birther"—demikian berbagai media menamainya—rekaan Donald Trump bukan sekadar teori ngawur. Ia adalah contoh nyata bahwa ketidaktahuan bisa diproduksi, dipelihara, dan dijadikan alat politik.

Di balik klaim palsu itu, tersembunyi strategi komunikasi yang canggih. Alih-alih menyajikan fakta, orang semacam itu memilih menanamkan keraguan, membiarkan publik bingung, dan membuat kebenaran jadi kabur.

Itulah inti dari agnotologi, ilmu tentang produksi ketidaktahuan. Ia merujuk pada praktik menciptakan dan menyebarkan ketidaktahuan secara sistematis. Sering lewat data yang menyesatkan untuk kepentingan bisnis, politik, atau ideologi.

Agnotologi sebagai Kerangka Studi

Agnotologi adalah senjata sekaligus bidang studi. Konsep ini digagas oleh Robert N. Proctor, profesor sejarah sains di Universitas Stanford. Istilah tersebut ia gunakan pertama kali dalam bukunya berjudulCancer War: How Politics Shapes What We Know and Don’t Know About Cancer (1995: 8), yang membahas tentang strategi industri tembakau dalam menyebarkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Secara etimologis, agnotologi berasal dari bahasa Yunani agnosis 'ketidaktahuan' dan ontologi 'cabang metafisika'. Berbeda dari ketidaktahuan alami akibat kurangnya informasi, agnotologi mempelajari tentang ketidaktahuan yang sengaja dibuat. Ia merupakan kerangka teoretis yang menjelaskan mengapa dan bagaimana hoaks dan misinformasi diciptakan serta disebarkan.

Ilustrasi agnotologi

Ilustrasi agnotologi. FOTO/iStockphoto

Agnotologi mengubah cara kita memandang ketidaktahuan. Jika dulu dianggap sebagai ruang kosong yang menunggu diisi oleh pengetahuan, kini ia dipahami sebagai konstruksi aktif yang kompleks. Ia punya geografi politik sendiri, dan sering kali lebih mencerminkan dinamika kekuasaan daripada sekadar kurangnya informasi.

Fokusnya bukan lagi pada bagaimana kita tahu?, melainkan apa yang tidak kita ketahui dan mengapa kita tidak mengetahuinya?. Demikian sebagaimana kerap disebut oleh Proctor dalam buku Agnotology : the making and unmaking of ignorance (2008).

Pertanyaan tersebut membuka ruang untuk menyelidiki bagaimana pengetahuan bisa disembunyikan, diabaikan, atau sengaja ditunda. Agnotologi memberi kita lensa kritis. Ketidaktahuan bukanlah kebetulan, tapi sering kali hasil dari konflik budaya dan politik yang disengaja.

Strategi yang Terbukti Mematikan

Agnotologi, dalam bentuknya yang paling efektif, tidak hanya menyembunyikan fakta, tapi mengubah cara publik memahami kebenaran itu sendiri.

Pada 10 Oktober 1990, Nayirah, yang merupakan putri duta besar Kuwait untuk AS, memberikan kesaksian palsu di depan Congressional Human Rights Caucus AS. Ia mengklaim menyaksikan tentara Irak mengeluarkan bayi prematur dari inkubator di rumah sakit Kuwait dan membiarkan mereka mati, sebuah cerita yang terbukti sengaja dibuat-buat.

Kesaksian tersebut diorganisasi oleh firma PR Hill & Knowlton atas nama Citizens for a Free Kuwait. Tujuannya adalah memengaruhi opini publik agar mendukung Perang Teluk melawan Irak.

Agnotologi terus berevolusi, menjadi lebih canggih dan menyebar luas di era digital. Dari isu perubahan iklim hingga polarisasi politik, ia dijalankan dengan kecepatan dan jangkauan luar biasa, terutama berkat media sosial dan siklus berita 24 jam yang terus berputar. Lanskap informasi modern telah berubah menjadi medan perang utama bagi para pedagang keraguan.

Salah satu penerapan paling nyata terlihat dalam kampanye sistematis menyangkal perubahan iklim akibat ulah manusia. Industri bahan bakar fosil meniru strategi tembakau, membentuk sesuatu yang disebut “mesin penyangkalan” yang terorganisasi.

Tokoh-tokoh seperti Fred Seitz dan Fred Singer, kini beralih menyangkal hujan asam, lubang ozon, dan pemanasan global. Mesin ini digerakkan oleh dana besar dari perusahaan minyak dan gas, lembaga pemikir konservatif yang memproduksi riset palsu, serta kelompok depan yang menciptakan kesan adanya perdebatan ilmiah yang sehat. Tujuannya bukan untuk membuktikan sesuatu, melainkan untuk menanamkan keraguan dan mengaburkan konsensus ilmiah.

Makin sering dibantah, makin dominan ia dalam percakapan publik. Lawan dipaksa terus-menerus membantah, sementara narasi utama tetap bertahan. Era digital menciptakan kondisi ideal bagi berkembangnya ketidaktahuan yang direkayasa. Hal itu kemudian mengarah pada fenomena post truth, yakni ketika fakta objektif kalah pengaruh dibanding emosi dan keyakinan pribadi.

Hal yang sama dilakukan oleh Zionis Israel yang kerap menyangkal adanya kelaparan dan insiden penembakan di lokasi bantuan Gaza. Mereka menggaungkan narasi yang menyalahkan PBB atau Hamas atas kegagalan distribusi bantuan, meskipun berbagai laporan telah menyatakan bahwa Israel secara sistematis menghambat masuknya bantuan untuk mendiskreditkan komunitas kemanusiaan.

Dalam konteks itu, kita menyaksikan kemunculan agnotologi bukan lagi sekadar menanamkan keraguan, tapi membuat kebenaran menjadi tidak relevan. Sensasi dan emosi mengalahkan bukti dan logika.

Ilustrasi Hoax

Ilustrasi Hoax. Getty Images/iStockphoto

Penelitian berjudul “The Spreading of Misinformation Online” (2016)menunjukkan, konten palsu menyebar secara viral lewat interaksi antarpengguna, sering kali berasal dari segelintir akun aktif yang mampu menembus sistem moderasi.

Karena algoritma media sosial kebanyakan berbasis keterlibatan, konten yang palsu dan cenderung memecah belah itu justru makin menyebar. Gema yang membesar itulah yang membuat pengguna terisolasi dari pandangan berbeda dan memperbesar kerentanan terhadap misinformasi.

Survei yang dilakukan Tirto pada September 2023 menemukan, 51,05 persen responden mengaku paling sering melihat hoaks di Facebook, disusul oleh TikTok di posisi kedua. Selain itu, 42,60 persen responden menilai bahwa hoaks dapat memengaruhi pilihan politik mereka.

Jajak pendapat terhadap 1.500 responden dari 32 provinsi itu juga menemukan fakta lain. Sekitar 54,33 persen responden mendapatkan misinformasi melalui pesan berantai, seperti WhatsApp dan pos-el, dengan topik terkait hadiah, politik, agama, ekonomi, lingkungan, hingga bencana alam.

Keraguan dan ketidaktahuan bahkan direproduksi secara masif oleh institusi sekaliber negara. Misalnya, sebagaimana disebut dalam studi Harvard, Tiongkok menjalankan operasi “Pasukan 50 Sen” dengan mempekerjakan 2 juta pendengung untuk memproduksi ratusan juta unggahan media sosial palsu setiap tahun.

Namun, strategi Tiongkok berbeda dari kampanye Barat. Alih-alih berdebat atau membantah, mereka memilih mengalihkan perhatian. Dengan membanjiri media sosial dengan pujian, obrolan ringan, dan konten pengalih, mereka menenggelamkan sinyal kritis, terutama saat isu politik sensitif mencuat.

Perbandingan antara kampanye Barat dan model Tiongkok mengungkap dua pendekatan agnotologi digital. Di Barat, strategi firehose of falsehood membanjiri publik dengan kontroversi, memecah belah, dan mendelegitimasi lawan. Di Tiongkok, strategi pengalihan isu bertujuan menjaga stabilitas dan mencegah terbentuknya oposisi. Yang satu tumbuh dari konflik, yang lain bertahan lewat penghindaran konflik.

Medan Perang Modern

Medan informasi saat ini sangat timpang. Kebohongan menyebar cepat, murah, dan masif. Sebaliknya, membantah hal itu butuh waktu, tenaga, dan biaya besar.

Pemeriksaan fakta memang penting dan terbukti mampu mengurangi persepsi keliru. Namun, efektivitasnya terbatas. Skala dan kecepatan penyebaran misinformasi jauh melampaui kapasitas organisasi pemeriksa fakta.

Peran platform teknologi seperti Google dan Meta pun penuh paradoks. Di satu sisi, mereka menerapkan pelabelan konten dan bekerja sama dengan pemeriksa fakta. Di sisi lain, algoritma mereka tetap mendorong konten yang memecah belah karena itulah yang paling menarik perhatian pengguna.

Melawan agnotologi membutuhkan pendekatan proaktif, bukan reaktif. Salah satunya dengan pre-bunking, membekali masyarakat dengan pemahaman tentang taktik manipulasi dan pola-polanya, menanamkan pemikiran kritis, berorientasi pada bukti, serta menjalin komunikasi yang efektif.

Jika agnotologi adalah seni menciptakan ketidaktahuan, menjadi seorang agnotolog adalah tindakan sadar untuk membongkarnya.

Akhirnya ada dua pilihan, kita menjadi masyarakat yang dibangun di atas pengetahuan yang diperjuangkan, atau menyerah pada ketidaktahuan yang direkayasa dengan mudah.

Baca juga artikel terkait HOAKS atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Edusains
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin