tirto.id - Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Kamis (3/5/2018), KPK resmi melimpahkan berkas perkara Syafruddin Arsyad Tumenggung terkait dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menuturkan, berkas perkara itu telah diserahkan tim jaksa KPK ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah komisi antirasuah memeriksa 83 saksi dan 3 ahli untuk melengkapi berkat tersebut.
Mantan Ketua BPPN periode 2002-2004 itu ditetapkan sebagai tersangka sejak 25 April 2017. Saat ini, kata Febri, KPK masih menunggu jadwal sidang perdana untuk perkara yang merugikan negara sekitar Rp3,7 triliun itu.
Dalam perkara ini, Syafruddin dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Pelimpahan berkas perkara ini menjadi awal pembuktian KPK dalam mengusut tuntas kasus BLBI. Penyelidikan kasus SKL BLBI ini telah berlangsung sejak 2013. Sekitar tiga tahun penyelidikan, tim KPK akhirnya menemukan dua alat bukti yang bisa menjerat Syafruddin setelah memeriksa banyak mantan pejabat di era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Konteks Kasus BLBI
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat keluar dari krisis. Namun, penggunaan pinjaman itu merugikan negara hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana tidak bisa dikembalikan oleh para obligor penerima BLBI.
Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Dalam konteks kasus ini, KPK menduga Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara. Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017, terkait kasus SKL BLBI ini, kerugian keuangan negara adalah Rp4,58 triliun. Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripada yang sebelumnya diperkirakan KPK sebesar Rp3,7 triliun.
Pengusutan Kasus BLBI Sempat Mandek
Meski KPK sudah mulai mengusut perkara BLBI ini sejak 2013, tapi kasus ini seolah-olah jalan di tempat dan tak kunjung naik ke penyidikan. Setelah pergantian kepemimpinan dari Abraham Samad kepada Agus Rahardjo, KPK mulai melanjutkan penyelidikan kasus korupsi SKL BLBI ini dengan memanggil sejumlah saksi.
Pekerjaan rumah KPK akhirnya membuahkan hasil dengan menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka, pada 25 April 2017. Ia diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
KPK menduga pemberian SKL kepada Sjamsul membuat negara merugi hingga Rp3,7 triliun. Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara dalam kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
Tidak terima dengan penetapan tersangka, Syafruddin mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Syafruddin sudah sesuai prosedur.
“Hakim praperadilan berpendapat bahwa prosedur penetapan tersangka yang dilakukan termohon sudah mememuhi bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang mengacu kepada Pasal 184 KUHAP,” kata Effendi Mukhtar saat pembacaan putusan, seperti dikutip Antara.
Hakim Effendi menyatakan, bukti-bukti dari adanya keterangan saksi, keterangan ahli dari BPK RI, dan alat bukti surat sudah memenuhi sahnya penetapan tersangka tersebut.
Penasihat hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra berharap, perkara yang menjerat kliennya itu dapat segera selesai. Akan tetapi, ia tetap bersikukuh KPK telah salah menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. Alasannya, pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim sudah melaksanakan kewajibannya.
"Kalau Pak Sjamsul Nursalim itu sebagai stakeholder Bank BDNI itu sudah melakukan segala kewajibannya untuk melunasi sangkutan dan kemudian itu sudah dikeluarkan tahun 99 dan berarti sudah lunas,” kata Yusril di Gedung Merah Putih KPK Kuningan Jakarta, 18 April lalu.
Menurut Yusril, seharusnya Sjamsul Nursalim tidak menjadi penjamin untuk melunasi utang petani tambak yang tertunggak, tetapi dilunasi oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Pasalnya, pada 2004, BPPN yang dipimpin Syafruddin dibubarkan dan kewajiban tugas itu diserahkan kepada Menteri Keuangan.
"Mungkin KPK salah memahami persoalan ini. Nanti itu yang akan kami kemukakan di persidangan dengan menunjukkan fakta-fakta dan kemudian juga akan memanggil para ahli yang sehingga kasus ini terungkap dengan jelas, dengan benar dan tidak terjadi persepsi apalagi kesalahpahaman sehingga Pak Syafruddin ini dituntut ke pengadilan,” kata Yusril.
Namun, Yusril enggan menyebut nama Menteri Keuangan yang berhubungan dengan perkara BDNI itu. Ia hanya menjelaskan, usai BPPN dibubarkan pada tahun 2004, kewenangan lembaga itu diserahkan kepada Kementerian Keuangan.
Terlepas dari pembelaan Yusril terhadap Syaruddin sebagai kliennya, keputusan akhir ada di tangan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Pihak pengadilan pada Jumat (4/5/2018) telah menunjuk Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Yanto beserta 4 orang hakim anggota untuk mengadili perkara Syafruddin.
Sidang perdana kasus SKL BLBI dengan tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung ini akan digelar Senin (14/5/2018). Sidang perkara ini tidak hanya akan membuktikan apakah Syafruddin terlibat, tapi juga diharapkan dapat membongkar skandal kasus BLBI yang selama ini menjadi sorotan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz