tirto.id - Minggu, 30 Oktober 1938, sehari sebelum perayaan Halloween, warga Amerika Serikat panik tak karuan. Ketika itu, kebaktian di gereja dihentikan, jalanan macet, dan sistem komunikasi pun mandek. Ketakutan massal tersebut terjadi karena sebuah acara stasiun radio menyiarkan "berita singkat" bahwa telah terjadi invasi alien dari Mars di New Jersey.
Siaran tersebut ternyata merupakan bagian dari drama suara yang menceritakan karya H.G. Wells yang berjudul “War of the Worlds”. "Siaran Panik" sebutan untuk peristiwa ini kemudian digunakan oleh akademisi ilmu komunikasi sebagai studi kasus yang membuktikan kekuatan media dalam memengaruhi khalayak terlepas dari apakah berita itu "benar" atau "fiksi".
Jauh setelah “Siaran Panik”, berita hoax justru semakin jadi masalah. Berita-berita palsu nyaris sama meyakinkannya dengan berita yang benar. Berita hoax menjadi bisnis,senjata politik, dan/atau strategi menyebarkan sentimen kebencian. Menghadapi ini, pemerintah, media, maupun masyarakat memang tidak tinggal diam. Berbagai solusi dieksekusi: mulai dari pemblokiran situs hoax, verifikasi fakta oleh media, dan pendidikan literasi media.
Dari beberapa solusi tersebut, pendidikan literasi media merupakan hal yang cukup penting. Pendidikan memungkinkan masyarakat untuk bisa mandiri menyaring berita yang hoax atau tidak. Pendidikan ini penting untuk diberikan kepada semua golongan, termasuk anak-anak. Seperti yang dilakukan oleh BBC dengan mengirimkan wartawannya ke sekolah-sekolah.
Baca juga: Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax
Pada Maret 2018, BBC Inggris akan mengutus wartawannya ke lebih dari 1000 Sekolah Menengah Pertama. Mereka akan menjadi mentor yang mengajarkan kemampuan verifikasi informasi kepada para siswa. “Dengan membagikan keahlian jurnalistik, kami ingin memberikan anak muda kemampuan dan kesadaran bahwa mereka harus percaya diri dalam mengidentifikasi berita yang benar dan menandai yang hoax,” kata Tony Hall, Direktur Umum BBC dikutip oleh Engadget.
Program ini diluncurkan setelah penelitian oleh Universitas Salford dan BBC Newsround menemukan murid SMP di Inggris belum memiliki kemampuan literasi media yang baik dalam mengidentifikasi berita hoax. Menurut penelitian ini, kesadaran mereka hanya terbatas pada mengetahui berita hoax yang berisi cerita benar-benar konyol atau di luar akal sehat.
Akan tetapi, para siswa tersebut ditemukan masih belum terbiasa dalam mengidentifikasi berita hoax yang lebih abu-abu; berisi informasi yang salah dan mengecoh. Selain itu, para siswa masih belum dapat membedakan artikel opini atau advetorial dengan artikel berita. Temuan ini senada dengan survei oleh Stanford University yang menemukan 80 persen siswa SMP (dari total sampel 203 siswa) juga mengira berita yang disponsori di situs berita Slate merupakan artikel berita.
Bukan hanya di Inggris, strategi menghadapi berita hoax yang melibatkan anak sekolah juga dilakukan oleh Mighty Writers sebuah organisasi nirlaba di Amerika Serikat. Melalui program Fake News Finders, wartawan dari organisasi ini akan berdiskusi secara langsung dengan anak berumur 7 sampai 17 tahun untuk menganalisa berbagai artikel dari media berbeda. Paige Williams, dalam tulisannya untuk The New Yorker, menceritakan salah satu bentuk latihan yang dilakukan adalah membandingkan berita dari situs yang mencurigakan seperti Infowars (sebuah situs berita yang didominasi teori konspirasi yang belum terbukti) dengan berita dari media yang memiliki kredibilitas jurnalisme yang baik.
Joanne Orlando, seorang peneliti dari Sydney Western University, dalam artikelnya di The Conversation menjelaskan anak-anak harus diajak berdiskusi agar dapat sensitif dalam mengidentifikasi kualitas berita. Menurutnya, orang tua dapat memulai diskusi dengan cara menanyakan: pembuat berita, target khalayak berita, informasi yang hilang, dan perbandingan dengan situs berita lain.
Indonesia Melawan Hoax
Bahaya hoax juga nyata di Indonesia. Misalnya, pada awal Januari 2017, Time mewartakan bahwa Indonesia menghadapi masalah berita hoax yang menyebarkan pesan kebencian kepada kelompok minoritas. Salah satu contohnya adalah rumor mengenai “serbuan 10 juta pekerja Cina ke Indonesia” yang kemudian harus diklarifikasi oleh Jokowi bahwa sebenarnya 10 juta adalah angka target wisatawan Cina ke Indonesia.
Berita hoax sendiri tak selalu soal politik. “Biasanya kita mengasosiasikan hoax ini dengan isu politik ya, tapi sebenarnya bisa juga soal agama, kesehatan, dan ekonomi misalnya cara-cara jadi kaya,” kata Enda Nasution, Koordinator #BijakBersosmed kepada Tirto, Kamis (07/17).
Baca juga: Sentimen Kebencian dalam Berita Hoax
Upaya untuk memberantas hoax di Indonesia juga terus digencarkan. Mulai dari lembaga pemerintah hingga swadaya, membuat berbagai inisiasi untuk melawan hoax. Salah satu kampanye melawan hoax yang menyasar anak-anak sekolah adalah #BijakBersosmed. #BijakBersosmed adalah sebuah gerakan yang mengajak berbagai komunitas termasuk siswa SMP dan SMA untuk melakukan verifikasi informasi yang mereka dapatkan melalui konsumsi sosial media yang cerdas. Selain itu, melalui akun Twitter milik mereka, gerakan ini juga memberikan informasi mengenai berita yang ternyata hoax.
Dari pihak pemerintah, (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza mengatakan masyarakat sudah mulai secara aktif melaporkan dan mengidentifikasi berita hoax yang mereka terima. “Misalnya ada gerakan masyarakat anti-hoax yang dilakukan di mana-mana. Ada Pemda, Bupati, Walikota, Gubernur, dan kampus,” jelas Noor Iza kepada Tirto melalui telepon, Kamis (07/17).
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti