tirto.id - Sidang perkara kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) kembali digelar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (6/6/2018).
Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan mantan Menteri Keuangan era Presiden B.J. Habibie Bambang Subianto sebagai saksi terhadap terdakwa SAT.
Dalam persidangan, Subianto menceritakan alasan di balik pembentukan BPPN. Subianto menerangkan, pembentukan lembaga negara tersebut untuk mencegah dampak parah krisis berkepanjangan pada tahun 1998.
"Pada waktu itu krisis berat semuanya panik, semua ambil duit di bank, memborong bahan-bahan makanan. Inflasinya meningkatnya 100 persen, dolar mencapai Rp15 ribu," ujar Subianto saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Pemerintah membentuk BPPN agar aset perbankan tidak mengalami gangguan. BPPN bertugas untuk memberikan pinjaman kepada seluruh perbankan yang dikhawatirkan mengalami gangguan aset. Apabila tidak ditindaklanjuti, Subianto mengklaim negara akan mengalami kekacauan.
"Kalau pada waktu itu tidak dilakukan apa-apa barangkali Indonesia sudah tenggelam. Karena yang gawat waktu itu sistem pembayaran, ini sesuatu yang kalo dia macet, tidak satu orang pun bisa ambil uang di bank. Kalau situasi semacam itu terjadi, saya enggak bayangkan kekacauan sosial," jelasnya.
Jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak.
Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.
Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah.
Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dipna Videlia Putsanra