Menuju konten utama

KPK Periksa Mantan Dewan Gubernur BI dalam Kasus BLBI

KPK mendalami proses pengalihan BDNI pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam penyidikan tindak pidana korupsi kasus BLBI.

KPK Periksa Mantan Dewan Gubernur BI dalam Kasus BLBI
Juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/4). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami proses pengalihan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam penyidikan tindak pidana korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hari ini KPK akan memeriksa mantan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Iwan Ridwan Prawiranata sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

Iwan Ridwan Prawiranata diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT), Jumat (7/7/2017).

"Untuk mantan pejabat Bank Indonesia, kami mendalami proses pengalihan aset atau pengalihan BDNI pada BPPN," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Selain memeriksa mantan pejabat Bank Indonesia itu, KPK memeriksa Jamin Wahab dari unsur swasta juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Dari pihak swasta kami mendalami terkait aset-aset yang ada dari BPPN tersebut," kata Febri, seperti diwartakan Antara.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri