Menuju konten utama

Mimpi Buruk Pelayaran Indonesia

Lebih dari lima puluh persen kecelakaan pelayaran terjadi akibat kelalaian manusia.

Mimpi Buruk Pelayaran Indonesia
Petugas gabungan mengangkat kantong berisi jenazah korban KM Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba, di posko Pelabuhan Tigaras, Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (20/6/18). ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

tirto.id - “Kami belum bisa memberikan keterangan pastinya. Tapi memang dugaannya karena kelebihan muatan,” ujar Menteri Perhubungan, Budi Karya di Gedung Cipta Kementerian Perhubungan, Rabu, 20 Juni 2018, saat ditanyai soal penyebab tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara.

Ini bukan kali pertama Menteri Budi Karya memberikan pernyataan soal kecelakaan pelayaran yang diakibatkan kelebihan muatan penumpang. Kelebihan muatan seolah menjadi penyebab standar pada hampir semua kecelakaan pelayaran tanah air. Pertanyaannya: mengapa hal ini terus terjadi?

KM Sinar Bangun milik Saritua Sagala merupakan kapal motor dengan spesifikasi muatan 17 GT dan bobot 35 GT. Dengan spesifikasi tersebut, yakni di bawah 135 GT, operasi pelayaran KM Sinar Bangun berada dalam pengawasan pemerintah daerah, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Angkutan Danau dan Penyeberangan Dinas Perhubungan Sumatera Utara. Sinar Bangun mengantongi izin tersebut.

Dalam surat tertanggal 20 April 2018, dikeluarkan oleh Dishub Sumatera Utara, Sinar Bangun mendapat izin pengoperasian sebagai kapal angkutan penyeberangan khusus danau, berlaku sejak 23 April 2018 hingga 22 April 2019.

Asumsinya, jika sudah mengantongi izin operasi tersebut, artinya Sinar Bangun juga sudah terdaftar dan nahkoda memiliki sertifikasi dari Dirjen Perhubungan Laut. Kedua hal ini menjadi prasyarat agar sebuah kapal dapat mengantongi izin beroperasi.

"Untuk dapat izin operasi dari kami, pemilik kapal harus punya izin kebangsaan kapal dan nahkoda serta awak yang sudah memiliki sertifikasi," ujar Adittya, Kepala Seksi Pengawasan Usaha SDP, Kementerian Perhubungan.

Hal ini dipertegas oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi. “Kapal ini legal. Izin operasi juga ada. Tapi menjadi ilegal karena saat beroperasi mereka mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Sama aja kayak angkot jadinya,” jelas Budi kepada Tirto, Rabu, 20 Juni.

Sebelum peristiwa nahas di Danau Toba, insiden serupa terjadi pada bulan yang sama. Pada 13 Juni, KM Arista tenggelam di Selat Makassar akibat dihantam ombak besar. Kapal yang seharusnya dipakai mengangkut ikan membawa sekitar 51 penumpang dari Pelabuhan Paotere menuju Pulau Barrang Lompo. Sekitar 13 penumpang tewas dan 38 lain ditemukan selamat. KM jenis Jolloro ini memiliki bobot hanya 6 GT—artinya, untuk mengangkut penumpang pun tak memenuhi syarat.

Faktor 'Human Error'

Baik KM Sinar Bangun maupun KM Arista hanyalah sedikit dari kecelakaan pelayaran Indonesia karena faktor lalai manusia (human error).

Sejak 2013 hingga 2017, Statistik Perhubungan mencatat 85 dari 162 kecelakaan pelayaran di Indonesia karena ulah manusia. Artinya, 52 persen kecelakaan pelayaran terjadi lantaran pelanggaran oleh sumber daya manusia. Sisanya kombinasi antara faktor alam dan beberapa faktor lain.

Kendati soal legalitas sudah terpenuhi, nyatanya kelalaian ini memperlihatkan masih ada yang bolong dalam segi pengawasan di lapangan saat kapal beroperasi, terutama pada pelayaran tradisional.

Pada kasus KM Sinar Bangun, misalnya, Kementerian Perhubungan menyatakan pengawasan operasional berada di bawah wewenang pemda. “Kami tidak mau menyalahkan salah satu pihak, tapi memang ada hirarki dan untuk penyeberangan danau seperti ini wewenang pengawasan ada di pemda, dalam hal ini Dishub Sumatera Utara,” ujar Menteri Perhubungan Budi Karya.

Itu dipertegas oleh Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, yang menyebut insiden ini lantaran pengawasan yang kendor dari pemda setempat.

“Kami di pusat orientasinya adalah pelayanan. Namun, kami tidak tahu di daerah. Bisa saja karena mengejar retribusi. Kami tidak tahu,” kata Budi kepada Tirto.

Kami mencoba mengonfirmasi hal ini kepada Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara, Muhammad Zein Siregar. Namun, yang bersangkutan tidak merespons.

Di sisi lain, pengamat pelayaran dari lembaga National Maritime Institue Siswanto Rusdi menyebut pembagian wewenang seperti itu membuat seolah pemerintah tak mau disalahkan seratus persen.

“Tapi yang menjadi soal," tambahnya, "keselamatan penumpang itu negara yang menjamin, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Jadi tidak bisa mereka lepas tangan."

Sementara menyoal kasus KM Arista, Kementerian Perhubungan mengakui hingga kini belum ada regulasi jelas yang melarang kapal dengan peruntukan lain untuk mengangkut penumpang.

“Karena itu bukan kapal penumpang melainkan kapal ikan. Sebenarnya bukan ranah kami. Namun, tentu harus ada koordinasi dari berbagai pihak soal ini,” imbuh Menteri Budi.

Pada 2017, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi dari beberapa kasus kecelakaan pelayaran yang terjadi di tahun tersebut. Hasilnya, setidaknya ada beberapa faktor yang berkontribusi sebagai penyebab kecelakaan.

Di antaranya: belum tersedia regulasi; lemahnya pengawasan terhadap kapal penumpang tradisional; dan banyak ditemukan ketidakcocokan antara dokumen dan fakta di lapangan pada saat operasional (malaadministrasi).

Sementara dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Soedaryatmo menegaskan ada beberapa aspek yang harus dibenahi oleh pihak berwenang dalam operasional pelayaran. Pertama menyoal perizinan, lalu kelaikan kapal, kompetensi sumber daya manusia, dan pengawasan.

“Secara aturan normatif, sebelum berlayar harusnya ada pengecekan dari otoritas apakah ada kelebihan muatan, bagaimana kelaikan kapal dan sebagainya. Selain itu pula prosedur keselamatan penumpang, apakah cukup memadai atau tidak,” jelas Soedaryatmo.

Infografik HL Indepth Kecelakaan Kapal di Danau Toba

Prosedur Keselamatan Belum Mumpuni

Hal lain yang menjadi perhatian adalah prosedur keselamatan pada kapal pelayaran di bawah 135 GT seperti KM Sinar Bangun.

Pada saat kejadian, Tim SAR baru tiba di lokasi sekitar satu jam setelah mendapat informasi awal dari UPT Dishub Sumatera Utara. Hal ini disebabkan jarak kantor SAR di Parapat ke Pelabuhan Simanindo mencapai 16 kilometer, atau membutuhkan waktu tempuh sekitar 45 menit.

Dalam penemuan lokasi kejadian, tim SAR biasanya dibantu dengan Medium Earth Orbital Local User Terminal (MEOLUT) yang berguna untuk menerima pesan dari kapal-kapal yang memiliki Emergency Position Indicating Radio Beacon (EPIRB). Kedua alat ini bisa mendeteksi posisi tenggelam kapal segera diketahui dalam waktu tiga menit. Sayangnya, kapal kecil seperti KM Sinar Bangun tanpa dilengkapi alat tersebut.

“Kami hanya bergantung dari laporan masyarakat dan Unit Penyelenggara Pelabuhan di sana,” terang Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP), sebelumnya bernama Basarnas, Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi.

Sementara prosedur keselamatan konvensional seperti ketersediaan jaket pelampung nyatanya juga tak menolong banyak. “KM Sinar Bangun dilengkapi 45 life jacket. Jumlah ini sudah mencukupi untuk kapal dengan kapasitas 40 orang,” tegas Menteri Budi Karya.

Namun, mengingat ada dugaan KM Sinar Bangun kelebihan muatan hingga mencapai sekitar 200 penumpang, ketersediaan life jacket dengan demikian bahkan tak berarti banyak.

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 25/2015 tentang standar keselamatan transportasi sungai, danau dan penyeberangan, prosedur keselamatan kapal disamaratakan mulai dari yang berbobot 7 GT hingga 500 GT.

Pelayaran Masih Menjadi Anak Tiri

Pada Januari 2017, Menteri Budi Karya sempat menyatakan akan mengkaji ulang standardisasi kapal usai KM Zahro Express terbakar di perairan Kepulauan Seribu. Namun, hingga kini, masih belum jelas implementasi dari standardisasi tersebut. Nyatanya, kecelakaan dalam dunia pelayaran terus terjadi dengan angka yang cukup signifikan.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Soedaryatmo menyatakan masih banyaknya kecelakaan pelayaran disebabkan lantaran pemerintah masih menganaktirikan transportasi laut, sungai maupun danau. Selama ini pemerintah hanya berfokus pada pembenahan transportasi udara dan darat, katanya.

Menteri Perhubungan Budi Karya menampik keras hal itu. Pihaknya mengklaim sudah melakukan persiapan intensif terutama pada momen Lebaran seperti penambahan kapal, mengganti kapal logistik menjadi kapal penumpang, hingga pemberian mudik gratis dengan kapal.

“Kami ke beberapa tempat di Jakarta, Surabaya, Madura, Makassar. Kami juga mengecek di Kali Adem untuk melakukan persiapan. Jadi saya bisa katakan tidak soal itu,” tegas Budi.

"Jalasveva Jayamahe" atau "Di Lautan Kita Jaya," demikian semboyan yang kerap diagungkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Presiden Joko Widodo dalam 'nawacita' boleh saja bilang tak akan lagi memunggungi laut. Namun, melihat kecelakaan pelayaran tanah air terus memburuk, punggung pemerintahan Joko Widodo nyatanya belum sepenuhnya berbalik dan menghadap laut.

Baca juga artikel terkait KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam & Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam