tirto.id - Rizal Ramli beberkan latar belakang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT) sebagai tersangka.
Dalam keterangannya usai diperiksa sebagai saksi oleh KPK pada Selasa (2/5/2017), Mantan Menkeu periode 2000-2001 ini menilai bahwa kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI itu tak lepas dari tekanan IMF kepada pemerintah Indonesia di tengah situasi krisis ekonomi.
"IMF memerintahkan supaya ditutup 16 bank kecil-kecil tahun 1998 tetapi begitu bank kecil ditutup rakyat tidak percaya dengan semua bank Indonesia apalagi bank swasta pada mau menarik uangnya seperti BCA dan Danamon. Bank-bank ini nyaris bangkrut, akhirnya pemerintah terpaksa menyuntik BLBI dalam mata uang dolar AS dan pada waktu itu nilainya sekitar 80 miliar dolar AS," tutur Rizal di Gedung KPK Jakarta.
Ia juga menceritakan bahwa pada waktu itu para pemilik bank yang dibantu kredit BLBI pada dasarnya akan dibantu dengan uang tunai.
"Jadi meminjam tunai harus dikembalikan dengan tunai tetapi pada Pemerintahan Habibie dilobi diganti tidak usah bayar tunai asal menyerahkan aset saham, tanah, dan bangunan perusahaan. Kalau obligornya itu benar dia serahkan aset yang bagus yang sesuai dengan nilainya tapi juga ada kasus-kasus di mana dia menyerahkan aset "busuk" yang nilainya itu tidak sepadan," kata Rizal.
Selain itu, Rizal menekankan bahwa pemanggilannya oleh KPK dalam kapasitasnya sebagai mantan Menko Perekenomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada saat kasus BLBI belum bergulir. “Saya dimintai keterangan karena saya ketahui prosedur proses dalam pengambilan keputusan masalah-masalah yang ada di BPPN," tutur Rizal.
Dalam kasus ini KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT) selaku Ketua BPPN sebagai tersangka. Ia diduga melakukan korupsi atas penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.
Atas penerbitan SKL itu kerugian negara sekurang-kurangnya mencapai Rp3,7 triliun.
Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.