tirto.id - Pengadilan Tipikor Jakarta akan mengeluarkan putusan sela terhadap terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung, hari ini, Kamis (31/5/2018). Hal itu dilakukan setelah jaksa membacakan tanggapan atas eksepsi terdakwa dalam perkara korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) BLBI, Senin (28/5/2018).
Pihak Humas pengadilan Tipikor Jakarta Sunarso membenarkan agenda sidang putusan sela Syafruddin. Pengadilan pun merencanakan pembacaan putusan sela pagi hari.
"Iya, benar [pembacaan putusan sela Syafruddin]. Jam 09.00 WIB," kata Sunarso saat dihubungi Tirto, Rabu (30/5/2018) malam.
Dalam persidangan Senin lalu, jaksa menolak isi eksepsi (tanggapan atas dakwaan) terhadap Syafruddin. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu menanggapi ada kesalahan dalam dakwaan KPK.
Dakwaan dianggap salah sasaran karena Syafruddin baru menjabat sebagai Ketua BPPN pada 22 April 2002. Syafruddin dianggap tidak bisa mengubah kebijakan MSAA (Master Settlement And Acqisition Agreement) sebagai perjanjian perdata antara pemerintah dengan Sjamsul Nursalim selaku penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Permasalahan hutang Sjamsul pun dianggap selesai berdasarkan dokumen Release and Discharge untuk Sjamsul. Dokumen tersebut telah ditandatangani antara BPPN, Menteri Keuangan RI dan Sjamsul Nursalim pada tanggal 25 Mei 1999. Menteri Keuangan telah menyatakan Final Closing atau permasalahan hutang selesai berdasarkan dokumen Release and Discharge yang telah ditandatangani antara BPPN, Menteri Keuangan RI dan Sjamsul Nursalim pada 25 Mei 1999.
Tim penasihat hukum pun tetap berdalih bahwa dakwaan tidak sesuai meskipun Syafruddin menjadi pejabat BPPN. Tim penasihat hukum berpendapat, Syafruddin tidak pernah menjual aset selama menjadi Ketua BPPN. Ia pun dianggap hanya menjalankan perintah KKSK dengan melakukan penagihan kepada Sjamsul Nursalim dengan meminta komitmen Sjamsul Nursalim untuk menandatangani perjanjian pada 29 November 2002.
Dengan fakta bahwa Sjamsul Nursalim menandatangani Perjanjian tanggal 29 November 2002 itu sebagai bukti komitmen yang menempatkan Sjamsul Nursalim sebagai salah satu pemegang saham yang kooperatif saat itu. Hal itu diperkuat dengan Laporan Audit BPK Laporan BPK No. 34G/30 Nopember 2006 yang menyatakan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim sudah tepat karena sudah dilakukan sesuai Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 atau Inpres Release and Discharge.
Jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak. Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjorojakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S Nursalim.
Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah.
Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri