Menuju konten utama

Di Balik Lambannya Penyelamatan Korban KM Sinar Bangun

Kepala BNPP menegaskan, pencarian korban KM Sinar Bangun bukanlah soal mudah. Selain karena cuaca dingin, kabut juga menutupi area sekitar Danau Toba.

Di Balik Lambannya Penyelamatan Korban KM Sinar Bangun
Personel Basarnas bersiap melakukan pencarian korban KM Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba, Simalungun, Sumatra Utara, Selasa (19/6/2018).ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi.

tirto.id - Kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba, pada Senin sore (18/6/2018) menyebabkan hilangnya puluhan hingga mungkin ratusan orang yang hendak menyeberang ke Pelabuhan Tigaras. Penanganan korban yang cenderung lama menjadi salah satu perhatian dalam musibah itu.

Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) ---dulunya Basarnas--- Marsekal Madya TNI Syaugi mengatakan bahwa jarak dari kantor BNPP menuju lokasi cukup jauh, yakni sekitar 10,3 mil atau sekitar 16 Km. Jarak yang cukup jauh dan cuaca yang berangin menjadi hambatan utama, sementara korban terombang-ambing di danau seluas 1.130 km persegi tersebut.

“Kami terima laporan itu jam 17.40 [WIB]. Jam 18.00 kami sudah bergerak menuju ke lokasi kejadian perkara sesuai informasi UPT di bawah [koordinasi] Dinas Perhubungan di sana. Jarak dari kantor SAR di Parapat menuju lokasi membutuhkan 40 menit,” kata Syaugi di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu (20/6/2018).

Pencarian pada hari itu, kata dia, berlangsung tanpa henti hingga sekarang. Namun pencarian dengan metode menyelam dihentikan pada pukul 12.25. Menyelam baru kembali dilakukan pada pagi hari pukul 04.00 di hari berikutnya atau Kamis (21/6/2018).

“Saat itu kondisinya berangin dan air sangat dingin. Bagaimana dinginnya seorang penyelam harus melakukan penyelaman. Kami fokuskan saat hari terang lah,” kata Syaugi.

Menurut Syaugi, pihaknya hanya mengetahui informasi itu dari unit pelaksana tenis setempat. Syaugi menjelaskan tidak ada pemberitahuan dari kapal sebelum kecelakaan.

BNPP memiliki alat yang dinamakan Earth Orbit LUTs (MeoLUT) untuk mendeteksi keadaan kapal. Namun, kata dia, KM Sinar Bangun tak dilengkapi dengan peralatan untuk mengirimkan sinyal bantuan sehingga tak bisa memberitahukan keadaan. Akibatnya, BNPP baru bisa berangkat setelah mendapat pemberitahuan dari UPT setempat.

Padahal, menurut informasi dari petugas Dinas Komunikasi dan Informatika, lokasi tenggelamnya kapal KM Syaugi hanya berjarak 2 Km dari Pelabuhan Tigaras. Syaugi menegaskan, pencarian ini bukanlah soal mudah. Selain karena cuaca dingin, kabut juga menutupi area sekitar Danau Toba.

Danau Toba juga mempunyai kedalaman yang lebih daripada yang diperkirakan. Menurut Syaugi, kedalaman lokasi tenggelamnya kapal mencapai 300 hingga 500 meter. Pada kedalaman ini, BNPP harus menggunakan alat untuk pencarian.

"Tidak ada manusia yang bisa menyelam sampai kedalaman segitu," kata Syaugi menegaskan.

Untuk pencarian pada kedalaman tersebut, BNPP menggunakan alat remote under vehicle. Alat ini juga hanya bisa mencapai pada kedalaman 300 meter. BNPP masih mencari cara untuk bisa mencari pada kedalaman lebih dari itu.

"Melihat sampai 300 meter lebih, kami punya alat lebih besar lagi, tapi harus dipakai di kapal yang lebih besar, tapi enggak bisa dipakai di sini,” kata dia.

Apabila nanti memang ada bangkai kapal yang berada di bawah danau, Syaugi meyakini bisa mengangkat kapal tersebut dengan tali baja. Ia optimistis karena kejadian pengangkutan kapal bukan pertama kali dilakukan.

Perhatian pada Transportasi Air

Pengamat pelayaran dari lembaga Nasional Maritime Institute, Siswanto Rusdi, menilai bahwa secara hukum, kapal-kapal kayu tersebut memang ilegal. Hal ini dipertegas dengan fakta tidak adanya rompi keselamatan yang mencukupi dengan jumlah penumpang, tidak ada biaya retribusi tiket, dan tidak ada jadwal pelayaran yang jelas.

Namun, kata dia, seharusnya pemerintah, melalui petugas syahbandar dari Kementerian Perhubungan bisa memfasilitasi hal itu. “Ini kan kapal tradisional. Inilah yang harusnya dibina oleh syahbandar. Dia kan disebut ilegal karena syahbandar enggak mau membina, dia menutup mata,” kata Siswanto.

Ia menambahkan “Seharusnya syahbandar fokus. Seharusnya mereka malah fokusnya double ke kapal tradisional ini karena kapal tradisional enggak ada standar keselamatan.”

Menanggapi hal itu, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi mengatakan bahwa pelayaran KM Sinar Bangun sudah sering terjadi. Penanggung jawabnya bukanlah syahbandar, melainkan dari UPT Dinas Perhubungan setempat.

"Menjadi ilegal ketika dia mengangkut melebihi kapasitas dan tidak menyertakan life jacket sesuai kapasitas," kata dia.

Infografik CI Kecelakaan Kapal di Indonesia

Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi mengklaim, pihaknya tidak abai pada transportasi air yang juga digunakan pada mudik Lebaran 2018. Ia mengaku sudah pergi ke beberapa tempat untuk menegaskan standar keamanan dan pelayanan maksimal bagi transportasi air. Seharusnya kejadian kecelakaan kapal karena kelebihan muatan dan tak ada life jacket tidak terjadi lagi.

"Di Kaliadem juga kami lakukan suatu persiapan-persiapan. Bahkan saya sudah ke sana dan tadi relatif lebih baik. Jadi dari manifes, SIB sedikit bandel, dan life jacket mungkin 5 persen [saja] enggak pakai. Itu ada satu kemajuan," kata dia menambahkan.

Budi Karya meyakini, apabila tidak ada kelebihan muatan dan ada life jacket, masalah kapal tinggal pada uji kelayakan kendaraan melalui uji KIR dan ram check. Apabila semua sudah dipenuhi, seharusnya tidak ada masalah pada perjalanan kapal.

Menindaklanjuti kejadian di Danau Toba, Budi Karya menambahkan bahwa Kemenhub telah memanggil pihak penanggung jawab kapal kayu agar meningkatkan standar keselamatan.

"Dari 40 kapal kayu di Danau Toba ini semuanya bersepakat meningkatkan aspek keselamatan," tegas Budi.

Baca juga artikel terkait KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz