Menuju konten utama

Kisah-Kisah Kapal Karam Menelan Ratusan Korban Manusia

KMP Tampomas, KM Digoel, KM Senopati Nusantara—semuanya menjadikan negara kepulauan ini terus memunggungi sejarah.

Kisah-Kisah Kapal Karam Menelan Ratusan Korban Manusia
Petugas gabungan menunggu kapal SAR yang membawa kantong berisi jenazah korban KM Sinar Bangun yang tenggelam, bersandar di Pelabuhan Tigaras, Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (20/6/18). ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

tirto.id - Beberapa hari sebelum KM Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba, peristiwa yang sama terjadi di Makassar. Kapal Arista yang berlayar dari Pelabuhan Paotere menuju Pulau Barrang Lompo pada 13 Juni tenggelam di Selat Busung. Sebanyak 17 orang meninggal dalam kejadian itu.

Pada tanggal yang sama, speedboat Albert di Sungai Musi Palembang mengalami kejadian serupa. Kapal yang ditumpangi 30 orang pemudik itu karam dari Kampung Suka Damain, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan menuju Ogan, Sumatera Selatan, menelan dua orang meninggal.

Peristiwa kecelakaan pelayaran yang menimbulkan korban jiwa di Indonesia menjadi hal lazim. Di masa lalu, peristiwa tragis semacam ini banyak terjadi. Berdasarkan catatan KNKT, sepanjang 2010-2016, ada 54 kecelakaan kapal yang mengakibatkan 337 orang meninggal dunia. Jumlah ini mengingatkan pada kejadian di masa lalu yang menelan banyak korban.

Beberapa di antaranya KM Senopati Nusantara pada 2006, KM Digoel pada 2005, dan yang paling tragis adalah kapal Tampomas II.

KM Senopati Nusantara (2006)

Kapal Mesin (KM) Senopati Nusantara baru berangkat dari dermaga Teluk Kumai, Kalimantan Tengah, pada pukul 8 malam. Kapal feri itu berlayar menuju Pelabuhan Tanjung Mas dan dijadwalkan tiba pukul 9 malam esokan harinya, 29 Desember 2006. Tapi, sampai jadwal yang sudah ditentukan, KM Senopati tak kunjung terlihat merapat ke dermaga.

Malam itu, kapal Senopati menghadapi badai yang menggila di Laut Jawa. Setelah berlayar selama 10 jam, Kapal Senopati tenggelam. Kapal sempat melakukan komunikasi terakhir dengan petugas dermaga pada pukul 11 malam.

Saat kapal tenggelam, Mashudi dan 14 orang lain berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci. Mashudi adalah kuli bangunan asal Rembang, Jawa Tengah, yang pernah menjalani profesi sebagai nelayan. Ia menggunakan pengetahuannya untuk bertahan hidup di laut dan mencari cara agar bisa ke darat.

Pada hari kedua, kondisi mereka makin memprihatinkan. Saat itu sekoci kempis. Beberapa orang harus turun dari sekoci dan bergantian meniup sekoci. Selama tiga hari di laut mereka sudah melihat kapal lewat sebanyak empat kali. Namun, jaraknya terlalu jauh.

Mashudi mengusulkan agar penutup sekoci disobek untuk dijadikan layar agar bisa diarahkan ke pantai. Sayangnya, usul itu ditentang. Pada hari keenam, mereka terdampar di Pulau Kangean, sebelah timur Pulau Madura.

Kisah tenggelamnya Kapal Senopati diceritakan dalam Majalah Tempo (edisi 8/1/2007) berjudul “Senopati Berakhir Digulung Badai”. Pencarian segera dilakukan pada 30 Desember 2016. Sayangnya, cuaca buruk dan ombak setinggi empat meter membuat penyelamatan terhambat.

Kapal Senopati adalah kapal feri berkapasitas 1.250 orang, yang biasa melayani rute pelayaran Kalimantan Tengah ke Semarang. Sebelum tenggelam, kapal mengangkut 628 penumpang. Sebanyak 347 penumpang meninggal, termasuk dua orang tak ditemukan jenazahnya.

Pencarian korban berlangsung 45 hari, lebih dari aturan yang ditetapkan undang-undang selama 7 hari. Dan, pencarian korban ini menelan biaya sampai Rp1 miliar, menurut Syahrin, Ketua SAR Mission Coordinator (SMC), pada harian Kompas (24/2/2006).

Infografik HL Indepth Kecelakaan Kapal di Danau Toba

KM Digoel (2005)

Kasus besar lain adalah tenggelamnya KM Digoel pada 8 Juli 2005. Berlayar dari Merauke menuju Tanah Merah, KM Digoel tenggelam di perairan Arafura. Kesalahannya: pemilik kapal mengangkut penumpang lebih dari kapasitas, dari seharusnya 156 orang membengkak hingga 200-an orang.

Bupati Merauke Tedjo Soeprapto dalam wawancaranya pada harian Kompas (13/7/2005) mengatakan bahwa ada 35 penumpang bila berdasarkan data manifes kapal. Namun, dari pencarian korban, ada 84 orang tewas dan lebih 100 korban lain hilang.

Selain mengangkut manusia, KM Digoel berlayar dengan membawa buldoser, 600 sak semen, besi beton, dan kebutuhan pokok seperti beras. Berdasarkan hasil investigasi, kelebihan muatan inilah yang jadi penyebab utama kecelakaan.

Obet Kanikatu, salah satu penumpang yang selamat, menceritakan sebelum kapal tenggelam memang ada badai. Ketinggian ombak mencapai lima meter ditingkahi angin kencang. Saat itu sebagian besar penumpang memilih tidur. Obet dan seorang kawannya memilih bersiap diri untuk kemungkinan terburuk. Mereka mengambil jeriken kosong ukuran 50 liter untuk berjaga bila kapal tenggelam.

"Saat ombak setinggi lebih kurang lima meter memorakporandakan kapal itu, lampu di kapal tersebut langsung padam dan kapal menjadi gelap gulita. Kami tidak dapat melihat sama sekali. Kami saling berpegangan, kemudian berhasil mengambil dua jeriken air minum yang sudah hampir habis di samping kami," ujar Obet (Kompas, 13/7/2005).

KMP Tampomas II (1981)

Dari sekian banyak peristiwa nahas di laut, terbakarnya Kapal Motor Penumpang Tampomas II, yang dimiliki perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), adalah paling tragis karena menelan korban paling banyak sepanjang sejarah kecelakaan pelayaran di Indonesia. Berdasarkan data pemerintah, korban jiwa saat itu mencapai 666 orang.

KM Tampomas II berlayar dari Tanjung Priok, Jakarta, pada 24 Januari 1981 menuju Ujungpandang, Sulawesi Selatan. Sekitar 220 mil sebelum tiba di pelabuhan, kapal justru terbakar karena mesin meledak. Kapten kapal Abdul Rivai berusaha mendamparkan kapal ke pulau terdekat. Tetapi mesin kapal keburu mati.

Sebelum kapal tenggelam, fotografer Kompas mengabadikan foto KMP Tampomas II yang sudah berasap. Foto itu diambil pada 27 Januari 1981. Dari foto yang dipublikasikan Kompas pada 28 Januari 1981, terlihat beberapa penumpang masih berada di dek bawah dan atas bagian haluan. Pada siang hari api terlihat di bagian belakang. Kapal kemudian oleng dan tenggelam.

Saat itu 60 sekoci sudah diturunkan untuk menyelamatkan para penumpang yang sebagian di antaranya memakai pelampung. Ada pula 13 kapal untuk membantu penyelamatan. Sayangnya, cuaca buruk bikin susah upaya tersebut.

Saat berangkat, KMP Tampomas II membawa 1.442 penumpang. Padahal, kapasitas kapal itu 1.364 penumpang. Kelebihan kapasitas ini bukan penyebab utama, tetapi kebakaran pada mesin kapal yang jadi faktor menentukan kecelakaan.

Kini, meski sudah banyak contoh kasus kecelakaan kapal yang menelan korban meninggal, pelanggaran dan kesalahan masih terjadi.

Tenggelamnya KM Sinar Bangun karena kelebihan muatan, 5 kali lipat dari kapasitas normal, ditambah ada dugaan praktik maladministrasi terhadap berat muatan dan fisik kapal, merupakan contoh nyata bahwa negara kepulauan ini, yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, kerap memunggungi sejarah. Buntutnya besar: merenggut ratusan nyawa.

Baca juga artikel terkait KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Humaniora
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam