Menuju konten utama

Kwik Kian Gie Mengaku Ada Tekanan Saat Rapat Penerbitan SKL BLBI

Kwin Kian Gie mengaku sempat menolak penerbitan SKL BLBI.

Kwik Kian Gie Mengaku Ada Tekanan Saat Rapat Penerbitan SKL BLBI
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Kwik Kian Gie keluar dari Gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Selasa (6/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas Kwik Kian Gie mengaku sempat menolak pengajuan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Namun, pemerintahan kala itu yang dipimpin Megawati Soekarnoputri akhirnya tetap mengizinkan penerbitan SKL kepada para obligor BLBI. Hal itu terjadi akibat tekanan menteri dalam rapat kabinet membahas pemberian SKL.

Hal itu disampaikan Kwik saat bersaksi dalam persidangan korupsi pemberian SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (5/7/2018).

"Prinsip bahwa pemerintah menerbitkan SKL saya sangat menentang dan saya berhasil menggagalkan dua kali. Tetapi ketika ketiga kalinya, diadakan rapat sidang kabinet terbatas maka saya kalah oleh karena saya langsung menghadapi apa yang saya sebut total football," kata Kwik.

Jaksa pun membacakan BAP Kwik dalam perkara Syafruddin. BAP tersebut memaparkan ada 3 pertemuan sebelum pengesahan SKL. Pertemuan pertama berlangsung di kediaman Megawati di Teuku Umar. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN dan MA Rahman selaku Jaksa Agung.

Rapat tersebut menjelaskan rencana penerbitan SKL untuk para obligor kooperatif. Kooperatif yang dimaksud dalam rapat tersebut adalah pengusaha yang mau diajak bicara dan bertemu. Namun, Kwik menolak pembahasan karena bukan rapat resmi di Istana.

Kemudian, jaksa mengungkapkan pertemuan kedua di Istana Negara. Pembahasan rapat di Teuku Umar kembali diungkapkan di Istana. Rapat pun kembali dihadiri Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Boediono, Laksamana Sukardi, MA Rahman, dan Presiden Megawati. Kwik kembali menolak proposal tersebut. Dalam rapat kedua, Presiden kembali tidak mengambil sikap.

Jaksa pun menjelaskan, rapat pembahasan penerbitan SKL digelar kembali untuk ketiga kali. Rapat kembali dihadiri pihak yang rapat di rapat kedua. Kwik tetap bersikukuh menolak karena ingin pemberian SKL baru bisa dilakukan apabila para pengusaha membayar tunai hingga lunas. Namun, Presiden Megawati akhirnya sepakat mengeluarkan SKL sesuai hasil rapat.

Kwik pun membenarkan berita acara tersebut. Pria yang juga ex officio Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) itu mengaku ditekan menteri dalam rapat untuk mendukung kebijakan penerbitan SKL.

"Memang seperti itu. Bisa saya gambarkan di dalam rapat sidang kabinet yang terakhir di sidang kabinet terbatas saya tidak banyak protes, tidak banyak mengemukakan pendapat oleh karena saya tidak berdaya. Memang pembicaraan dari para menteri yang langsung saja mengambil inisiatif untuk berbicara bertubi-tubi akhirnya secara senda gurau saya katakan bahwa saya dihadapkan kepada total football langsung dihantam semua menteri sehingga saya tidak berdaya untuk bicara apa saja dan akhirnya Presiden Megawati menutup rapat dengan mengatakan 'ya'," kata Kwik.

Jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak.

Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.

Syafruddin didakwa menerbitkan SKL untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah.

Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dipna Videlia Putsanra