tirto.id - Kapal kayu KM Sinar Bangun yang berlayar dari Pelabuhan Simanindo menuju Pelabuhan Tigaras mengalami kecelakaan di Danau Toba, Sumatera Utara, Senin sore, 18 Juni 2018. Evakuasi terhadap korban dalam insiden ini terkendala tidak adanya manifes penumpang.
Ketiadaan manifes sempat membuat simpang siur jumlah korban. Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto sempat menyebut jumlah korban mencapai 98 orang pada Senin petang (18/6) dan kemudian diralat Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjadi 39 orang pada Selasa esok harinya (19/6).
Polri bersama TNI, BPBD, BNPB, dan Basarnas kemudian membentuk tim gabungan berisi 350 personel dan membangun posko di sekitar Pelabuhan Tigaras untuk mendata siapa saja korban-korban kecelakaan. Masyarakat yang panik karena keluarganya tak bisa dihubungi berduyun-duyun datang.
Hingga Rabu (20/6/2018), tim berhasil mendata 178 orang yang diduga menjadi korban dalam insiden itu. “Sementara ini masih kami data,” kata Yusri di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Rabu siang.
Tim gabungan kini merencanakan 7 hari waktu pencarian korban dan akan ditambah 3 hari, bila diperlukan. Yusri menyebut tim sedikit terkendala hujan dan angin kencang. Evakuasi pun dilakukan dengan modal data dari laporan keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarganya.
“Enggak ada data resmi penumpang karena terkendala tidak ada manifes,” kata Yusri.
Berdasarkan ketiadaan manifes ini, Kapal SM Sinar Baru pun diduga kapal ilegal. Dugaan ini diakui Kombes Yusri yang menyebut kapal ini punya sistem "penumpang naik, bayar di tempat".
Kondisi seperti ini yang membuat polisi kian kebingungan mencari siapa saja korban dalam insiden Senin sore itu. Polisi hanya bisa mengandalkan data laporan keluarga sembari berusaha meminta keterangan dari nakhoda kapal.
Saat dihubungi Tirto, Kapolres Samosir AKBP Agus Djarot mengatakan polisi kini sedang menunggu kondisi sang nahkoda pulih untuk bisa dimintai keterangan. “Nanti kami koordinasi dengan pihak terkait,” kata Agus.
Saling Lempar Tanggung Jawab Pengawasan
Soal legalitas kapal, Siswanto Rusdi yang merupakan pengamat pelayaran dari lembaga Nasional Maritime Institute, menyebut kapal-kapal kayu tersebut memang ilegal secara hukum. Pandangan ini didukung fakta lapangan terkait fasilitas penunjang keselamatan yang tidak sesuai standar seperti ketersediaan rompi pelampung, tidak ada biaya retribusi tiket, dan tidak ada jadwal pelayaran yang jelas.
Masalah seperti ini, kata Siswanto, seharusnya bisa dibereskan pemerintah melalui petugas syahbandar dari Kementerian Perhubungan. “Ini kan kapal tradisional. Inilah yang harusnya dibina syahbandar. Dia kan disebut ilegal karena syahbandar enggak mau membina, menutup mata,” kata Siswanto kepada Tirto.
Ia menyebut Kementerian Perhubungan sebenarnya memiliki regulasi yang mengatur syarat, izin, dan standar keamanan kapal kecil di bawah 500 gross ton (GT). Regulasi itu adalah Surat Keputusan Jenderal Perhubungan Laut Nomor Um.008/9/20/DJPL-12 tentang Pemberlakuan Standar dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia atau Standar Kapal Non Konvensi (SKNK).
Standar itu memuat detail material bahan, konstruksi, kelistrikan, hingga alat keselamatan yang harus tersedia di dalam kapal. Pada pelaksanaan di lapangan, petugas syahbandar malah mengalihkannya fokus pengawasan yang seharusnya mereka lakukan terhadap kapal kayu ini ke pemerintah daerah, sedangkan syahbandar fokus pada kapal berbobot 500 GT ke atas.
“Seharusnya syahbandar fokus, karena kapal tradisional enggak ada standar keselamatan.”
Pelimpahan pengawasan yang diberikan kepada Pemda dianggap Siswanto tak tepat. Ia menyebut pelabuhan kebanyakan dimiliki oleh Unit Pelaksana Teknis Kemenhub, sehingga Pemda dan Pemprov tak mempunyai wewenang penuh soal penanganan kecelakaan laut di daerah tersebut.
“Lagipula keselamatan kan negara yang menjamin. Di dalam aturannya, keamanan harusnya Dirjen Perhubungan Laut. Jangan lagi disalahkan Pemda. Pemda itu kan dia kebagian pelimpahan saja. Kemenhub ini hal remeh-temeh dikasih ke Pemda yang ada duitnya dia kangkangin. Ini kan enggak fair,” kata Siswanto.
Apa yang disebutkan Siswanto tak banyak dibantah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menhub Budi mengakui tanggung jawab izin pelayaran di daerah memang di tangan pemerintah daerah.
Budi mengatakan Kemenhub akan berkoordinasi dengan pemda untuk mengevaluasi masalah kecelakaan dalam transportasi laut. “Kami akan berusaha lakukan konsolidasi nanti,” kata Budi pada Tirto.
Sementara terkait legalitas dan pengawasan kapal, Budi mengaku Kemenhub sulit untuk menertibkan. “Kami enggak mudah untuk menangani karena itu ranahnya pemda juga.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih