Menuju konten utama

KPK Telusuri Peran KKSK Terkait Penerbitan SKL di Korupsi BLBI

KPK memeriksa Boediono untuk mendalami proses penerbitan SKL dan posisinya saat itu sebagai mantan Menteri Keuangan 1999-2002.

KPK Telusuri Peran KKSK Terkait Penerbitan SKL di Korupsi BLBI
Mantan Wakil Presiden Boediono melambaikan tangan saat memasuki mobil seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Kamis (27/12/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri peran Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dalam proses penyidikan kasus korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Untuk itu, pada Kamis (28/12/2017), KPK memeriksa Boediono untuk mendalami proses penerbitan SKL dan posisinya saat itu sebagai mantan Menteri Keuangan 1999-2002 dan perannya sebagai anggota KKSK saat BPPN mengeluarkan SKL BLBI untuk BDNI.

Wapres RI ke-11 ini diperiksa sebagai saksi untuk tersangka kasus korupsi BLBI mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.

"Tentu yang kita dalami dan kita klarifikasi terkait dengan posisi saksi pada rentang waktu SKL itu diterbitkan yaitu dalam posisi sebagai menteri keuangan dan ada aturannya juga Menkeu dan beberapa pejabat lain juga berperan sebagai anggota KKSK," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (28/12/2017) malam.

Febri menerangkan, penerbitan SKL harus melewati mekanisme tertentu. Dalam penelaahan awal, KPK menemukan bahwa pertimbangan KKSK mempengaruhi penerbitan SKL atau sikap pemerintah terhadap para obligor.

"Kita kan harus cari tahu apakah di KKSK sudah sejak awal kemudian ada rekomendasi penerbitan SKL pada Sjamsul Nursalim atau ada proses yang lain sebenarnya karena KPK menemukan kewajiban dari Samsul nursalim sebagai salah satu obligor di sini belum selesai," kata Febri.

"Jadi tidak tepat kalau kemudian diterbitkan SKL, itu yang kita dalami," tutur Febri.

Febri menambahkan KPK akan memeriksa pihak-pihak yang terkait dengan kasus BLBI. Ia menilai tidak perlu semua pejabat eksekutif saat itu diperiksa untuk mendalami kasus pemberian SKL BLBI.

Pemberian surat keterangan lunas terhadap obligor dilakukan apabila mereka telah membayar kewajiban pelunasan. Namun, KPK menemukan persoalan bahwa ada obligor yang belum memenuhi kewajiban pelunasan sudah diberikan surat keterangan lunas.

"Persoalannya ada di implementasi ternyata ada obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya sampai KPK kemudian bersama BPK menemukan dugaan kerugian negara lebih dari Rp4 triliun. Tentu seharusnya tidak diberikan surat keterangan lunas. Itu yang menjadi poin krusial pendalaman KPK saat ini," jelas Febri.

Sebagai informasi, KPK menemukan bukti baru kerugian negara dalam perkara pemberian SKL BLBI. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara atas pemberian SKL diperkirakan mencapai Rp4,58 triliun. Sebelumnya KPK menyebut kerugian negara atas kasus ini senilai Rp3,7 triliun.

Saat ini, KPK baru menjerat satu tersangka yaitu, Syafruddin Arsyad Temenggung. Dia dijerat sebagai tersangka lantaran diduga menyalahgunakan kewenangan terkait penerbitan SKL tersebut. Diduga, Syafruddin telah memperoleh keuntungan dari penerbitan SKL dan merugikan keuangan negara mencapai Rp 4,58 triliun.‎

KPK telah menahan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan SKL BLBI. Saat ini, Syafruddin tengah ditahan 20 hari di ritan KPk sejak Kamis (21/12/2017).

Syafruddin Temenggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.‎

Korupsi BLBI

Saat terjadi krisis moneter 1998, bantuan BLBI sejenis skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Skema pinjaman ini berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mengatasi krisis moneter. Dana BLBI sejumlah Rp147,7 triliun disalurkan BI ke 48 bank umum nasional pada sekitar Desember 1998.

Dari total dana tersebut, sejumlah Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena penggunaan dana yang tidak transparan dan tidak jelas peruntukannya.

Kejaksaan Agung telah mengusut perkara korupsi BLBI ini namun tak ada kemajuan dalam penyidikan kasusnya. Bahkan saat dipimpin Jaksa Agung MA Rachman penyidikan perkara ini dihentikan dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004.

Dasar penerbitan SP3 itu adalah SKL yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No.8/2002. Padahal Inpres yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Isi SKL tersebut tak lain pemberian jaminan kepastian hukum para debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan Inpres tentang release and discharge.

Singkatnya, inpres tersebut menganggap debitor BLBI sudah menyelesaikan kewajiban meski hanya menyelesaikan utang 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Beberapa nama pengusaha yang memiliki sertifikat bukti ini dinyatakan bisa di-SP3 yakni Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hard news
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri