tirto.id - Kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung akhirnya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis sore (21/12/2017) di Jakarta.
Syafruddin keluar Gedung KPK, sekitar pukul 15.54. Ia tampak mengenakan rompi oranye yang biasa digunakan para tahanan KPK. Syafruddin mengaku akan patuh dengan proses hukum.
“Saya kira, saya menjalani dengan sebaik-baiknya. Saya akan patuh dengan semua aturan,” kata Syafruddin sebelum masuk ke dalam mobil tahanan.
Penahanan ini dilakukan setelah Syafruddin mengemban status tersangka pada 25 April 2017. Syafruddin tak berkomentar lagi setelah masuk ke dalam mobil tahanan. Ia akan menjalani penahanan untuk 20 hari pertama di rumah tahanan KPK.
Syafruddin menjadi tersangka setelah penyidik menemukan bukti permulaan cukup mengenai dugaan korupsi pada pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham dalam hal ini Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 13 tahun lalu.
Penerbitan SKL pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada BPPN. Kasus ini terjadi saat Syafruddin menjabat Ketua BPPN periode 2002-2004. Akibat perbuatannya, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp3,7 triliun.
Dalam perkara ini, Syafruddin dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Bukan Pidana Pertama
Kasus yang menjerat Syafruddin saat ini bukanlah kasus yang pertama. Pada 2006, Syafruddin sempat tersandung kasus pidana di Kejaksaan Agung yang kala itu dipimpin Abdul Rahman Saleh. Ia menjadi tersangka dalam perkara penjualan aset Pabrik Gula Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang sekarang menjadi Rajawali III Gorontalo.
Kejagung juga menjerat Syafruddin dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPPN. Penjualan pabrik gula itu diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp516 miliar. Sebab, Syafruddin menjual pabrik tersebut senilai Rp84 miliar sedangkan nilai taksir aset itu mencapai Rp600 miliar.
Kasus ini kemudian dihentikan pada Juni 2007. Jaksa Agung Hendarman Supandji menganggap kasus ini tak cukup bukti dan akhirnya menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan bernomor Print-01/O.1.14/Ft/06/2007.
Satu dasawarsa setelah kasus pertama pada 2006, Syafruddin juga kembali jadi tersangka Kejaksaan Agung yang dipimpin M Prasetyo tepatnya 23 September 2016. Saat itu, Syafruddin dijerat dalam kasus dugaan pembelian hak tagih (cessie) PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) dari BPPN pada 2003. Dalam kasus ini, Syafruddin pun dijerat dalam kapasitasnya sebagai mantan Kepala BPPN.
Beberapa bulan setelah dijerat Kejagung, KPK juga menjerat Syafruddin. Kali ini, kasus yang dijeratkan adalah kasus SKL BLBI.
Konteks Kasus Pemberian SKL BLBI
Penyelidikan kasus SKL BLBI ini telah berlangsung sejak 2014 lalu. Tiga tahun penyelidikan, tim KPK akhirnya menemukan dua alat bukti yang bisa menjerat Syafruddin setelah memeriksa banyak mantan pejabat di era Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri.
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat keluar dari krisis. Namun, penggunaan pinjaman itu merugikan negara hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana tidak bisa dikembalikan oleh para obligor penerima BLBI.
Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Dalam konteks kasus ini, KPK menduga Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara. Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017, terkait kasus SKL BLBI ini, kerugian keuangan negara adalah Rp4,58 triliun. Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripada yang sebelumnya diperkirakan KPK sebesar Rp3,7 triliun.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih