Menuju konten utama

Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax

Bagaimana mengurangi dampak dari berita bohong atau hoax yang menyasar anak-anak?

Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax
Ilustrasi mengajarkan anak mengenali berita hoax. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kabar bohong atau hoax tidak hanya bisa menghinggapi orang-orang dewasa, tapi juga anak-anak dan remaja. Apalagi perkembangan informasi dan media sosial yang bergerak semakin pesat tak bisa dihindari.

Pew Research Center menyatakan dari 1.002 responden, sebanyak 23 persen orang dewasa mengaku telah membagikan berita yang mereka sendiri masih meragukan kebenarannya. Ini menggambarkan para orang dewasa saja yang memiliki pemahaman terkadang abai soal hoax. Bagaimana dengan anak-anak dan remaja?

Common Sense, media yang berfokus pada pendidikan anak dan orang tua melakukan survei terhadap 853 anak-anak berusia 10-18 tahun di Amerika Serikat di awal 2017. Dari survei diketahui bahwa dari 853 responden, sebanyak 44 persen mengatakan mereka dapat membedakan antara hoax atau bukan. Namun, sebesar 31 persen masih meragukan perihal kebenaran berita yang telah mereka bagikan dengan orang lain.

Di zaman di mana semua orang mempunyai akses terhadap ponsel dan komputer ini, beragam informasi semakin riuh sesak mewarnai media sosial. Bukan saja dari pihak media, perputaran informasi justru semakin deras di tangan pengguna internet, mulai dari orang dewasa sampai dengan anak-anak. Bahkan sebesar 25 persen anak-anak mengaku percaya dengan informasi yang mereka dapat dari media sosial tersebut. Apalagi media sosial menempati peringkat tertinggi sebagai tempat mencari sumber berita preferensi remaja dan anak-anak.

Baca juga:

Dari survei yang sama ditemukan sebesar 39 persen mempunyai preferensi mencari sumber berita di media online, dibanding 36 persen responden yang mencari sumber berita dari keluarga, guru, atau temannya dan 24 persen dari media tradisional seperti televisi, koran, dan radio.

Dari seluruh media online yang ada, Facebook mempunyai preferensi tertinggi, yaitu sebesar 47 persen, sebagai media yang disukai remaja, sementara anak-anak lebih memilih YouTube sebanyak 41 persen. Hal yang patut dikhawatirkan adalah Facebook sebagai media besar yang dipercaya mayoritas penggunanya tersebut justru sering menjadi media online yang jadi sarana penyebaran hoax.

Kritikan terhadap hal ini telah dilayangkan kepada pihak Facebook. Namun, Facebook telah melakukan pembenahan dengan Facebook Audience Network Policy, fitur yang bertugas memilah situsweb dengan konten menyesatkan, ilegal, atau yang sarat dengan hoax.

Baca juga:

“Kami telah memperbarui kebijakan untuk secara eksplisit mengklarifikasi hoax atau bukan. Tim kami akan terus memantau seluruh publisher dan memantau seluruh berita yang ada,” kata juru bicara Facebook.

Tindakan Facebook adalah perubahan algoritma News Feed yang berfungsi mendeteksi dan memprioritaskan konten yang dianggap orisinil oleh banyak orang, serta ‘menenggelamkan’ konten yang dianggap spam atau hoax. Namun, persoalannya media sosial begitu banyak, sebanyak informasi yang berseliweran kepada anak-anak.

Infografik menghadapi Hoax

Hoax dan Anak-anak

Media sosial yang dekat dengan generasi muda dan anak-anak tak bisa dipisahkan sebagai sumber informasi. Sehingga tantangan utama bagi orang tua adalah mengajarkan anak-anak dan remaja untuk selalu kritis dengan informasi yang mereka terima. Hal ini penting untuk melatih anak mencerna informasi yang sehat.

Sierra Filucci, editor parenting pada Common Sense yang juga merupakan jurnalis lulusan University of California dengan fokus riset di pop culture dan anak-anak, turut menjelaskan perihal pertanyaan-pertanyaan kritis yang perlu orang tua sampaikan kepada anak-anaknya dalam rangka meminimalisir hoax pada anak-anak.

Menurut Filucci, anak-anak butuh ditegaskan lagi perkara siapa yang membuat berita yang mereka baca, siapa target pembacanya, siapa yang dibayar dan diuntungkan atas berita tersebut. Selain itu, anak-anak juga butuh diberi pemahaman mengenai pesan apa saja yang terkandung dalam berita tersebut, apakah penting, menguntungkan, atau malah sebaliknya.

Hal tersebut perlu disampikan oleh orang tua sedini mungkin. Alasanya karena kenyataannya, banyak informasi yang menyesatkan yang pada ujungnya merugikan untuk perkembangan anak-anak. Berdasarkan survei dari Common Sense, sebanyak 70 persen anak-anak dan remaja mengaku merasa pintar dan mendapat banyak wawasan dari berita yang mereka dapat dari media online, terdapat sebanyak 63 persen dari mereka menyatakan berita yang mereka dapat, membuat mereka merasa takut, marah, sedih, dan/atau depresi.

Baca juga: Sentimen Kebencian dalam Berita Hoax

Untuk meminimalisir dampak tersebut, Professor Melissa Zimdars dari Merrimack College di Massachusetts, AS, turut memberi saran dan trik belajar mengenal hoax untuk anak-anak. Ia menyarankan anak-anak mulai mengenali situs-situs berita yang sah dan mulai lebih cermat mengenali konten-konten berkualitas rendah.

“Kata-kata yang ditulis dengan huruf kapital semua, berita dengan kesalahan tata bahasa yang mencolok, klaim berani tanpa sumber yang kredibel, serta gambar sensasional seperti perempuan berbikini adalah beberapa signal awal sekaligus petunjuk bahwa kamu harus skeptis terhadap informasi tersebut,” kata Zimdars.

Ia juga menyarankan untuk selalu memeriksa “Tentang Kami” atau profil situs web dan selalu mencari tahu siapa saja yang mendukung dan terkait dengan situs tersebut.

“Jika informasi ini tidak ada, atau jika situs itu mengharuskan kamu mendaftar sebelum kamu dapat mempelajari sesuatu tentang mereka, maka kamu harus bersikap kritis dan mempertanyakan mengapa mereka tidak transparan,” lanjut Zimdars.

Selain itu, ia juga menyarankan untuk memeriksa kebenaran berita dari situs tersebut di website lain seperti Snopes, Wikipedia, dan Google sebelum buru-buru mempercayai informasi itu. Perlu dipastikan juga apakah sumber-sumber kredibel lain juga ikut memberitakannya. Biasanya berita hoax dan clickbait akan berusaha memicu reaksi ekstrem pembacanya.

“Jika kamu buru-buru naik darah dan luput mengonfirmasi, berarti kamu berhasil mereka ‘permainkan’,” kata Zimdars.

Baca juga: Gairah Membunuh Gara-Gara Hoax

Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga mempunyai kewajiban untuk meminimalisir dampak hoax, terutama untuk anak-anak dan remaja. Hal ini dilakukan agar anak-anak tidak terlarut dalam informasi menyesatkan, terlebih ke arah menyimpang seperti kepada paham-paham ekstremis. Satu paham yang mulai mewabah di lingkup internasional.

Berdasarkan alasan tersebut juga, mulai Maret 2017 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam salah satu programnya mempunyai misi mengawasi apakah sistem yang berlaku untuk anak-anak muda sudah berada dalam lingkup yang tidak menyimpang.

Mereka mencoba mendorong anak-anak atau remaja berpikir kritis atas informasi yang disebarluaskan di media sosial, termasuk mendeteksi klaim yang dianggap meragukan. OECD juga bertujuan untuk mencegah anak-anak dicuci otak oleh berita-berita menyesatkan, misalnya anjuran harus pergi ke Suriah untuk memperjuangkan ideologi tertentu.

Andreas Schleicher, direktur pendidikan dan keterampilan OECD, menyarankan agar media sosial menciptakan satu ruang belajar yang memungkinkan murid belajar tentang dunia dan keragaman yang ada di sana. Sehingga mereka mempunyai ruang untuk menganalisis sekaligus memperdebatkan dengan sehat apa yang mereka ketahui.

Ia menyatakan bahwa salah satu tempat yang tepat untuk membelajarkan hal itu adalah di sekolah. Menurutnya, sekolah dapat melakukan banyak hal untuk membekali siswa dengan kemampuan kognitif untuk mengakses dan belajar menganalis beragam hal.

Schleicher juga menegaskan bahwa bukan berarti sekolah harus menambah materi pembelajaran baru, tapi keterampilan kritis terhadap informasi tersebut dapat diberikan melalui semua pelajaran yang telah ada di sekolah, mulai dari sains sampai dengan mata pelajaran sejarah.

"Di masa lalu, ketika Anda membutuhkan informasi, Anda pergi membuka buku ensiklopedia, Anda mencarinya, dan Anda dapat mempercayai informasi itu dengan benar," kata Schleicher.

Namun dengan hadirnya media sosial seperti saat ini, satu praktik tersebut bagi sejumlah orang adalah upaya lawas yang juga alternatif ke sekian setelah internet. Namun, sedini mungkin pembelajaran berpikir kritis atas segala hal informasi wajib untuk diterapkan pada anak-anak.

"Membedakan apa yang benar dari apa yang tidak benar adalah keterampilan kritis yang dibutuhkan saat ini," kata Schleicher.

Baca juga artikel terkait HOAX atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra