Menuju konten utama

7 Contoh Naskah Sungkeman Siswa pada Orang Tua Menyentuh Hati

Temukan kumpulan naskah sungkeman siswa kepada orang tua yang menyentuh hati, sedih, dan haru hingga membuat orang tua menangis saat wisuda.

7 Contoh Naskah Sungkeman Siswa pada Orang Tua Menyentuh Hati
Mendampingi anak wisuda. foto/istockphoto

tirto.id - Naskah sungkeman siswa kepada orang tua merupakan bentuk penghormatan yang penuh makna dari seorang anak kepada orang tuanya.

Secara etimologis, sungkeman berasal dari budaya Jawa, yaitu tradisi sujud di hadapan orang tua sebagai simbol permohonan maaf, terimakasih, dan permohonan restu.

Dilansir dari laman MTSN 8 Sleman, sungkeman memiliki makna filosofi luar biasa yakni sebagai tradisi turun-temurun yang dilaksanakan sebagai wujud bakti kepada orang tua atau orang yang dituakan.

Adapun serangkaian proses sungkeman biasanya dilakukan saat momen-momen sakral seperti Idul Fitri, pernikahan, hingga wisuda.

Pada momen inilah, naskah sungkeman siswa kepada orang tua dibacakan, suasanapun menjadi mengharu biru bagi keduanya.

Untaian kata-kata sungkeman kepada orang tua yang menyentuh hati dapat menggambarkan perjalanan panjang perjuangan siswa dan pengorbanan orang tua yang tak ternilai.

Di sejumlah sekolah, sesi sungkeman wisuda kepada orang tua yang menyentuh hati juga kerap diadakan. Mempersiapkan teks sungkeman wisuda keapda orang tua bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

SUJUD SYUKUR KELULUSAN

sejumlah siswa melakukan sujud syukur saat merayakan kelulusan di smk al irsyad, tegal, jawa tengah, sabtu (7/5). sujud syukur serta menyumbangkan seragam sekolah kepada siswa yang tidak mampu tersebut sebagai bentuk syukur atas kelulusan seratus persen. antara foto/oky lukmansyah/pd/16

Kumpulan Kata-Kata Naskah Sungkeman Siswa pada Orang Tua Menyentuh Hati

Dalam tradisi sungkeman, kata-kata yang diucapkan bukan sekedar formalitas, tetapi menggambarkan isi hati yang terdalam.

Saat siswa bersimpuh di hadapan kedua orang tua, segenap rasa haru, syukur, dan cinta dituangkan dalam kata-kata yang menyentuh hati.

Berikut ini adalah kumpulan naskah sungkeman sedih yang menggambarkan betapa dalam cinta seorang anak kepada ayah dan bundanya.

1. Sungkeman dengan Ungkapan Terima Kasih

Mama… Papa…

Hari ini, aku berdiri di hadapan kalian bukan hanya sebagai anak yang mengenakan toga kelulusan, tapi sebagai seseorang yang tumbuh dari peluh, air mata, dan cinta kalian yang tak pernah usai. Aku sadar, tidak ada keberhasilanku hari ini yang bukan karena pengorbanan kalian. Di balik senyumku hari ini, ada luka-luka lelah kalian yang kalian sembunyikan hanya demi melihat aku terus melangkah.

Mama… aku masih ingat malam-malam saat engkau tidak tidur karena menungguku pulang belajar. Aku tahu, kau pura-pura tersenyum saat uang belanjamu terpakai untuk biaya sekolahku. Dan Papa… aku masih mengingat jelas tanganmu yang kasar karena kerja keras dari pagi sampai malam demi membiayai seragam dan buku-bukuku. Aku tidak bisa membalas semua itu, bahkan untuk sekadar mengatakan “terima kasih” saja aku sering lupa.

Maafkan aku, Ma… Pa… kalau aku sering membantah, sering marah, sering merasa kalian tak mengerti aku. Padahal, kalianlah yang paling mencintaiku tanpa syarat, bahkan ketika dunia menolakku. Aku berdiri hari ini karena cinta yang kalian tanamkan sejak kecil, cinta yang tidak pernah menuntut balasan, cinta yang hanya ingin aku bahagia.

Izinkan aku bersimpuh dan menangis di hadapan kalian. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku sadar… bahwa aku tidak akan pernah cukup mampu membalas semua kebaikan kalian. Semoga kelulusanku hari ini menjadi awal kebahagiaan kalian, bukan akhir dari perjuangan kalian. Doakan aku, agar langkah-langkahku ke depan selalu membawa nama baik kalian, Mama… Papa…

2. Sungkeman dalam Tangis Syukur

Ayah… Ibu…

Aku ingin menangis sepuasnya hari ini, bukan karena sedih, tapi karena hati ini penuh sesak oleh syukur yang tak bisa aku ucapkan dengan kata-kata biasa. Aku tahu, tak ada satupun langkah kakiku di dunia ini yang bukan karena langkah kalian yang rela tertatih-tatih membimbingku. Setiap keberhasilanku adalah luka kalian yang sembuh dalam diam.

Ibu, betapa sering aku melihat matamu sembab di pagi hari, karena semalam kau menangis, menghitung sisa uang belanja dan biaya sekolahku. Ayah, aku tahu kau tidak pernah mengeluh meski harus menarik gerobak hingga larut malam demi mencukupi kebutuhan rumah. Tapi aku… aku terlalu sering mengeluh soal tugas dan pelajaran, seolah hidupku paling berat.

Maafkan aku, karena baru hari ini aku menyadari bahwa cinta kalian bukan hanya tentang kata, tapi tentang pengorbanan. Maaf karena aku baru bisa sungkem saat semua ini selesai, padahal kalian pantas dihormati setiap hari. Aku malu… malu karena baru sekarang aku merasakan, betapa besar kalian dalam hidupku.

Hari ini, aku ingin bersujud di hadapan kalian. Tak ada kata lain selain “terima kasih” dan “maaf” yang bisa aku ucapkan dari hati terdalam. Aku berjanji, Ayah… Ibu… apa pun yang terjadi nanti, aku akan terus berjuang bukan hanya untuk diriku, tapi untuk kalian yang tak pernah menyerah dalam mencintaiku.

3. Sungkeman untuk Ibu yang Telah Pergi

Ibu…

Hari ini aku berdiri di hari kelulusanku, mengenakan baju yang dulu selalu kau doakan. Tapi kau tak di sini, Bu… tak ada pelukan hangatmu, tak ada senyummu yang dulu jadi kekuatanku. Yang ada hanya sunyi, dan kenangan tentangmu yang terus hidup dalam hatiku.

Bu, aku masih ingat ketika kau rela tidak makan agar aku bisa membawa bekal ke sekolah. Kau tertawa, padahal aku tahu tubuhmu lemah. Kau berkata, “Ibu kenyang lihat kamu semangat belajar.” Aku menertawakannya dulu… tapi sekarang aku menangis karena tahu artinya terlalu dalam.

Maafkan aku, Bu… aku belum sempat membahagiakanmu. Aku belum bisa membalas semua jasamu. Bahkan saat kau pergi, aku belum cukup dewasa untuk menyadari betapa besar kasihmu. Aku masih sering bermimpi, Bu… kau datang dan mengusap rambutku seperti dulu. Aku terbangun dengan air mata, karena itu hanya mimpi.

Hari ini aku persembahkan ijazah ini untukmu, Bu. Semoga sampai ke surga tempatmu beristirahat. Doamu masih membawaku melangkah, dan rinduku tidak akan pernah padam. Terima kasih, Ibu… terima kasih telah menjadi malaikatku di dunia.

Ilsutrasi siswa bersalaman

Murid menyalami gurunya saat halal bihalal di SD Negeri 4 Menteng, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (9/4/2025). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/YU

4. Sungkeman untuk Ayah yang Diam Tapi Peduli

Ayah…

Kau adalah sosok yang jarang bicara, tapi kehadiranmu selalu menjadi sandaran kuat dalam hidupku. Kau tak pernah berkata “aku sayang kamu,” tapi caramu bangun paling pagi dan pulang paling malam sudah lebih dari cukup untuk mengerti bahwa cintamu jauh lebih dalam dari kata-kata.

Aku ingat betul, Ayah… waktu sepeda sepedaku rusak, kau rela jalan kaki ke tempat kerja supaya aku bisa pergi ke sekolah. Aku masih kecil, tapi kenangan itu tidak pernah hilang. Dulu aku marah karena kau selalu menyuruhku belajar dan tidak bermain. Sekarang aku sadar, itu karena kau tidak ingin aku tumbuh seperti hidupmu yang penuh perjuangan.

Maaf, Ayah… aku sering merasa kau tidak mengerti aku. Aku lupa bahwa semua yang kau lakukan adalah demi masa depanku. Kau sembunyikan letihmu, kau tahan sakitmu, agar aku tidak khawatir. Aku terlalu bodoh untuk melihat itu semua saat masih kecil.

Hari ini, Ayah… aku ingin kau tahu bahwa aku bangga menjadi anakmu. Aku bersyukur terlahir dari tangan-tanganmu yang keras, namun penuh cinta. Semoga di sisa usia kita, aku bisa membuatmu tersenyum bahagia seperti dulu kau membuatku tertawa dengan membelikan permen dari sisa uang rokokmu.

5. Sungkeman Penuh Air Mata Bahagia

Mama… Papa…

Hari ini aku menangis bukan karena sedih, tapi karena hatiku tak sanggup menampung bahagia yang kalian ciptakan. Kalian adalah dua sosok luar biasa yang tidak hanya membesarkanku, tapi membentuk jiwaku dengan cinta, kerja keras, dan ketulusan yang tak pernah aku bayangkan bisa ada di dunia ini.

Ma, aku ingat betapa kau berlari ke rumah tetangga meminjam uang saat aku butuh untuk praktik sekolah. Pa, aku tahu bagaimana kau menyembunyikan rasa sakit di badanmu hanya agar aku tidak khawatir. Tapi aku malah sering marah, sering tidak sabaran. Aku minta maaf, karena aku tidak selalu menjadi anak yang kalian harapkan.

Hari ini, aku tidak akan berbicara panjang. Aku hanya ingin kalian tahu, bahwa setiap langkah yang aku ambil dari pagi hingga malam, setiap doa yang aku panjatkan, selalu menyebut nama Mama dan Papa. Karena kalianlah alasan aku bisa sampai di titik ini.

Ijinkan aku bersimpuh di hadapan kalian, mencium tangan kalian yang telah membesarkanku, dan menangis… menangis karena aku terlalu bahagia memiliki orang tua sekuat dan sebaik kalian. Terima kasih sudah menjadi rumah terbaik dalam hidupku.

6. Sungkeman untuk Orang Tua yang Tidak Berpendidikan Tinggi

Ayah… Ibu…

Kalian mungkin tidak pernah mengecap bangku kuliah. Bahkan sekolah pun kalian tinggalkan demi membantu kakek dan nenek bertahan hidup. Tapi, hari ini aku bisa berdiri sebagai lulusan bukan karena kecerdasanku, melainkan karena ketulusan kalian yang jauh lebih berharga dari gelar apa pun.

Ibu, aku ingat betul saat kau berkata, “Belajarlah yang rajin, Nak. Biar kamu nggak kerja berat kayak Ayah.” Tapi aku tahu, setiap kata itu kau ucapkan dengan menahan air mata, karena ingin anakmu hidup lebih baik darimu. Ayah, tanganmu kasar, bajumu lusuh, tapi bagiku kau selalu tampak paling gagah saat mengantar aku ke sekolah dengan wajah penuh bangga.

Kalian tidak bisa membantuku mengerjakan PR, tidak bisa mengajariku matematika, tapi kalian mengajariku arti tanggung jawab, tekad, dan cinta yang luar biasa. Di saat teman-temanku dibelikan laptop mahal, kalian berpeluh menjual hasil kebun agar aku bisa beli buku bekas.

Maafkan aku, karena dulu sempat malu saat kalian datang ke sekolah dengan pakaian sederhana. Aku bodoh… padahal sekarang, aku menangis karena bersyukur terlahir dari rahim dan darah orang tua yang paling mulia. Hari ini ijazah ini bukan milikku—ini milik kalian, Ayah, Ibu. Karena aku hanyalah perpanjangan dari mimpi kalian yang tidak pernah berhenti kalian perjuangkan.

7. Sungkeman untuk Ibu yang Sakit-Sakitan

Ibu…

Sejak kecil aku tahu tubuhmu lemah. Sering kali kau terbatuk keras, kadang menggigil di malam hari. Tapi kau selalu tersenyum, berkata, “Ibu nggak papa kok, kamu belajar aja yang rajin.” Dan aku pun percaya, sampai aku tumbuh cukup besar untuk tahu: kau menahan sakit demi tidak mengganggu belajarku.

Bu, hari ini aku lulus… aku berhasil menyelesaikan sekolah seperti yang kau doakan tiap malam, meski kadang sambil menahan sesak napas. Aku tahu tubuhmu rapuh, tapi cintamu kuat. Aku tahu langkahmu tertatih, tapi semangatmu menghidupi rumah ini. Tak ada hari dalam hidupku tanpa doamu sebagai pelindung paling kokoh.

Aku terlalu sibuk mengejar nilai, mengejar cita-cita, sampai lupa melihat bahwa kau sedang berjuang lebih berat dari siapa pun. Maaf, Bu… aku jarang bertanya apa kau sudah makan, apa kau butuh bantuan. Aku terlalu fokus pada diriku, padahal hari ini aku sadar: semuanya tidak akan ada tanpa Ibu.

Aku bersimpuh hari ini, Bu. Dengan air mata dan hati penuh penyesalan, aku ingin memelukmu erat, menjadikan kelulusanku sebagai obat kecil untuk rasa sakitmu. Aku berjanji akan menjaga Ibu, akan menjadi anak yang bukan hanya pintar di atas kertas, tapi juga hadir untuk Ibu… seperti Ibu yang tak pernah lelah hadir untukku.

Ilustrasi sungkeman

Sejumlah siswa bersalaman dengan gurunya pada hari pertama masuk sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 11 Aceh Barat, Aceh, Rabu (9/4/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/YU

Momen sungkeman selalu menjadi bagian yang paling menyentuh dalam berbagai perayaan, terutama saat wisuda atau perpisahan.

Melalui naskah sungkeman siswa kepada orang tua, seorang anak dapat mengekspresikan seluruh cinta, syukur, dan permohonan maafnya.

Dengan menyusun kata-kata sungkeman kepada orang tua yang menyentuh hati, kita tidak hanya menyampaikan rasa, tetapi juga merawat nilai-nilai budaya dan spiritual yang luhur.

Baca juga artikel terkait SUNGKEMAN atau tulisan lainnya dari Robiatul Kamelia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Robiatul Kamelia
Penulis: Robiatul Kamelia
Editor: Robiatul Kamelia & Yulaika Ramadhani