Menuju konten utama

Yang Perlu Diketahui dari Persidangan Kasus BLBI dan Peran Boediono

Boediono akan dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan megakorupsi SKL BLBI. Ia adalah anggota KKSK dan Menteri Keuangan saat tindakan yang dianggap merugikan negara itu terjadi.

Yang Perlu Diketahui dari Persidangan Kasus BLBI dan Peran Boediono
Mantan Wakil Presiden Boediono memasuki mobil seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Kamis (27/12/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menghadirkan Boediono dalam persidangan dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kamis (19/7/2018). Wakil Presiden era Kabinet Indonesia Bersatu II akan hadir di persidangan sebagai saksi dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Besok Boediono dan [advokat] Todung Mulya Lubis," kata Humas PN Tipikor Jakarta Sunarso kepada Tirto, Rabu (19/7/2018) malam.

Jaksa KPK Kiki Ahmad Yani enggan merinci informasi apa yang bakal digali dari Boediono pada persidangan. Namun kepada Tirto, Rabu (18/7/2018) malam, ia memastikan tidak menghadirkan Boediono sebagai bekas Menkeu atau ketika SKL BLBI dikeluarkan, namun "sebagai anggota KKSK."

Bukan kali ini saja Boediono bersaksi. Ia pernah hadir ke KPK pada Desember 2017 untuk dimintai keterangan seputar Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada kasus yang sama. KKSK yang dibentuk pada 1999, sebagaimana tertulis pada Keppres 89/1999 tentang KKSK, adalah lembaga yang diberi tugas untuk "merumuskan arah dan kebijakan pengelolaan bank dalam penyehatan dan pengelolaan aset bank yang bermasalah yang diserahkan kepada BPPN."

Arah kebijakan ini kemudian dirumuskan sebagai rekomendasi ke presiden dan ditetapkan dalam Keppres. Keppres ini pada akhirnya jadi pedoman BPPN dalam melaksanakan tugas. Jadi, singkatnya, sementara KKSK bertugas membuat konsep, BPPN eksekutornya. Boediono, yang kala itu salah satu pejabat yang jadi anggota KKSK. Anggota KKSK antara lain Kepala Bappenas, menteri keuangan, menteri BUMN, menteri perindustrian dan perdagangan, dan ketua oleh menko bidang perekonomian, keuangan, dan industri.

Merunut Kasus SKL BLBI

Semua berawal sejak 1997, beberapa bank kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendeknya (kesulitan likuiditas). Salah satu yang diberikan bantuan adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepunyaan Sjamsul Nursalim salah satu obligor atau penerima bantuan likuiditas Bank Indonesia. Pada bank ini Bank Indonesia (BI) mengucurkan bantuan sebesar Rp30,9 triliun, dari total bantuan BLBI mencapai Rp144,5 triliun.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat keluar dari krisis. Namun, penggunaan pinjaman itu merugikan negara karena dana tidak bisa dikembalikan seluruhnya oleh para obligor penerima BLBI.

Dalam laporan FITRA, pada era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya. Inpres ini juga memberikan sanksi terhadap yang tidak kooperatif. Dari Inpres ini melahirkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada lima obligor besar BLBI, salah satunya Sjamsul Nursalim.

Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30,19 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Penyelidikan kasus SKL BLBI ini telah berlangsung sejak 2013. Sekitar tiga tahun penyelidikan, tim KPK akhirnya menemukan dua alat bukti yang bisa menjerat tersangka, sejauh ini baru Syafruddin yang jadi tersangka. Mantan Ketua BPPN periode 2002-2004 itu ditetapkan sebagai tersangka sejak 25 April 2017.

Dalam kasus Syafruddin, KPK menduga Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara. Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017, terkait kasus SKL BLBI ini, kerugian keuangan negara adalah Rp4,58 triliun. Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripada yang sebelumnya diperkirakan KPK sebesar Rp3,7 triliun.

Ihwal peran Boediono terkait pengetahuannya soal penerbitan SKL BLBI, muncul dalam keterangan Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie pada persidangan sebelumnya, Kamis (5/7/2018).

Jaksa, berdasarkan keterangan Kwik, mengatakan ada beberapa pertemuan sebelum surat keterangan lunas dikeluarkan.

Pertemuan pertama berlangsung di kediaman Megawati Soekarnoputri di Teuku Umar; pertemuan tersebut dihadiri oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN dan MA Rahman selaku Jaksa Agung.

Dalam pertemuan itu disepakati kalau surat keterangan lunas bakal diterbitkan untuk para "obligator kooperatif"—merujuk pada pihak yang diberi kucuran dana BLBI yang mau "diajak bicara dan bertemu."

Kwik mengaku sempat menolak pengajuan penerbitan surat lunas. Ia juga mengaku ditekan menteri untuk mendukung kebijakan penerbitan surat keterangan lunas dalam rapat. Namun pemerintah kala itu, yang presidennya Megawati, tetap mengizinkan surat lunas terbit.

Surat ini, yang berlandaskan Inpres 8/2002, pada akhirnya jadi dasar terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada 2004 terhadap 10 tersangka kasus BLBI yang sedang diusut Kejaksaan Agung. Kwik Kian Gie menyebut Boediono berperan dalam menerbitkan SKL BLBI dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino