tirto.id - Kapal terakhir dari Tigaras tujuan Pelabuhan Simanindo akan berangkat pukul lima. Senin sore itu, 18 Juni, cuaca tampak mendung, dan dermaga ramai dirayapi orang-orang. Keluarga Maria Sidauruk salah satunya. Mereka sedang mengantar keluarga iparnya yang ingin pulang ke Pematangsiantar. Hari itu di Pulau Samosir memang ada acara keluarga bernama pesta tugu—tradisi sekeluarga menziarahi makam ompungnya.
Karena sudah lama tak jumpa, Maria sempat meminta keluarga iparnya untuk tinggal lebih lama di Samosir. “Lagi pula besok masih libur,” kata Maria. “Tapi, mereka bilang mau pulang aja. Makanya kami kejar kapal itu kemarin.”
Kapal Motor (KM) Sinar Bangun yang akan ditumpangi saudaranya sudah tampak ramai saat mereka tiba, sekitar pukul empat sore. Beberapa orang mengantre untuk menaikkan motor mereka ke kapal, yang lainnya sudah duduk. Total keluarga Maria ada 12 orang: saudara ipar, istri dan anak-anaknya, serta beberapa kerabat dekat lain.
Suasana ramai dan kapal wisata yang penuh penumpang memang pemandangan wajar di dermaga-dermaga Danau Toba, terutama saat musim liburan. Para penumpang memang tak perlu antre beli karcis dulu di loket. Cuma perlu mendatangi petugas kapal yang biasanya berdiri dekat kapal, lalu bertanya apakah masih ada slot kosong?
Kalau dijawab ya, artinya silakan naik, dan membayar karcis nanti ketika kapal sudah jalan. Karcisnya juga tak benar-benar ada bentuk fisiknya. Sehingga ketiadaan manifes, apalagi keterangan asuransi penumpang, merupakan sesuatu yang lazim.
Bagi orang-orang yang biasa berwisata ke Danau Toba, tak ada hal yang aneh hari itu. Keluarga Nainggolan cuma perlu membayar karcis Rp8 ribu per orang.
Maria ingat melihat polisi yang mengawasi KM Sinar Bangun saat kerumunan penumpang naik ke kapal. “Yang naik memang ramai sekali. Lebih seratusan, mungkin dua ratusan,” kenang Maria. Ia ingat puluhan sepeda motor sudah diikat di lantai satu kapal dan penuh di pinggirannya.
Meski ia merasa ganjil dengan muatan kapal itu, Maria tak mengira bahwa KM Sinar Bangun akan bernasib nahas. Ia menunggu kapal itu berangkat, lalu bersama suami dan keluarga lain melanjutkan perjalanan pulang ke arah Tarutung.
Di atas kapal yang baru beberapa menit berangkat, Eka Handayani sempat membuat panggilan video dengan adik sepupunya di rumah di Tebingtinggi. Ia mengabarkan sedang berlayar dari Simanindo menuju Tigaras.
“Cuacanya mendung, Dek. Angin kencang. Ombaknya juga tinggi. Takut kami, doakan kakak, ya,” ujar Sri Wahyuni, sepupu Eka, menuturkan kepada saya. Ia mengulangi kata-kata Eka sebelum koneksi video call itu terputus.
Eka, pacarnya Irwan Syahputra, dan dua keponakan mereka, Ilham Lubis dan Tami Melani, pamit dari rumah untuk jalan-jalan ke Balige, Toba Samosir.
Wahyuni berkata bahwa keluarga sebetulnya tidak tahu mereka berempat akan naik kapal dari Simanindo ke Tigaras. “Mungkin emang sekalian jalan-jalan, jadi main ke Samosir,” tambah Wahyuni.
Panggilan yang putus itu disangka adik sepupu Eka disebabkan kuota internet yang kandas, kalau tidak karena sinyal. Masih tak ada firasat buruk.
Sekitar setengah jam setelah berlayar, angin semakin kencang mengempas KM Sinar Bangun. Kata Muhammd Fikri, salah satu penumpang di lantai tiga, kapal mulai oleng ke sisi kanan. Penumpang mulai panik. Banyak yang jatuh ke danau. Teriakan dan lolongan tolong mengisi udara di tengah danau terbesar se-Asia Tenggara itu.
Orang-orang menangis. Orang-orang menjerit.
Hanya dalam hitungan menit, lebih separuh lambung KM Sinar Bangun tenggelam. Dalam sebuah video yang telah kami konfirmasi kepada Kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho, kapal itu tampak jatuh miring ke sisi kanan. Puluhan orang sempat bertahan di atasnya. Puluhan lain berusaha keras berpegangan di pinggiran kapal, menggapai pada pegangan agar tak makin tenggelam. Sebagian lain mengapung di sekitar kapal.
Mereka terus berteriak. Mereka terus minta tolong. Mereka melambai-lambai ke arah daratan.
Dalam menit-menit berikutnya seluruh lambung kapal tenggelam. Membawa sejumlah orang yang terjebak di lantai dua dan satu.
Sekitar sejam kemudian, sebuah kapal feri—Kapal Motor Penumpang Sumut II—melintasi titik itu. Bangkai KM Sinar Bangun sudah tak tampak. Tinggal sejumlah orang—tampak lebih dari dua puluh orang—masih berusaha mengapung di atas air.
Dalam sebuah video amatir lain yang terkonfirmasi Sutopo, sejumlah orang di KMP Sumut II berusaha menyelamatkan korban Sinar Bangun dengan melempar ban. Namun, KMP Sumut II hanya bisa menyelamatkan tiga orang.
Dodi Max Silalahi, Kapten KMP Sumut II, memutuskan meninggalkan korban Sinar Bangun dengan alasan cuaca buruk. Kepada para wartawan yang berkumpul di Simanindo, ia berdalih hal itu dilakukan demi keselamatan penumpang kapalnya. Pada saat yang sama, Kapten Dodi berkata telah menghubungi KMP Sumut I untuk datang menyelamatkan sisa korban.
Ratusan orang lain hingga kini masih hilang. Termasuk 12 anggota keluarga Nainggolan dan empat orang keluarga Eka Handayani.
Hanya ada 19 orang yang berhasil diselamatkan KMP Sumut I dan KMP Sumut II. Salah satunya Fikri. Ia dan Rahman, kawannya dalam satu komunitas Vespa, berhasil selamat karena berpegangan pada helm. Sementara 10 kawan mereka yang juga naik KM Sinar Bangun termasuk di antara daftar korban hilang.
Setibanya di darat, di ujung petang Senin itu, Fikri dan Rahman bingung ingin menyampaikan kabar pada keluarga kawan-kawan mereka, termasuk keluarga Edi Wibisono. Fikri menghubungi tetangga Edi untuk menyampaikan kabar itu. Tapi, kata Aida Damanik, tante Edi, isi kabar itu masih sepotong-sepotong. Mereka masih tak tahu bahwa Edi termasuk korban hilang. Barulah pada malam hari keluarga makin cemas. Akhirnya, mereka memutuskan berangkat dari rumah mereka di Indrapura menuju Tigaras.
Hingga Kamis kemarin, 21 Juni, Edi dan sembilan kawan lain masih belum ditemukan.
Aida, yang bersama orangtua Edi menginap di Tigaras, hanya berharap jenazah keponakannya dapat ditemukan untuk bisa dimakamkan keluarga.
“Kalau berharap anak kami itu masih hidup, kami udah pasrah. Yang penting, tolonglah jasadnya bisa pulang sama kami. Biar bisa kami makamkan.”
Aida pulang dengan kegetiran dan tangan kosong. Ia kembali ke Indrapura.
Lima Kali Lipat dari Muatan Normal
Tak ada manifes bikin pencarian korban bermasalah. Paling fatal, tak ada yang tahu berapa jumlah sebenarnya penumpang KM Sinar Bangun.
Semula kabar yang beredar bahwa kapal ditumpangi 80-an orang. Taksiran ini mencocokkan berat muatan kotor yang bisa ditampung KM Sinar Bangun sebesar 17 ton. Setidaknya, angka itu yang tertera dalam sertifikat kapal, kata Kapolres Simalungun AKBP Marudut Liberty Panjaitan kepada wartawan di Tigaras.
Dengan berat muatan itu, seharusnya KM Sinar Bangun cuma bisa menampung 40-an penumpang.
Ketidakjelasan angka penumpang akhirnya menjadi simpang siur tentang jumlah korban. Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto sempat menyebut jumlah korban mencapai 98 orang pada Senin petang (18/6), tapi diralat Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjadi 39 orang pada Selasa (19/6).
Polri bersama TNI, BPBD, BNPB, dan Basarnas kemudian membentuk tim gabungan berisi 350 personel dan membangun posko di sekitar Pelabuhan Tigaras untuk mendata siapa saja korban-korban kecelakaan. Masyarakat yang panik karena keluarganya tak bisa dihubungi berduyun-duyun datang.
Aida, Sri Wahyuni, dan Maria adalah sebagian kecil dari keluarga korban yang langsung datang ke Tigaras dan Simanindo di hari nahas itu. Hingga Kamis kemarin, total korban yang masih hilang tercatat 193, berdasarkan manifes dadakan yang diisi keluarga korban.
Kelalaian Dijadikan Kebiasaan
Pencarian terkendala kedalaman titik lokasi tenggelamnya kapal yang mencapai 450 meter. Suhu air Danau Toba yang dingin dan rumput danau yang tinggi jadi faktor lain, menurut Budiawan, Kepala Kantor SAR Pencarian dan Pertolongan Medan.
Di Jakarta, dalam konferensi pers Kementerian Perhubungan, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP)—semula bernama Basarnas—Marsekal Madya TNI Syaugi menyebut cuaca dan kesalahan manusia (human error) jadi faktor utama kecelakaan ini. Jumlah korban hingga 200-an orang adalah akumulasi dari sejumlah kesalahan yang sudah bertumpuk.
Fakta tidak ada rompi keselamatan yang mencukupi jumlah penumpang, tidak ada biaya retribusi tiket atau karcis, dan tidak ada jadwal pelayaran yang jelas menjadi poin utama kelalaian tersebut. Padahal, KM Sinar Bangun adalah jenis pelayaran umum yang sehari-hari dipakai di dermaga-dermaga Danau Toba.
Namun, kelalaian tanpa karcis, jaket pelampung, dan manifes bukan hal baru. Ini diamini Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi. Ia berdalih bahwa penanggung jawab kejadian nahas sebenarnya bukan syahbandar, melainkan dari UPT Dinas Perhubungan setempat.
Kelalaian yang dipelihara KM Sinar Bangun akhirnya jadi hal yang dianggap biasa, karena kurangnya pemantauan pihak berwajib. Sebab, kapal itu nyatanya mengantongi surat izin berlayar untuk tanggal 23 April 2018 hingga 22 April 2019. Namun, keterangan karakter kapal dalam surat berbeda dari kondisi fisik aslinya.
Berat kotor muatan yang bisa ditampung KM Sinar Bangun bukan 17 gross ton. Ia diprediksi Kementerian Perhubungan punya berat 35 gross ton. Tinggi kapal itu juga tak sesuai administrasi. Dalam surat, tingginya hanya 1,5 meter, sementara aslinya punya tiga lantai.
Maladministrasi ini sebenarnya menguarkan bau menyengat lainnya: seberapa dalam permainan gelap yang bikin kapal legal ini justru akhirnya beroperasi secara ilegal?
========
Revisi: Penyebutan berat tonase kapal yang keliru telah diperbaiki.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam